STRATEGI
PEMBELAJARAN CTL
(Contextual Teaching and Learning)
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Kelompok
Mata Kuliah : Strategi
Pembelajaran PAI
Dosen Pengampu : Zaenal Khafidin,
M.Ag
Oleh :
1.
M.Nur Faiq NIM (111632) C.ELK
2.
Ifa Ana Sari NIM (111633) C.ELK
3.
Nurul Hidayah NIM (111646) C.ELK
4.
Rosidah NIM (111645)
C.ELK
5.
Chanif Fanani NIM (111639 ) C.ELK
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN
TARBIYAH PAI
TAHUN 2013
BAB
1
PENDAHULUAN
Proses belajar-mengajar
merupakan kegiatan utama sekolah. Dalam proses ini siswa membangun makna dan
pemahaman dengan bimbingan guru. Kegiatan belajar- mengajar hendaknya
memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan hal-hal secara lancar dan
termotivasi. Suasana belajar yang diciptakan guru harus melibatkan siswa secara
aktif. Di sekolah, terutama guru diberikan kebebasan untuk mengelola kelas yang
meliputi strategi, pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran yang efektif,
disesuaikan dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, guru, dan
sumber daya yang tersedia di sekolah.
Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya,
bukan mengetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan materi
terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat jangka pendek, akan tetapi gagal
dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang. Untuk itu diperlukan suatu metode
yang dapat mengaitkan kedua hal tersebut (pelajaran dan kehidupan nyata siswa).
Dan metode yang paling tepat adalah CTL.
CTL adalah suatu proses
pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna
materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan
konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural)
sehingga siswa memiliki pengetahuan/ keterampilan yang secara fleksibel dapat
diterapkan dari satu permasalahan atau konteks ke permasalahan dan juga pada
konteks lainnya.
Ada tiga hal yang harus dipahami dalam menggunakan CTL. Yang Pertama
harus menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi.
Kedua, CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi
yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk
dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan
nyata. Ketiga, CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam
kehidupan, artinya CTL bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi
yang dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai
perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Materi pelajaran dalam konteks CTL
bukan untuk ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan, akan tetapi sebagai bekal
siswa dalam mengarungi kehidupan nyata kemudian
dilupakan, akan tetapi sebagai bekal siswa dalam mengarungi kehidupan nyata.
BAB
11
PEMBAHASAN
- Pengertian Contextual Teaching and Learning
Pendekatan kontektual atau sering disebut dengan Contextual Teaching and
Learning (CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara
materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam
kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi
siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa
bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa.
Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil
Pembelajaran kontekstual pada awalnya dikembangkan oleh John Dewey dari
pengalaman tradisionalnya. Pada tahun 1918 Dewey merumuskan kurikulum dan
metodologi pembelajaran yang berkaitan dengan pengalaman dan minat siswa. Siswa
akan belajar dengan baik jika yang dipelajarinya terkait dengan pengetahuan dan
kegiatan yang telah diketahuinya dan terjadi disekelilingnya
Dalam kelas kontektual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai
tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada
memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja
bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu
yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru. Begitulah
peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual.
2.
Karakteristik
- Kerjasama
- Saling menunjang
- Menyenangkan
- Tidak membosankan
- Belajar dengan bergairah
- Pembelajaran terintegrasi
- Menggunakan berbagai sumber
- Siswa aktif
- Sharing dengan teman
- Siswa kritis, guru kreatif
- Dinding kelas dan lorong-lorong penuh dengan hasil karya siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor dll
12. Laporan kepada orang tua bukan hanya raport, tetapi hasil karya
siswa, laporan hasil praktikum, karangan siswa dll
3.
Tujuh Komponen Pembelajaran
Kontekstual
a) Konstruktivisme
Pengertian konstruktivisme menurut Wina Sanjaya (2006:12) adalah “Proses
membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa
berdasarkan pengalaman”. Menurut pengembang filsafal konstruktivisme Mark
Baldwin dan diperdalam oleh Jean Piaget dalam Wina Sanjaya (2006:13)
menyatakan bahwa “Pengetahuan itu terbentuk bukan hanya dari objek semata,
tetapi juga dari kemampuan individu sebagai subjek yang menangkap setiap objek
yang diamatinya.
Esensi dari teori konstruktivis adalah bahwa siswa harus menemukan dan
mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan dapat
dijadikan milik mereka sendiri. Dengan dasar itu, pembelajaran harus dikemas
menjadi proses mengkonstruksi bukan menerima pengetahuan. Dalam proses
pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan
aktif dalam proses pembelajaran (Wina Sanjaya : 2006).
Menurut Suparno (1997:49) secara garis besar prinsip– prinsip
konstruktivisme yang diambil adalah :
1) Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara
personal maupun secara sosial;
2) Pengetahuan tidak dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali
dengan kearifan siswa sendiri untuk
bernalar;
3) Siswa aktif mengkonstruksi secara terus menerus, sehingga
terjadi perubahan konsep menuju konsep yang lebih rinci, lengkap serta sesuai
dengan konsep ilmiah;
4) Guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi
agar proses konstruksi siswa berjalan mulus. Suparno (1997:49)
b) Inkuiri (Menemukan)
Asas kedua dalam pembelajaran CTL adalah inkuiri. Artinya, proses
pembelajaran didasarkan pada pencapaian dan penemuan melalui proses berpikir
secara sistematis. Pengetahuan bukanlah sejumlah fakta hasil dari mengingat,
akan tetapi hasil dari proses menemukan sendiri. Proses menemukan inilah yang
dirangsang secara optimal lewat penerapan strategi pembelajaran CTL. Karena
strategi pembelajaran CTL menekankan keaktifan siswa dalam menemukan sendiri
pengetahuan. Dengan demikian dalam proses perencanaan, guru bukanlah
mempersiapkan sejumlah materi yang harus dihafal, akan tetapi merancang
pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat menemukan sendiri materi yang harus
dipahaminya.
Ada beberapa langkah dalam kegiatan menemukan dalam kegiatan
menemukan ( inkuiry ) yang dapat dipraktekkan di kelas :
1) Merumuskan Masalah;
2) Mengamati dan melakukan observasi;
3) Menganalisis dan menyajikan hasil tulisan, gambar,
laporan bagan, tabel dan karya lainnya.
4) Mengkomunikasikannya atau menyajikan hasil karya
pada pembaca, teman sekelas, guru atau audien yang lain. Suparno (1997:50)
c) Bertanya (Questioning)
Menurut Suparno (1997:50) bertanya dapat dipandang sebagai “Refleksi dari
keingintahuan setiap individu; sedangkan menjawab pertanyaan mencerminkan
kemampuan seseorang dalam berpikir. Dalam proses pembelajaran melalui CTL, guru
tidak menyampaikan informasi begitu saja, akan tetapi memancing agar siswa
dapat menemukan sendiri”.
Cara guru memnacing siswa untuk bertanya akan dapat
tereksplorasi dengan baik. Karena itu peran bertanya sangat penting, sebab
melalui pertanyaan–pertanyaan guru dapat membimbing dan mengarahkan siswa untuk
menemukan setiap materi yang di pelajarinya.
Banyak bertanya sering kali tidak di tanggapi dengan positif oleh guru
maupun teman–teman. Kelas bukan merupakan tempat yang aman untuk ”berbuat
kesalahan” dan eksplorasi. Anak kecil dalam kepoloson belajarnya justru sering
kali bertanya banyak hal yang terkadang membingungkan orang tua seperti ”
kenapa langit warnanya biru ? bagaimana adik bisa berada di perut ibu ?”.
Sekali lagi seiring perjalanan pendidikan kita, kepolosan dan kekritisan tidak
semakin terasah tetapi justru sebaliknya. Siswa menjadi malas dan bahkan apatis
terhadap kegiatan belajar yang dirasa sebagai siksaan.
d) Masyarakat Belajar (Learning
Community)
Leo Semenovich Vygotsky seorang psikolog Rusia dalam Suparno
(1997:51), menyatakan bahwa :
“Pengetahuan dan pemahaman anak ditopang bannyak oleh komunikasi dengan
orang lain. Suatu permasalahan tidak mungkin dapat di pecahkan sendiri, tetapi
mebutuhkan bantuan orang lain. Kerjasama saling memberi dan menerima sangat
dibutuhkan untuk memecahkan suatu persoalan. Konsep masyarakat belajar (learning
community) dalam CTL menyarankan agar hasil pembelajaran deperoleh melalui
kerjasama dengan orang lain”.
Kerjasama itu dapat dilakukan dalam berbagai bentuk baik dalam kelompok
belajar secara formal naupun dalam lingkungan yang terjadi secara alamiah.
Hasil belajar dapat diperoleh dari hasil sharing dengan orang lain, antar
teman, antar kelompok, yang sudah tahu memberi tahu kepada yang belum tahu,
yang pernah memiliki pengalaman membagi pengalamannya kepada orang lain. Inilah
hakekat dari masyarakat belajar, masyarakat yang saling membagi.
Model pembelajaran dengan teknik Learning Community
sangat membantu proses pembelajaran di kelas. Prakteknya dalam pembelajaran
terwujud dalam :
1) Pembentukan kelompok kecil;
2) Pembentukan kelompok besar;
3) Mendatangkan ”ahli” ke kelas (tokoh, olah ragawan,
dokter, perawat, petani, pengurus organisasi, polisi, tukang kayu dll);
4) Bekerja dengan kelas sederajat;
5) Bekerja kelompok dengan kelas di atasnya;
6) Bekerja dengan masyarakat. (Suparno, 1997:52)
e) Pemodelan (Modeling)
Yang dimaksud dengan asas modeling adalah proses pembelajaran dengan
memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa.
Misalnya : Guru memberikan contoh bagaimana cara mengoperasikan sebuah alat,
atau bagaimana cara melafalkan sebuah kalimat asing, guru olah raga memberikan
contoh bagaimana cara melempar bola, guru kesenian memberikan contoh bagaimana
cara memainkan alat musik, guru biologi memberikan contoh bagaimana cara
menggunakan termometer, dan lain sebagainya.
Proses modeling tidak sebatas dari guru saja, akan tetapi dapat juga
memanfaatkan siswa yang dinggap memiliki kemampuan. Misalnya siswa yang pernah
menjadi juara dalam membaca puisi dapat disuruh untuk menampilkan kebolehannya
di depan teman–temannya, dengan demikian siswa dapat dianggap sebagai model.
Modeling merupakan asas yang cukup penting dalam pembelajaran CTL, sebab melalui
modeling siswa dapat terhindar dari pembelajaran yang teoretis-abstrak yang
dapat memungkinkan terjadinya verbalisme.
f) Refleksi (Reflection)
Menurut Suparno (1997:53) “Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang
baru di pelajari atau berpikir ke belakang tentang apa yang sudah dilakukan di
masa lalu”. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas atau
pengalaman yang batu di terima. Misalnya, ketika pelajaran berakhir, siswa
“merenung” kalau begitu, cara saya menyimpan file selama ini salah, mestinya
dengan cara yang baru saya pelajari, sehingga file dalam komputer saya lebih
tertata.
Pengetahuan diperoleh melalui proses, pengetahuan dimiliki siswa
diperluas melalui konteks pembelajaran yang kemudian diperluas sedikit demi
sedikit. Guru membantu siswa membuat hubungan–hubungan antara pengetahuan yang
dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru. Dengan begitu siswa merasa
memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa yang baru
dipelajarinya. Refleksi menjawab pertanyaan kaum behaviorisme yang memisahkan
aspek jasmani manusia dengan aspek rohaninya. Selama ini siswa menjalani
pembelajaran dengan statis dan tanpa variasi. Jarang sekali mereka diberi
kesempatan untuk ”diam sejenak” dan berpikir tentang apa yang baru saja mereka
lakukan atau pelajari. Waktu amat cepat berlalu, semua terburu–buru dan mungkin
memang tidak sempat melakukannya.
g) Penilaian Nyata (Authentic
Assessment)
Suparno (1997:53) menyatakan bahwa “Proses pembelajaran konvensional yang
sering dilakukan guru pada saat ini, biasanya ditekankan pada aspek intelektual
sehingga alat evaluasi yang digunakan terbatas pada penggunaan tes”. Dengan tes
dapat diketahui seberapa jauh siswa telah menguasai materi pelajaran. Dalam
CTL, keberhasilan pembelajaran tidak hannya ditentukan oleh perkembangan
kemampuan intelektual saja, akan tetapi perkembangan seluruh aspek. Oleh sebab
itu, penilaian keberhasilan tidak hannya ditentukan oleh aspek hasil belajar
seperti tes, akan tetapi juga proses belajar melalui penilaian nyata. Penilaian
nyata (Authentic Assessment) adalah proses yang dilakukan guru untuk
mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa.
Penilaian ini dilakukan untuk mengetahui apakah siswa benar–benar belajar atau
tidak; apakah pengalaman belajar siswa memiliki pengaruh yang positif terhadap
perkembangan baik intelektual maupun mental siswa. Penilaian yang autentik
dilakukan secara terintegrasi dengan proses pembelajaran. Penilaian ini
dilakukan secara terus – menerus selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Oleh
sebab itu, tekanannya diarahkan kepada proses belajar bukan kepada hasil
belajar.
4.
Perbedaan pendekatan Contextual Teaching Learning dengan
Pendekatan Tradisional
No.
|
Pilar/Solusi, Indikator Masalah
|
Pendekatan CTL
|
Pendekatan Tradisional
|
1
|
Konstruktivisme
|
Belajar berpusat pada siswa untuk
mengkonstruksi bukan menerima
|
Belajar yang berpusat pada guru,
formal, serius
|
2
|
Inquiri
|
Pengetahuan diperoleh dengan
menemukan, menyatukan rasa, karsa dan karya
|
Pengetahuan diperoleh siswa
dengan duduk manis, mengingat seperangkat fakta, memisahkan kegiatan fisik
dengan intelektual
|
3
|
Bertanya
|
Belajar merupakan kegiatan
produktif, menggali informasi, menghasilkan pengetahuan dan keputusan
|
Belajar adalah kegiatan
konsumtif, menyerap informasi menghasilkan kebingungan dan kebosanan
|
4
|
Masyarakat Belajar
|
Kerjasama dan maju bersama,
saling membantu
|
Individualistis dan persaingan
yang melelahkan
|
5
|
Pemodelan
|
Pembelajaran yang Multi ways,
mencoba hal – hal baru, kreatif
|
Pembelajaran yang One way,
seragam takut mencoba, takut salah
|
6
|
Refleksi
|
Pembelajaran yang komprehensif,
evaluasi diri sendiri/internal dan eksternal
|
Pembelajaran yang terkotak –
kotak, mengandalkan respon eksternal/guru
|
7
|
Penilaian Otentik
|
Penilaian proses dan hasil,
pengalaman belajar, tes dan non tes multi aspects
|
Penilaian hasil, paper and
pencil test, kognitif
|
5.
Penerapan CTL dalam pembelajaran
Setiap siswa mempunyai gaya belajar yang berbeda – beda. Perbedaan yang
dimiliki siswa tersebut dinamakan sebagai unsur modalitas belajar. Menurut
Bobbi Deporter ada tiga tipe gaya belajar siswa, yaitu tive visual, auditorial
dan kinestis. Tipe visual adalah gaya belajar dengan cara melihat, sedang tipe
auditorial adalah tipe belajar dengan cara menggunakan alat pendengarannya, dan
tipe kinestetis adalah tipe belajar dengan cara bergerak. Ketiga gaya belajar
tersebut akan dapat diaplikasikan dengan baik oleh pendidik dengan menggunakan
CTL.
Pembelajaran secara kontekstual ini dapat diterapkan dalam kurikulum apa
saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya. Pendekatan
pembelajaran kontekstual dalam kelas cukup mudah. Secara garis besar,
langkahnya sebagai berikut ini :
- Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya
- Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiri untuk semua topik
- kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya
- Ciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok – kelompok)
- Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran
- Lakukan refleksi di akhir pertemuan
- Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara yang betul – betul menunjukan kemampuan siswa
Untuk itu ada beberapa catatan dalam penerapan CTL sebagai
suatu strategi pembelajaran, diantaranya:
- Strategi pembelajaran kontekstual adalah model pembelajaran yang menekankan pada aktivitas siswa secara penuh, baik fisik maupun mental.
- Strategi pembelajaran kontekstual memandang bahwa belajar bukan menghafal akan tetapi proses berpengalaman dalam kehidupan nyata. Artinya CRL bukan hannya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari – hari.
- Kelas dalam pembelajaran CTL bukan sebagai tempat untuk memperoleh informasi, akan tetapi sebagai tempat untuk menguji data hasil temuan mereka di lapangan. Artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung.
- Materi pelajaran ditemukan oleh siswa sendiri bukan hasil pemberian dari orang lain. Artinya CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyara, jadi siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sihingga tidak akan mudah dilupakan.
6.
Kelebihan dan kekurangan pendekatan Kontekstual
a . Kelebihan
1. Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil. Artinya siswa dituntut untuk dapat menagkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sihingga tidak akan mudah dilupakan.
2. Pembelajaran
lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep kepada siswa karena
metode pembelajaran CTL menganut aliran konstruktivisme, dimana seorang siswa
dituntun untuk menemukan pengetahuannya sendiri. Melalui landasan filosofis
konstruktivisme siswa diharapkan belajar melalui ”mengalami” bukan ”menghafal”.
b. Kelemahan
b. Kelemahan
1. Guru lebih intensif dalam membimbing. Karena dalam metode CTL. Guru tidak lagi berperan sebagai pusat informasi. Tugas guru adalah mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan pengetahuan dan ketrampilan yang baru bagi siswa. Siswa dipandang sebagai individu yang sedang berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat perkembangan dan keluasan pengalaman yang dimilikinya. Dengan demikian, peran guru bukanlah sebagai instruktur atau ” penguasa ” yang memaksa kehendak melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai dengan tahap perkembangannya.
2. Guru
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri
ide–ide dan mengajak siswa agar dengan menyadari dan dengan sadar menggunakan
strategi–strategi mereka sendiri untuk belajar. Namun dalam konteks ini
tentunya guru memerlukan perhatian dan bimbingan yang ekstra terhadap siswa
agar tujuan pembelajaran sesuai dengan apa yang diterapkan semula.
Kesimpulan
CTL
merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang
diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan
antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka
sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Di dalam CTL terdapat beberapa
karakteristik yang perlu diperhatikan ketika seorang pendidik akan memberikan
makna dalam pembelajarannya, yaitu : Kerjasama, Saling menunjang,
Menyenangkan, Tidak membosankan, Belajar dengan bergairah,
Pembelajaran terintegrasi, Menggunakan berbagai sumber, Siswa
aktif, Sharing dengan teman, Siswa harus kritis, dan guru harus kreatif.
CTL dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan
kelas yang bagaimanapun keadaannya. Dengan demikian CTL merupakan suatu model
pembelajaran yang dapat dengan mudah diaplikasikan oleh setiap pendidik. Untuk
mewujudkan pembelajaran yang sesuai dengan konsep CTL, tentunya setiap pendidik
juga harus melihat dan memperhatikan asas – asas yang terdapat dalamnya, hal
ini diperlukan agar pembelajaran tersebut benar – benar sesuai dengan tujuan
yang telah dirumuskan sebelumnya.
DAFTAR
REFERENSI
-
Drs. B.
Suryosubroto. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. 1997. Rineka Cipta,
Jakarta
-
Dra. Sumiati.
Asra, M.Ed. Metode Pembelajaran. Wacana Prima. Bumi Rancaekek Kencana.
2007. Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar