BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Sebagaimana
ilmu keagamaan lain dalam Islam, ilmu ushul fiqih tumbuh dan berkembang dengan
tetap berpijak pada Al-Quran dan Sunnah, ushul fiqih tidak timbul dengan
sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman Rosulullah dan sahabat.
Masalah utama yang menjadi bagian ushul fiqih, seperti ijtihad, qiyas, nasakh,
dan takhsis sudah ada pada zaman Rosulullah sahabat. Dan di masa
Rasulullah saw, umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam
memahami hukum-hukum syar’i, semua permasalahan dapat langsung merujuk kepada
Rasulullah saw lewat penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an, atau melalui sunnah
beliau saw.
Pada
masa tabi’in cara mengistinbath hukum semakin berkembang. Di antara mereka ada
yang menempuh metode maslalah atau metode qiyas di samping berpegang pula pada
fatwa sahabat sebelumnya. Pada nmasa tabi’in inilah mulai tampak
perbedaan-perbedaan mengenai hukum sebagai konskuensi logis dari perbedaan
metode yang digunakan oleh para ulama ketika itu. ( Abu Zahro : 12 ).
Corak
perbedaan pemahaman lebih jelas lagi pada masa sesudah tabi’in atau pada masa
Al- Aimmat Al- Mujtahidin. Sejalan dengan itu, kaidah-kaidah istinbath yang
digunakan juga semakin jelas bentuknya bentuknya. Abu Hanifah misalnya menempuh
metode qiyas dan istihsan. Sementara Imam Malik berpegang pada amalan mereka
lebih dapat dipercaya dari pada hadis ahad (Abu Zahro: 12).
Apa
yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa sejak zaman Rasulullah saw., sahabat, tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum
Islam mengalami perkembangan. Namun demikian, corak atau metode
pemikiran belum terbukukan dalam tulisan yang sistematis. Dengan kata lain,
belum terbentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri
i
- Rumusan Masalah
- Bagaimana perkembangan ushul fiqih pada masa Nabi?
- Bagaimana perkembangan ushul fiqih pada masa sahabat dan tabi’in?
- Bagaimana pembukuan ushul fiqih?
- Bagaimana tahap-tahap perkembangan ushul fiqih?
- Tujuan Penulisan
Dalam
penulisan makalah ini kami mencoba mengulas tuntas tentang sejarah perkembangan ushul fiqh mulai zaman
Nabi hingga sampai ushul fiqih menjadi
sebuah disiplin ilmu tertsendiri. Agar kita mengerti tentang sejarahnya
dan dapat bermanfaat bagi semua orang khususnya umat Islam.
ii
BAB II
PEMBAHASAN
- Perkembangan ushul fiqih pada masa Nabi.
Di zaman Rasulullah SAW sumber hukum Islam hanya dua, yaitu
Al-Quran dan Assunnah. Apabila suatu kasus terjadi, Nabi SAW menunggu turunnya
wahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka Rauslullah
SAW menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal
dengan hadits atau sunnah.
Hal ini antara
lain dapat diketahui dari sabda Rasulullah SAW sebagai berikut:
“Sesungguhnya saya memberikan keputusan kepada kamu melalui pendapatku dalam hal-hal yang tidak diturunkan wahyu kepadaku.” (HR. Abu Daud dari UmmuSalamah)
“Sesungguhnya saya memberikan keputusan kepada kamu melalui pendapatku dalam hal-hal yang tidak diturunkan wahyu kepadaku.” (HR. Abu Daud dari UmmuSalamah)
.Hasil ijtihad Rasulullah ini secara otomatis menjadi sunnah
bagi Umat Islam. Hadits tentang pengutusan Mu’az Ibn Jabal ke Yaman sebagai
qadi, menunjukkan perijinan yang luas untuk melakukan ijtihad hukum pada masa
Nabi. Dalam pengutusan ini Nabi bersabda
كيف
تقض ادا عر ض لك قضا ء ؟ قال ا قض بكتا ب الله قال فا ن لم تجد ف كتا ب الله؟ قال
فبسنة ر سو ل الله قال فان لم تجد في سنة ر سو ل الله قال اجتهد راى ولا لو فضرب
رسو ل الله على صدره وقال ا ا لحمد ا ا لذي و فق رسو ل اللهكما ير ض ر سسو ل الله
“Bagaimana engkau
(mu’az) mengambil suatu keputusan hukum terhadap permasalahan hukum yang
diajukan kepadamu? Jawab mu’az saya akan mengambil suatu keputusan hukum
berdasarkan kitab Allah (Al-Quran). Kalau kamu tidak menemukan dalam kitab
Allah? Jawab Mu’az, saya akan mengambil keputusan berdasarkan keputusan
berdasarkan sunnah Raulullah. Tanya Nabi, jika engkau tidak ketemukan dalam
sunnah? Jawab Mu’az, saya akan berijtihad, dan saya tidak akan menyimpang. Lalu
Rasulullah menepuk dada Mu’az seraya mengatakan segala puji bagi Allah yang
telah memberi taufik utusan Rasulnya pada sesuatu yang diridhai oleh Allah dan
rasulnya.”
Hadits ini secara tersurat tidak
menunjukkan adanya upaya Nabi untuk mengembangkan Ilmu Ushul Fiqh, tapi secara
tersirat jelas Nabi telah memberikan keluasan dalam mengembangkan akal untuk
menetapkan hukum yang belum tersurat dalam Al-Quran dan Sunnah.
Artinya dengan keluwesannya Nabi dalam melakukan pemecahan
masalah-masalah ijtihadiyah telah memberikan legalitas yang kuat terhadap para
sahabat. Dalam sebuah haditsnya yang mengandung kebolehan bagi manusia untuk
mencari solusi terhadap urusan-urusan keduniaan Rasulullah bersabda :
ا نتم ا علم با مو ر د
نيا كم
“Kamu lebih mengetahui
tentang urusan duniamu.”
Dorongan untuk melakukan ijtihad itu
tersirat juga dalam hadits Nabi yang menjelaskan tentang pahala yang diperoleh
seseorang yang melakukan ijtihad sebagai upaya yang sungguh-sungguh dalam
mencurahkan pemikiran baik hasil usahanya benar atau salah.
Selain dalam bentuk anjuran dan pembolehan
ijtihad oleh Nabi di atas, Nabi sendiri pada dasarnya telah memberikan isyarat
terhadap kebolehan melakukan ijtihad setidak-tidaknya dalam bentuk qiyas
sebagaimana dapat kita temukan dalam hadits-haditnya sebagai berikut :
جات ا مر ا ة خثيمية
فقا لت يا ر سو ل ا لله ان ابى اد ر كته ف رضه احغ و لم يحج و هو لا يتمسك على الر
حا لة لمر ضه افا حج عنه ؟ فقا ل ر سو ل الله عليه و سلم ار ايت لو كا ن على ا بيك
دين اقتضيته عنه قا لت نعم قال فدين ا لله ا حق ان يقض
“Seorang
wanita namanya Khusaimiah datang kepada Nabi dan bertanya, Ya Rasulullah ayah
saya seharusnya telah menunaikan haji, dia tidak kuat duduk dalam kendaraan
karena sakit, Apakah saya harus melakukan haji untuknya? Jawab Rasulullah
dengan bertanya bagaimana pendapatmu bila Ayahmu mempunyai utang? Apakah engkau
harus membayar? Perempuan itu menjawab , Ya, Nabi berkata utang kepada Allah
lebih utama untuk dibayar.
Hadits ini menggambarkan upaya qiyas yang
dilakukan oleh Nabi, yaitu ketika seorang sahabat datang kepada Nabi yang
menanyakan tentang keharusan penunaian kewajiban ibadah haji bapaknya yang
mengidap sakit, Nabi menegaskan keharusan penunaiannya dengan melakukan pengqiyasan
terhadap pembayaran utang antara sesama manusia.
Ada satu hal yang perlu dicatat, kehadiran Nabi sebagai pemegang
otoritas tunggal dalam permasalahan-permasalahan hukum membuat Nabi sangat
berhati-hati disatu pihak, dan terbuka dipihak lain. Sikap hati-hati yang
ditempuh oleh Nabi dalam rangka penerapan hukum Islam bidang ibadah. Penjelasan
Nabi yang berkaitan dengan ini cukup rinci. Wahyu memegang peranan sangat
penting. Sikap terbuka yang ditempuh oleh Nabi dalam upaya pengembangan hukum
Islam bidang muamalah.
Berbeda dengan ibadah, dalam muamalah penjelasan Nabi lebih
banyak bersifat garis besar, sedangkan perincian dan penjelasan pelaksanaannya
diserahkan kepada manusia. Manusia dengan akal yang dianugerahkan kepadanya
diberi peranan lebih banyak. Artinya, ini pulalah salah satu faktor yang ikut
mendukung terhadap pertumbuhan ilmu ushul fiqh selanjutnya.
Dalam beberapa kasus, Rasulullah SAW juga menggunakan qiyas
ketika menjawab pertanyaan para sahabat. Misalnya ketika menjawab pertanyaan
Umar Ibn Khatab tentang batal atau tidaknya puasa seseorang yang mencium
istrinya. Rasulullah SAW bersabda :
“Apabila kamu
berkumur-kumur dalam keadaan puasa, apakah puasamu batal?” Umar menjawab:”Tidak
apa-apa” (tidak batal). Rasulullah kemudian bersabda “maka teruskan
puasamu.”(HR al-Bukhari, muslim, dan Abu Dawud).
Hadits ini mengidentifikasikan kepada kita
bahwa Rasulullah SAW jelas telah menggunakan qiyas dalam menetapkan hukumnya,
yaitu dengan mengqiyaskan tidak batalnya seseorang yang sedang berpuasa karena
mencium istrinya sebagaimana tidak batalnya puasa karena berkumur-kumur.
- Perkembangan ushul fiqih pada masa sahabat dan tabi’in
- Pada masa sahabat
Memang, semenjak masa sahabat telah timbul
persoalan-persoalan baru yang menuntut ketetapan hukumnya. Untuk itu para
sahabat berijtihad, mencari ketetapan hukumnya. Setelah wafat Rasulullah SAW
sudah barang tentu berlakunya hasil ijtihad para sahabat pada masa ini, tidak
lagi disahkan oleh Rasulullah SAW, sehingga dengan demikian semenjak masa
sahabat ijtihad sudah merupakan sumber hukum.
Sebagai contoh hasil ijtihad para sahabat,
yaitu : Umar bin Khattab RA tidak menjatuhkan hukuman potong tangan kepada
seseorang yang mencuri karena kelaparan (darurat/terpaksa). Dan Ali bin Abi
Thalib berpendapat bahwa wanita yang suaminya meninggal dunia dan belum
dicampuri serta belum ditentukan maharnya, hanya berhak mendapatkan mut'ah. Ali
menyamakan kedudukan wanita tersebut dengan wanita yang telah dicerai oleh
suaminya dan belum dicampuri serta belum ditentukan maharnya, yang oleh syara'
ditetapkan hak mut'ah baginya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah :
لا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ
فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ
قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ
Artinya
:
"Tidak ada
sesuatupun (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum
kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan
hendaklah kamu memberikan mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu
menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu
pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi
orang-orang yang berbuat kebajikan." (Al-Baqarah : 236).
Dari contoh-contoh ijtihad yang dilakukan
oleh Rasulullah SAW, demikian pula oleh para sahabatnya baik di kala Rasulullah
SAW masih hidup atau setelah beliau wafat, tampak adanya cara-cara yang
digunakannya, sekalipun tidak dikemukakan dan tidak disusun kaidah-kaidah
(aturan-aturan)nya ; sebagaimana yang kita kenal dalam Ilmu Ushul Fiqh ; karena
pada masa Rasulullah SAW, demikian pula pada masa sahabatnya, tidak dibutuhkan
adanya kaidah-kaidah dalam berijtihad dengan kata lain pada masa Rasulullah SAW
dan pada masa sahabat telah terjadi praktek berijtihad, hanya saja pada
waktu-waktu itu tidak disusun sebagai suatu ilmu yang kelak disebut dengan Ilmu
Ushul Fiqh karena pada waktu-waktu itu tidak dibutuhkan adanya. Yang demikian
itu, karena Rasulullah SAW mengetahui cara-cara nash dalam menunjukkan hukum
baik secara langsung atau tidak langsung, sehingga beliau tidak membutuhkan
adanya kaidah-kaidah dalam berijtihad, karena mereka mengetahui sebab-sebab
turun (asbabun nuzul) ayat-ayat Al-Qur'an, sebab-sebab datang (asbabul wurud)
Al- Hadits, mempunyai ketazaman dalam memahami rahasia-rahasia, tujuan dan
dasar-dasar syara' dalam menetapkan hukum yang mereka peroleh karena mereka
mempunyai pengetahuan yang luas dan mendalam terhadap bahasa mereka sendiri
(Arab) yang juga bahasa Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dengan pengetahuan yang mereka
miliki itu, mereka mampu berijtihad tanpa membutuhkan adanya kaidah-kaidah.
- Pada masa tabi’in
Pada masa tabi'in, tabi'it-tabi'in dan para
imam mujtahid, di sekitar abad II dan III Hijriyah wilayah kekuasaan Islam
telah menjadi semakin luas, sampai ke daerah-daerah yang dihuni oleh
orang-orang yang bukan bangsa Arab atau tidak berbahasa Arab dan beragam pula
situasi dan kondisinya serta adat istiadatnya. Banyak diantara para ulama yang
bertebaran di daerah-daerah tersebut dan tidak sedikit penduduk daerah-daerah
itu yang memeluk agama Islam. Dengan semakin tersebarnya agama Islam di
kalangan penduduk dari berbagai daerah tersebut, menjadikan semakin banyak
persoalan-persoalan hukum yang timbul. Yang tidak didapati ketetapan hukumnya
dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Untuk itu para ulama yang tinggal di berbagai
daerah itu berijtihad mencari ketetapan hukumnya.
Karena banyaknya persoalan-persoalan hukum
yang timbul dan karena pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang
yang berkembang dengan pesat yang terjadi pada masa ini, kegiatan ijtihad juga
mencapai kemajuan yang besar dan lebih bersemarak.
Dalam pada itu, pada masa ini juga semakin
banyak terjadi perbedaan dan perdebatan antara para ulama mengenai hasil
ijtihad, dalil dan jalan-jalan yang ditempuhnya. Perbedaan dan perdebatan
tersebut, bukan saja antara ulama satu daerah dengan daerah yang lain, tetapi
juga antara para ulama yang sama-sama tinggal dalam satu daerah.Kenyataan-kenyataan
di atas mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah syari'ah yakni
kaidah-kaidah yang bertalian dengan tujuan dan dasar-dasar syara' dalam
menetapkan hukum dalam berijtihad.
Demikian pula dengan semakin luasnya daerah
kekuasan Islam dan banyaknya penduduk yang bukan bangsa Arab memeluk agama
Islam. Maka terjadilah pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka. Dari
pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka itu membawa akibat terjadinya
penyusupan bahasa-bahasa mereka ke dalam bahasa Arab, baik berupa ejaan,
kata-kata maupun dalam susunan kalimat, baik dalam ucapan maupun dalam tulisan.
Keadaan yang demikian itu, tidak sedikit menimbulkan keraguan dan
kemungkinan-kemungkinan dalam memahami nash-nash syara'. Hal ini mendorong para
ulama untuk menyusun kaidah-kaidah lughawiyah (bahasa), agar dapat memahami
nash-nash syara' sebagaimana dipahami oleh orang-orang Arab sewaktu turun atau
datangnya nash-nash tersebut.
Dengan disusunnya kaidah-kaidah syar'iyah
dan kaidah-kaidah lughawiyah dalam berijtihad pada abad II Hijriyah, maka telah
terwujudlah Ilmu Ushul Fiqh.Dikatakan oleh Ibnu Nadim bahwa ulama yang pertama
kali menyusun kitab Ilmu Ushul Fiqh ialah Imam Abu Yusuf -murid Imam Abu
Hanifah- akan tetapi kitab tersebut tidak sampai kepada kita.
Diterangkan oleh Abdul Wahhab Khallaf,
bahwa ulama yang pertama kali membukukan kaidah-kaidah Ilmu Ushul Fiqh dengan
disertai alasan-alasannya adalah Muhammad bin Idris asy-Syafi'iy (150-204 H)
dalam sebuah kitab yang diberi nama Ar-Risalah. Dan kitab tersebut adalah kitab
dalam bidang Ilmu Ushul Fiqh yang pertama sampai kepada kita. Oleh karena itu
terkenal di kalangan para ulama, bahwa beliau adalah pencipta Ilmu Ushul Fiqh.
- Pembukuan ushul fiqih
Salah satu yang mendorong diperlukannya
pembukuan ushul fiqih adalah perkembangan wilayah Islam yang semakin luas,
sehingga tidak jarang menyebabkan timbulnya berbagai persoalan yang belum
diketahui kedudukan hukumnya. Untuk itu, para ulama Islam sangat membutuhkan
kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali
dan menetapkan hukum.
Sebenarnya,jauh sebelum dibukukannya ushul
fiqih, ulama-ulama terdahulu telah membuat teori-teori ushul yang dipegang oleh
para pengikutnya masing-masing. tak heran jika pengikut para ulama tersebut
mengklaim bahwa gurunyalah yang pertama menyusun kaidah-kaidah ushul fiqih.
Golongan Hanafiyah misalnya mengklaim bahwa
yang pertama menyusun ilmu Ushul Fiqih ialah Abu Hanifah, Abu Yusuf Dan Ibnu
Ali-Al Hasan. Alasan mereka bahwa Abu Hanifah merupakan orang yang pertama
menjelaskan metode istinbath dalam kitabnyanya Ar-Ra'yu. Dan Abu Yusuf Abu
Yusuf adalah orang yang pertama menyusun ushul fiqh dalam madzhab hanafi,
demikian pula Muhammad Ibnu Al-Hasan telah menyusun ushul fiqh sebelum
As-Syafi'ie, bahkan As-Syafi'i berguru kepadanya.
Golongan As-Syafiiyah juga mengklaim bahwa
Imam As-Syafi'i lah orang yang pertama yang menyusun kitab ushul fiqh. Hal ini
di ungkapkan oleh Al-Allamah Jamal Ad-Din Abd Ar-Rohman Ibnu Hasan Al-Asnawi.
Menurutnya, "tidak diperselisihkan lagi "Imam Syafi'i adalah tokoh
besar yang pertama-tama menyusun kitab dalam ilmu ini, yaitu kitab yang tidak
asing lagi dan yang sampai kepada kita sekarang, yakni kitab Al-Risalah2
Kalau dikembalikan pada sejarah, yang
pertama berbicara tentang ushul fiqih sebelum dibukukannya adalah para sahabat
dan tabi’in. Hal ini tidak diperselisihkan lagi. Namun yang diperselisihkan
adalah orang yang mula-mula mengarang kitab ushul fiqih sebagai suatu disiplin
ilmu tersendiri yang bersifat umum dan mencakup segala aspeknya. Untuk itu kita
perlu mengetahui terlebih dahulu teori-teori penulisan dalam ilmu ushul fiqih.
Secara garis besar ada dua teori penulisan yang dikenal yakni.
Pertama,
merumuskan kaidah-kaidah fiqiyah bagi setiap bab dalam bab fiqih dan
menganalisisnya serta mengaplikasikan masalah furu’ atas kaidah-kaidah
tersebut. Teori inilah yang ditempuh oleh golongan Hanafi dan merekalah yang
merintisnya.
Kedua, merumuskan
kaidah-kaidah yang dapat menolong seorang mujtahit dan meng-istinbat hukum dari
sumber hukum syar’i, tanpa terikat oleh pendapat seorang faqih atau suatu
pemahaman yang sejalan dengannya maupun yang bertentangan. Cara inilah yang
ditempuh Al-Qur'an-syafi’i dalam kitabnya ar-risalah, suatu kitab yang tersusun
secara sempurna dalam bidang ilmu ushul dan independen. Kitab seperti ini belum
ada sebelumya, menurut ijma’ ulama dan catatan sejarah (sulaiman:64).
- Tahapan perkembangan ushul fiqih
secara garis besarnya, ushul fiqh dapat di
bagi dalam tiga tahapan yaitu:
- Tahap awal (abad 3H)
pada abad 3 H di bawah pemerintahan
Abassiyah wilayah Islam semakin meluas kebagian timur.khalifah-khalifah yang
berkuasa dalam abad ini adalah : Al-Ma'mun(w.218H), Al-Mu'tashim(w.227H), Al
Wasiq(w.232H), dan Al-Mutawakil(w.247H) pada masa mereka inilah terjadi suatu
kebangkitan ilmiah dikalangan Islam yang dimulai dari kekhalifahan Arrasyid.
salah satu hasil dari kebangkitan berfikir dan semangat keilmuan Islam ketika
itu adalah berkembangnya bidang fiqh yang pada giliranya mendorong untuk
disusunya metode berfikir fiqih yang disebut ushul fiqh.
Seperti telah dikemukakan, kitab ushul fiqh
yang pertama-tama tersusun seara utuh dan terpisah dari kitab-kitab fiqh ialah
Ar-Risalah karangan As-Syafi'i. kitab ini dinilai oleh para ulama sebagai kitab
yang bertnilai tinggi. Ar-Razi berkata "kedudukan As-Syafi'i dalam ushul
fiqh setingkat dengan kedudukan Aristo dalam ilmu Manthiq dan kedudukan
Al-Khalil Ibnu Ahmad dalam ilmu Ar-rud".
Ulama sebelum As-Syafi'i berbicara tentang
masalah-masalah ushul fiqh dan menjadikanya pegangan, tetapi mereka belum
memperoleh kaidah-kaidah umum yang menjadi rujukan dalam mengetahui dalil-dalil
syari'at dan cara memegangi dan cara mentarjih kanya: maka datanglah Al-Syafi'i
menyusun ilmu ushul fiqih yang merupakan kaidah-kaidah umum yang dijadikan
rujukan-rujukan untuk mengetahui tingkatan-tingkatan dalil syar'I, kalaupun ada
orang yang menyusun kitab ilmu ushul fiqh sesudah As-Syafi;I, mereka tetap bergantung
pada Asy-Syafi'i karena Asy-Syafi'ilah yang membuka jalan untuk pertama
kalinya.
Selain kitab Ar-Risalah pada abad 3 H telah
tersusun pula sejumlah kitab ushu fiqh lainya. Isa Ibnu Iban(w.221H\835 M)
menulis kitab Itsbat Al-Qiyas. Khabar Al-Wahid, ijtihad ar-ra'yu. Ibrahim Ibnu
Syiar Al-Nazham (w.221H\835M) menulis kitab An-Nakl dan sebagainya.
Namun perlu diketahui pada umumnya kitab
ushul-fiqh yang ada pada abad 3 h ini tidak mencerminkan pemikiran-pemikiran
ushul fiqh yang utuh dan mencakup segala aspeknya kecuali kitab Ar-Risalah itu
sendiri. Kitab Ar-Risalah lah yang mencakup permasalahan-permasalahan ushuliyah
yang menjadi pusat perhatian Para Fuqoha pada zaman itu.
Disamping itu, pemikiran ushuliyah yang
telah ada, kebanyakan termuat dalam kitab-kitab fiqh, dan inilah salah satu
penyebab pengikut ulama-ulama tertentu mengklaim bahwa Imam Madzhabnya sebagai
perintis pertama ilmu ushul fiqh tersebut. Golongan Malikiyah misalnya
mengklaim imam madzhabnya sebagai perintis pertama ushul fiqh dikarenakan Imam
Malik telah menyinggung sebagian kaidah-kaidah ushuliyyah dalam kitabnya Al
Muwatha. Ketika ia ditanya tentang kemungkinan adanya dua hadits shoheh yang
berlawanan yang datang dari Rasulluloh pada saat yang sama, Malik menolaknya
dengan tegas, karena ia berperinsip bahwa kebenaran itu hanya terdapat dalam
satu hadits saja
- Tahap perkembangan (abad 4 H)
Pada masa ini abad(4H) merupakan abad
permulaan kelemahan Dinasty abaSsiyah dalam bidang politik. Dinasty Abasiyah
terpecah menjadi daulah-daulah kecil yang masing-masing dipimpin oleh seorang
sultan. Namun demikian tidak berpengaruh terhadap perkembangan semangat
keilmuan dikalangan para ulama ketika itu karena masing-masing penguasa daulah
itu berusaha memajukan negrinya dengan memperbanyak kaum intelektual.
Khusus dibidang pemikiran fiqh Islam pada
masa ini mempunyai karakteristik tersendiri dalam kerangka sejarah tasyri'
Islam. Pemikiran liberal Islam berdasarkan ijtihad muthlaq berhenti pada abad
ini. mereka mengangagap para ulama terdahulu mereka suci dari kesalahan
sehingga seorang faqih tidak mau lagi mengeluarkan pemikiran yang khas,
terkecuali dalam hal-hal kecil saja, akibatnya aliran-aliran fiqh semakin
mantap exsitensinya, apa lagi disertai fanatisme dikalangan penganutnya. Hal
ini ditandai dengan adanya kewajiban menganut madzhab tertentu dan larangan
melakukan berpindahan madzhab sewaktu-waktu.
Namun demikian, keterkaitan pada imam-imam
terdahulu tidak dikatakan taqlid, karena masing-masing pengikut madzhab yang
ada tetap mengadakan kegiatan ilmiah guna menyempurnakan apa yang dirintis oleh
para pendahulunya.dengan melakukan usaha antara lain:
- Memperjelas ilat-ilat hukum yang di istinbathkan oleh para imam mereka mereka disebut ulama takhrij
- Mentarjihkan pendapat-pendapat yang berbeda dalam madzhab baik dalam segi riwayat dan dirayah.
- Setiap golongan mentarjihkanya dalam berbagai masalah khilafiyah. Mereka menyusu kitab al-khilaf
Akan tetapi tidak bisa di ingkari bahwa
pintu ijtihad pada periode ini telah tertutup, akibatnya dalam perkembangan
fiqh Islam adalah sebagai berikut:
- Kegiatan para ulama terbatas terbatas dalam menyampaikan apa yang telah ada, mereka cenderung hanya mensyarahkan kitab-kitab terdahulu atau memahami dan meringkasnya.
- Menghimpun masalah-masalah furu yang sekian banyaknya dalam uaraian yang sungkat
- Memperbanyak pengandaian-pengandaian dalam beberapa masalah permasalahan.
Keadaan tersebut sangat, jauh berbeda di
bidang ushul fiqh. Terhentinya ijtihad dalam fiqh dan adanya usaha-usaha untuk
meneliti pendapat-pendapat para ulama terdahulu dan mentarjihkanya. Justru
memainkan peranan yang sangat besar dalam bidang ushul fiqh.
Sebagai tanda berembangnya ilmu ushul fiqh
dalam abad 4 H ini ditandai dengan munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang
merupakan hasil karaya ulama-ulama fiqh diantara kitab yan terekenal adalah:
- Kitab Ushul Al-Kharkhi, ditulis oleh Abu Al-Hasan Ubaidillah Ibnu Al-Husain Ibnu Dilal Dalaham Al-Kharkhi,(w.340H.)
- Kitab Al –Fushul Fi-Fushul Fi-Ushul, ditulis oleh Ahmad Ibnu Ali Abu Baker Ar-Razim yang juga terkenal dengan Al-Jasshah (305H.)
- Kitab Bayan Kasf Al-Ahfazh, ditulis oleh abu Muhammad Badr Ad-Din Mahmud Ibnu Ziyad Al-Lamisy Al-Hanafi.
Ada beberapa hal yang menjadi ciri khas
dalam perkembangan ushul fiqh pada abad 4h yaitu munculnya kitab-kitab ushul
fiqh yang membahas ushul fiqh secara utuh dan tidak sebagian-sebagian seperti
yang terjadi pada masa-masa sebelumnya. Kalaupun ada yang membahas hanya
kitab-kitab tertentu, hal itu semata-mata untuk menolak atau memperkuat
pandangan tertentu dalam masalah itu.
Selain itu Materi berpikir dan penulisan
dalam kitab-kitab yang ada sebelumnya dan menunjukan bentuk yang lebih
sempurna, sebagaimana dalam kitab fushul-fi al-ushul karya abu baker ar-razi
hal ini merupakan corak tersendiri corak tersendiri dalam perkembangan ilmu
ushul fiqh pada awal abad 4h., juga tampak pula pada abad ini pengaruh
pemikiranyang bercorak filsafat, khususnya metode berfikir menurut ilmu manthiq
dalam ilmu ushul fiqih.
- Tahap penyempurnaan ( 5-6 H )
kelemahan politik di Baghdad, yang ditandai
dengan lahirnya beberapa daulah kecil, membawa arti bagi perkembanangan
peradaban dunia Islam. Peradaban Islam tak lagi berpusat di Baghdad, tetapi
juga di kota-kota seperti Cairo, Bukhara, Ghaznah, dan Markusy. Hal itu
disebabkan adanya perhatian besar dari para sultan, raja-raja penguasa
daulah-daulah kecil itu terhadap perkembangan ilmu dan peradaban.
Hingga berdampak pada kemajuan dibidang
ilmu ushul fiqih yang menyebabkan sebagian ulama memberikan perhatian khusus
untuk mndalaminya, antara lain Al-Baqilani, Al-Qhandi, abd. Al-jabar, abd.
Wahab Al-Baghdadi, Abu Zayd Ad Dabusy, Abu Husain Al Bashri, Imam Al-Haramain,
Abd. Malik Al-Juwani, Abu Humaid Al Ghazali dan lain-lain. Mereka adalah
pelopor keilmuan Islam di zaman itu. Para pengkaji ilmu keislaman di kemudian
hari mengikuti metode dan jejak mereka, untuk mewujudkan aktivitas ilmu ushul
fiqih yang tidak ada bandinganya dalam penulisan dan pengkajian keislaman ,
itulah sebabnya pada zaman itu, generasi Islam pada kemudian hri senantiasa menunjukan
minatnya pada produk-produk ushul fiqih dan menjadikanya sebagi sumber
pemikiran.
Dalam sejarah pekembangan ilmu ushul fiqih
pada abad 5 H dan 6 H ini merupakan periode penulisan ushul fiqih terpesat yang
diantaranya terdapat kitab-kitab yang mnjadi kitab standar dalam pengkajian
ilmu ushul fiqih slanjutnya.
Kitab-kitab ushul fiqih yang ditulis pada
zaman ini, disamping mencerminkan adanya kitab ushul fiqih bagi masing-masing
madzhabnya, juga menunjukan adanya alioran ushul fiqih, yakni aliran hanafiah
yang dikenal dengan alira fuqoha, dan aliran Mutakalimin
BAB
III
KESIMPULAN
Dari penjelasan-penjelsan di atas dapat
disimpulkan
- Apa yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa sejak zaman Rasulullah saw., sahabat, tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam mengalami perkembangan. Namun demikian, corak atau metode pemikiran belum terbukukan dalam tulisan yang sistematis. Dengan kata lain, belum terbentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri
- Karena timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui hukumnya. Untuk itu, para ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum maka disusunlah kitab ushul fiqih .
- Bahwa kegiatan ulama dalam penulisan ushul fiqih merupakan salah satu upaya dalam menjaga keasrian hukum syara. Dan menjabarkanya kehidupan social yang berubah-ubah itu, kegiatan tersebut dimuali pada abad ketiga hijriyah. ushul fiqih terus berkembang menuju kesempurnaanya hingga abad kelima dan awal abad 6H abad tersbut merupakan abad keemasan penulisan ilmu ushul fiqh Karena banyak ulama yang mmusatkan perhatianya pada bidang ushul fiqih dan juga muncul kitab-kitab fiqih yang menjadi standar dan rujukan untuk ushul fiqih selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Rahmat
Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih, cv pustaka setia bandung, 2007
Hasim Kamali, Muhammad, Prinsip Dan Teori-Teori Hukum
Islam, Pustaka Pelajar Offset, 1996
1. Ushul Fiqh Masa Rasulullah
Ushul fiqh sebagai sebuah bidang keilmuan lahir terlebih kemudian dibandingkan ushul fiqh sebagai sebuah metode memecahkan hukum. Kalau ada yang bertanya: “Dahulu mana ushul fiqh dan fiqh?” tentu tidak mudah menjawabnya. Pertanyaan demikian sama dengan pertanyaan mengenai mana yang lebih dahulu: ayam atau telor.
Musthafa Said al-Khin memberikan argumentasi bahwa ushul fiqh ada sebelum fiqh. Alasanya adalah bahwa ushul fiqh merupakan pondasi, sedangkan fiqh bangun yang didirikan di atas pondasi. Karena itulah sudah barang tentu ushul fiqh ada mendahului fiqh[1] Kesimpulannya, tentu harus ada ushul fiqh sebelum adanya fiqh.
Jawaban demikian benar apabila ushul fiqh dilihat sebagai metode pengambilan hukum secara umum, bukan sebuah bidang ilmu yang khas. Ketika seorang sahabat, misalnya, dihadapkan terhadap persoalan hukum, lalu ia mencari ayat Alquran atau mencari jawaban dari Rasulullah, maka hal itu bisa dipandang sebagai metode memecahkan hukum. Ia sudah punya gagasan bahwa untuk memecahkan hukum harus dicari dari Alquran atau bertanya kepada Rasulullah. Akan tetapi, cara pemecahan demikian belum bisa dikatakan sebagai sebuah bidang ilmu. Pemecahan demikian adalah prototipe (bentuk dasar) ushul fiqh, yang masih perlu pengembangan lebih lanjut untuk disebut sebagai ilmu ushul fiqh.
Prototipe-prototipe ushul fiqh demikian tentu telah ditemukan pada masa hidup Rasulullah sendiri. Rasulullah dan para sahabat berijtihad dalam persoalan-persoalan yang tidak ada pemecahan wahyunya. Ijtihad tersebut masih dilakukan sahabat dalam bentuk sederhana, tanpa persyaratan rumit seperti yang dirumuskan para ulama dikemudian hari
Contoh ijtihad yang dilakukan oleh sahabat adalah ketika dua orang sahabat bepergian, kemudian tibalah waktu shalat. Sayangnya mereka tidak punya air untuk wudlu. Keduanya lalu bertayammum dengan debu yang suci dan melaksanakan shalat. Kemudian mereka menemukan air pada waktu shalat belum habis. Salah satu mengulang shalat sedangkan yang lain tidak. Keduanya lalu mendatangi Rasulullah dan menceritakan kejadian tersebut. Kepada yang tidak mengulang Rasulullah bersabda: “Engkau telah memenuhi sunnah dan shalatmu mencukupi.” Kepada orang yang berwudlu dan mengulang shalatnya, Rasulullah menyatakan: “Bagimu dua pahala.”[2]
Dalam kisah di atas, sahabat melakukan ijtihad dalam memecahkan persoalan ketika menemukan air setelah shalat selesai dikerjakan dengan tayammum. Mereka berbeda dalam menyikapi persoalan demikian, ada yang mengulang shalat dengan wudlu dan ada yang tidak. Akhirnya, Rasulullah membenarkan dua macam hasil ijtihad dua sahabat tersebut.
Tidak hanya prototipe ijtihad, prototipe qiyas pun sudah ada pada masa Rasulullah. Kisah berikut menjadi contoh bagaimana qiyas dilakukan oleh Rasulullah.
Suatu saat seorang perempuan datang kepada Rasulullah dan mengatakan bahwa ibunya meninggal dunia dengan meninggalkan hutang puasa satu bulan. Rasulullah pun kemudian berkata:
أَرَأَيْتِلَوْكَانَعَلَيْهَادَيْنٌأَكُنْتِتَقْضِينَهُ. فَقَالَتْ : نَعَمْفَقَالَ : دَيْنٌاللَّهِأَحَقُّبِالْقَضَاءِ
“Bagaimana seandainya ibumu memiliki hutang, apakah engkau membayarkannya?” Perempuan tersebut menjawab: “Ya.” Rasulullah berkata: “Hutang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan.”[3]
Terhadap pertanyaan perempuan yang datang kepadanya, Rasulullah tidak menjawab dengan jawaban “Ya” atau “Tidak”. Beliau menjawabnya dengan meng-qiyas-kan terhadap hutang piutang. Jadi, hukum hutang puasa orang tua yang meninggal dunia disamakan dengan hukum hutang piutang harta. Kasus tersebut menjadi bentuk dasar qiyas, yang dikemudian hari disusun prosedurnya secara baku oleh Imam Syafi’i.
Berbagai konsep ushul fiqh dapat ditemukan penggunaannya pada masa Rasulullah. Semua itu belum menjadi konsep baku, melainkan hanya sebagai buah dari pemecahan masalah praktis. Sama halnya seperti ketika orang Nusantara mempergunakan bahasa Melayu pada abad XVII atau XVIII. Mereka mengerti bagaimana mengucapkan bahasa Melayu yang benar berdasarkan kebiasaan dan pemahaman yang ada dalam otak mereka. Akan tetapi, kaidah-kaidah bahasa Melayu, yang kemudian disempurnakan menjadi kaidah bahasa Indonesia, baru ditulis dan dirumuskan belakangan dari praktek orang Melayu berbahasa.
1. 2. Ushul Fiqh Masa Sahabat
Masa sahabat sebenarnya adalah masa transisi dari masa hidup dan adanya bimbingan Rasulullah kepada masa Rasulullah tidak lagi mendampingi umat Islam. Ketika Rasulullah masih hidup sahabat menggunakan tiga sumber penting dalam pemecahan hukum, yaitu Alquran, sunnah, dan ra’yu (nalar). Petunjuk paling jelas terhadap tiga sumber tersebut tampak dalam riwayat berikut:
عَنْمُعَاذٍ : أَنَّرَسُولَاللَّهِ -صلىاللهعليهوسلم- لَمَّابَعَثَمُعَاذًاإِلَىالْيَمَنِقَالَلَهُ : كَيْفَتَقْضِىإِذَاعَرَضَلَكَقَضَاءٌ؟. قَالَ : أَقْضِىبِكِتَابِاللَّهِ. قَالَ : فَإِنْلَمْتَجِدْهُفِىكِتَابِاللَّهِ؟قَالَ : أَقْضِىبِسُنَّةِرَسُولِاللَّهِ -صلىاللهعليهوسلم-. قَالَ : فَإِنْلَمْتَجِدْهُفِىسُنَّةِرَسُولِاللَّهِ ..قَالَ : أَجْتَهِدُبِرَأْيِىلاَآلُو. قَالَ : فَضَرَبَبِيَدِهِفِىصَدْرِىوَقَالَ : الْحَمْدُللَّهِالَّذِىوَفَّقَرَسُولَرَسُولِاللَّهِلِمَايُرْضِىرَسُولَاللَّهِ.
Dari Muadz: Bahwasanya Rasulullah SAW ketika mengutus Muadz ke Yaman, beliau bersabda: “Bagaimana kau memutuskan juga dihadapkan perkara kepadamu‘ Muadz menjawab: “Saya putuskan dengan kitab Allah. Rasulullah bertanya kembali: “Jika tidak kau temukan dalam kitab Allah.” Muadz menjawab: “Saya putuskan dengan sunnah Rasulullah SAW. Rasulullah bertanya: Jika tidak kau temukan dalam sunnah Rasulullah‘ Muadz menjawab: “Saya berijtihad dengan ra’yu saya dan tidak melampaui batas.” Muadz lalu berkata: “Rasulullah memukulkan tangannya ke dada saya dan bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk utusan Rasulullah terhadap apa yang diridloi Rasulullah.”[4]
Meninggalnya Rasulullah memunculkan tantangan bagi para sahabat. Munculnya kasus-kasus baru menuntut sahabat untuk memecahkan hukum dengan kemampuan mereka atau dengan fasilitas khalifah. Sebagian sahabat sudah dikenal memiliki kelebihan di bidang hukum, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, Abdullah Ibnu Mas’ud, Abdullah Ibn Abbas, dan Abdullah bin Umar. Karir mereka berfatwa sebagian telah dimulai pada masa Rasulullah sendiri.[5]
Pada era sahabat ini digunakan beberapa cara baru untuk pemecahan hukum, di antaranya ijma sahabat dan maslahat.[6] Pertama, khalifah (khulafa’ rasyidun) biasa melakukan musyawarah untuk mencari kesepakatan bersama tentang persoalan hukum. Musyawarah tersebut diikuti oleh para sahabat yang ahli dalam bidang hukum. Keputusan musywarah tersebut biasanya diikuti oleh para sahabat yang lain sehingga memunculkan kesepakatan sahabat. Itulah momentum lahirnya ijma’ sahabat, yang dikemudian hari diakui oleh sebagian ulama, khususnya oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya sebagai ijma yang paling bisa diterima.
Kedua, sahabat mempergunakan pertimbangan akal (ra’yu), yang berupa qiyas dan maslahah. Penggunaan ra’yu (nalar) untuk mencari pemecahan hukum dengan qiyas dilakukan untuk menjawab kasus-kasus baru yang belum muncul pada masa Rasulullah. Qiyas dilakukan dengan mencarikan kasus-kasus baru contoh pemecahan hukum yang sama dan kemudian hukumnya disamakan.
Penggunaan maslahah juga menjadi bagian penting fiqh sahabat. Umar bin Khattab dikenal sebagai sahabat yang banyak memperkenalkan penggunaan pertimbangan maslahah dalam pemecahan hukum. Hasil penggunaan pertimbangan maslahat tersebut dapat dilihat dalam pengumpulan Alquran dalam satu mushaf, pengucapan talak tiga kali dalam satu majelis dipandang sebagai talak tiga, tidak memberlakukan hukuman potong tangan diwaktu paceklik, penggunaan pajak tanah (kharaj), pemberhentian jatah zakat bagi muallaf, dan sebagainya.
Sahabat juga memiliki pandangan berbeda dalam memahami apa yang dimaksud oleh Alquran dan sunnah. Contoh perbedaan pendapat tersebut antara lain dalam kasus pemahaman ayat iddah dalam surat al-Baqarah 228..
وَالْمُطَلَّقَاتُيَتَرَبَّصْنَبِأَنْفُسِهِنَّثَلاثَةَقُرُوءٍ
“Perempuan-perempuan yang ditalak hendaknya menunggu selama tiga quru‘”
Kata quru’ dalam ayat di atas memiliki pengertian ganda (polisemi), yaitu suci dan haidh. Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ali, Usman, dan Abu Musa al-Asy’ari mengartikan quru’ dalam ayat di atas dengan pengertian haidh, sedangkan Aisyah, Zaid bin Tsabit, dan Ibnu Umar mengartikannya dengan suci.[7] Itu berarti ada perbedaan mengenai persoalan lafal musytarak (polisemi).
Secara umum, sebagaimana pada masa Rasulullah, ushul fiqh pada era sahabat masih belum menjadi bahan kajian ilmiah. Sahabat memang sering berbeda pandangan dan berargumantasi untuk mengkaji persoalan hukum. Akan tetapi, dialog semacam itu belum mengarah kepada pembentukan sebuah bidang kajian khusus tentang metodologi. Pertukaran pikiran yang dilakukan sahabat lebih bersifat praktis untuk menjawab permasalahan. Pembahasan hukum yang dilakuakn sahabat masih terbatas kepada pemberian fatwa atas pertanyaan atau permasalahan yang muncul, belum sampai kepada perluasan kajian hukum Islam kepada masalah metodologi.[8]
Pada era tabi’in perbincangan mengenai persoalan ushul fiqh tidak banyak berbeda dengan era sahabat karena para tabiin adalah murid-murid para sahabat. Hal yang penting dicatat barangkali adalah bahwa pada era tabi’in, pembagian geografis mulai mendapatkan tempat dalam peta pemikiran hukum Islam. Perbincangan tersebut disertai dengan munculnya sentral-sentral pengembangan kajian hukum Islam di amshar (kota-kota besar Islam), seperti Makkah dan Madinah, Iraq (Kufah), Syiria, dan Mesir.
1. 3. Ushul Fiqh Masa Tabi’in
Tabi’in adalah generasi setelah sahabat. Mereka bertemu dengan sahabat dan belajar kepada sahabat. Patut dicatat bahwa para sahabat ketika Islam menyebar turut pula menyebar ke berbagai daerah, seperti Ibnu Mas’ud ada di Iraq, Umayyah ada di Syam, Ibnu Abbas di Makkah, Umar bin Khattab, Aisyah, dan Ibnu Umar, dan Abu Hurairah di Madinah, dan Abdullah bin Amru bin Ash di Mesir. Para sahabat tersebut berperan dalam penyebaran ajaran Islam dan menjadi tempat masyarakat masing-masing daerah meminta fatwa. Mereka pun memiliki murid-murid di daerah-daerah tersebut. Murid-murid sahabat itulah yang kemudian menjadi tokoh hukum di daerahnya masing-masing.
Murid-murid para sahabat tidak hanya dari kalangan orang-orang Arab, melainkan juga dari kalangan muslim non-Arab (mawali). Banyak pemberi fatwa yang terkenal di kalangan tabi‘in adalah non-Arab, seperti Nafi , Ikrimah, Atha’ bin Rabbah (para ahli hukum Makkah), Thawus (ahli hukum Yaman), Ibrahim al-Nakha‘i (ahli hukum Kufah), Hasan al-Bashri dan Ibnu Sirin (para ahli hukum Bashrah), Yahya ibn Katsir.[9]
Kecenderungan berpikir sahabat turut mempengaruhi pola pemikiran ushul fiqh di masing-masing daerah. Ibnu Mas’ud, misalnya, dikenal sebagai tokoh yang memiliki kemampuan ra’yu yang baik. Tidak mengherankan apabila murid-muridnya di Iraq (Kufah) juga dikenal dengan ahl al-ra’yi, meskipun ada faktor lain yang tentunya berpengaruh. Karena itulah, metode istimbath tabi’in umumnya tidak berbeda dengan metode istimbath sahabat. Hanya saja pada masa tabi’in ini mulai muncul dua fenomena penting:
1. Pemalsuan hadits
2. Perdebatan mengenai penggunaan ra’yu yang memunculkan kelompok Iraq (ahl al-ra’yi) dan kelompok Madinah (ahl al-hadits)
Dengan demikian muncul bibit-bibit perbedaan metodologis yang lebih jelas yang sertai dengan perbedaan kelompok ahli hukum (fukaha) berdasarkan wilayah geografis. Dua hal tersebut, ditambah munculnya para ahli hukum non-Arab, melahirkan wacana pemikiran hukum yang nantinya melahirkan madzhab-madzhab hukum Islam. Masing-masing madzhab hukum memiliki beberapa aspek metode yang khas, yang membedakannya dengan madzhab yang lain.
4. Ushul Fiqh Masa Imam Madzhab
Pada masa imam madzhab inilah pemikiran hukum Islam mengalami dinamika yang sangat kaya dan disertai dengan perumusan ushul fiqh secara metodologis. Artinya, ada kesadaran mengenai cara pemecahan hukum tertentu sebagai metode khas. Berbagai perdebatan mengenai sumber hukum dan kaidah hukum melahirkan berbagai ragam konsep ushul fiqh.
Imam Najmuddin al-Thufi pada peralihan abad ke-7 ke abad ke-8 hijriyah, misalnya, menginventarisir sembilan belas dalil hukum, baik yang disepakati maupun yang dipertentangkan para ulama, yang masih dikenal pada masanya. Kesembilan belas dalil hukum itu antara lain:
1. Alquran
2. hadits
3. ijma’ ummat
4. ijma’ orang Madinah
5. qiyas,
6. pendapat sahabat
7. maslahah mursalah
8. istishab
9. bara’ah ashliyah
10. adat/‘urf
11. istiqra’ (induksi)
12. sadd al-dzariah (tindakan preventif)
13. istidlal
14. istihsan
15. mengambil yang lebih mudah
16. ishmah
17. ijma’ orang Kufah
18. Ijma’ sepuluh orang
19. dan ijma khulafa’ yang empat (khulafa’ rasyidun).[10]
Perdebatan mengenai dalil hukum, baik tentang sunnah, amal ahli Madinah, istihsan, qiyas, maslahah mursalah, ijma’, ra’yu, mencapai puncaknya. Imam Malik dan orang-orang Madinah sangat menghargai amal orang-orang Madinah. Ketika ada hadits Rasulullah diriwayatkan secara ahad (diriwayatkan oleh satu atau beberapa orang tapi tidak mencapai derajat pasti/mutawatir) bertentangan dengan amal ahli Madinah, amal ahli Madinah lah yang dipergunakan. Alasannya adalah bahwa amalan orang Madinah adalah peninggalan para sahabat yang hidup di Madinah dan mendapatkan petunjuk dari Rasulullah. Amalan orang Madinah telah dilakukan oleh banyak sekali sahabat yang tidak mungkin menyalahi ajaran Rasulullah, yang selama sepuluh tahun hidup di Madinah.
Oleh karena itu, Imam Malik pernah berkirim surat kepada Imam al-Laits, imam orang Mesir, yang isinya mengajak Imam laits untuk mempergunakan amalan orang Madinah. Akan tetapi tawaran tersebut ditolak oleh Imam Laits karena ia lebih setuju mengutamakan hadits, meskipun hadits itu ahad.
Orang Iraq, khususnya Imam Abu Hanifah, mempergunakan istihsan apabila hasil qiyas, meskipun benar secara metode, dirasa tidak sesuai dengan nilai dasar hukum Islam. Penggunaan istihsan oleh Imam Abu Hanifah tersebut ditentang ulama lain dan dipandang sebagai pemecahan hukum berdasarkan hawa nafsu. Orang-orang Iraq juga dikritik karena mempergunakan ra’yu secara berlebihan. Sementara itu, bagi orang Iraq, mempergunakan petunjuk umum ayat dan ra’yu lebih dirasa memadai dibandingkan mempergunakan riwayat dari Rasulullah, tetapi riwayat tersebut tidak meyakinkan kesahihannya.
Penggunaan amal Madinah oleh Imam Malik dan istihsan oleh Imam Abu Hanifah tidak berarti keduanya mengabaikan hadits. Alquran dan hadits tetap menjadi pilar utama istimbath hukum. Imam Malik adalah orang pertama yang menyusun kitab hadits, yaitu dalam kitabnya al-Muwaththa’. Kitab al-Muwaththa’ adalah kitab hadits yang dipergunakan sebagai dasar pemecahan masalah hukum sehingga disusun dengan sistematika fiqh. Imam Abu Hanifah dan para muridnya juga sangat menghargai hadits. Hasil istimbath hukum Imam Abu Hanifah dan orang-orang Iraq juga dipenuhi dengan dasar Alquran dan hadits.
Penolakan terhadap hadits tertentu terjadi karena keduanya mengutamakan riwayat yang kuat. Bagi Imam Malik, amalan orang Madinah sangat kuat karena diamalkan ribuan sahabat sejak masa Nabi Muhammad. Jadi, amalan orang Madinah tidak bisa dikalahkan hanya oleh riwayat oleh satu dua orang saja. Apabila riwayat tersebut bisa dibuktikan secara meyakinkan tentu Imam Malik akan menerimanya. Hal yang sama terjadi dengan Imam Abu Hanifah. Terjadinya pemalsuan hadits membuat orang-orang Iraq bertindak selektif. Apabila ada riwayat yang diragukan kesahihannya, mereka lebih merasa aman mempergunakan makna umum Alquran dan menjabarkannya melalui ra’yu (nalar) mereka. Akan tetapi, kalau ada hadits yang sahih tentu hadits tersebut yang dijadikan sandaran.
Sejalan dengan munculnya pemlsuan hadits tersebut, muncullah aliran ingkar al-sunnah. Aliran tersebut berpandangan bahwa Alquran saja sudah cukup dijadikan sebagai pedoman, tanpa perlu mempertimbangkan hadits. Aliarn tersebut adalah kelompok yang frustasi akibat terjadinya pemalsuan hadits sehingga menolak keseluruhan hadits, tanpa melalui penelitian terlebih dahulu. Memang pada masa tersebut Imam Bukhari, Imam Muslim dan para pengumpul hadits belum banyak seperti pada abad ke-4 Hijriyah, meskipun telah ada beberapa kitab hadits. Terhadap munculnya aliran ingkar al-sunnah tersebut, Imam Syafi’i bekerja keras membantah argumentasi kelompok ingkar al-sunnah. Perdebatan Imam Syafii dengan ingkar al-sunnah bisa dibaca dalam kitab al-Umm..
Imam Syafii kemudian mengajukan sistematika dalil hukum yang utama, yaitu:
1. Alquran
2. Sunnah
3. Ijma’
4. Qiyas
Melalui sistematika tersebut, Imam Syafi’i menegaskan kembali Alquran sebagai sumber pertama, sedangkan hadits sebagai sumber kedua. Dengan rumusan semacam itu, dia menolak pandangan ingkar al-sunnah dan juga menolak sikap sebagian ulama ushul yang mendahulukan amalan orang Madinah atau makna umum Alquran dibandingkan hadits ahad. Gagasan demikianlah yang kemudian melahirkan madhab Syafi‘i.
Imam Syafi’i melakukan pendisiplinan dan sistematikasi penggunaan ijma dan qiyas para oleh pendahulunya. Ia mengkritik ijma’ yang dilakukan berdasarkan kedaerahan, yaitu ijma’ ahli Madinah dan ijma’ orang Kufah. Beliau menegaskan bahwa ijma’ yang valid adalah ijma’ umat Islam, tidak cukup ijma’ orang Kufah orang Madinah, atau ijma’ sahabat saja. Imam Syafi’i juga membenahi penggunaan qiyas agar dilakukan secara metodologis. Beliau mengajukan syarat-syarat agar qiyas dilakukan, yaitu melalui empat rukun qiyas, yang akan dibahas dalam bab qiyas nanti.
Karya Imam Syafi’i, yaitu al-Risalah, adalah kitab ushul fiqh yang pertama ditulis. Kitab tersebut menjadi tonggak bagi perkembangan ushul fiqh sebagai bidang ilmu yang mandiri. Para ahli ushul menganggap Imam Syafi’i sebagai Bapak dan Pendiri ilmu ushul fiqh.[11]
Di kalangan madzhab Hanafi ada yang menolak bahwa Imam Syafi’i sebagai pendiri ushul fiqh. Mereka menyatakan bahwa Imam Abu Hanifah dan dua muridnya: Imam Abu Yusuf Ibnu Abi Laila dan Muhammad bin Hasan al-Syaybani adalah peletak ilmu ushul fiqh.[12] Sejarah memang mencatat bahwa Imam Syafi’i pernah berguru kepada Imam Muhammad bin Hasan al-Syaybani.
Klaim golongan Hanafi boleh jadi benar apabila dikaitkan dengan munculnya gagasan metodologis ushul fiqh. Imam Syafi‘i tidak memulai segalanya dari ruang kosong. Rumusan-rumusan yang beliau tulis tentu telah dibicarakan orang pada masanya. Apalagi pemikiran ushul fiqh di Iraq memang kaya dan maju di masa itu. Hanya saja, Imam Syafi‘i lah yang memiliki bukti otentik, berupa karya, yang bisa menjadi patokan bagi dimulainya ushul fiqh sebagai bidang ilmu yang mandiri.
Setelah lahirnya kitab al-Risalah, perdebatan mengenai aspek metodologis masih terjadi dan perbedaan pendapat pun masih ada. Imam Ahmad bin Hanbal, meskipun murid Imam Syafi‘i, hanya menerima ijma‘ sahabat, bukan ijma‘ ummat. Imam Dawud al-Dzahiri menolak penggunaan qiyas dan lebih condong untuk menggunakan makna universal lafal Alquran atau hadits untuk diberlakukan kepada kasus-kasus baru.
5. Kelahiran Karya-karya Besar Ushul Fiqh
Puncak perkembangan ushul fiqh terjadi sekitar pada abad ke-5 Hijriyah. Pada masa tersebut, lahir para ulama dan karya-karya ushul fiqh kenamaan yang menjadi rujukan kitab-kitab ushul fiqh di kemudian hari. Di antara kitab-kitab penting ushul fiqh yang lahir pada abad ke-5 tersebut antara lain:
1. Kitab al-Ahd atau al-Amd karya Qadli Abd al-Jabbar al-Mu‘tazili (w. 415H/1024M)
2. Kitab al-Mu‘tamad karya Abu Husayn al-Bashri al-Mu’tazili (w. 436H 1044M)
3. Kitab al-‘Uddah karya Abu Ya’la al-Hanbali (w. 458H/1065M)
4. Kitab al-Ihkam fi ‘Ushul al-Ahkam karya Ibnu Hazm al-Dzahiri (w. 456H/1062M)
5. Kitab al-Luma’ karya Abu Ishaq al-Syirazi al-Syafi‘i (w. 467H /1083 M)
6. Kitab al-Burhan karya Al-Juwayni al-Syafi‘i (w. 478H /1085M)
7. Kitab Ushul Al-Sarakhsi karya Imam al-Sarakahsi al-Hanafi (w. 490H/1096M).
Imam Abu Hamid Al-Ghazali wafat pada tahun 505 H atau abad ke-6, tetapi sebagian hidupnya dihabiskan pada abad ke k-5. Karena itu, kitab al-Mustashfa karya al-Ghazali dapat dimasukkan ke dalam jajaran kitab yang dilahirkan ulama abad ke-5.
Di antara kitab-kitab di atas, ada empat kitab yang kemudian memperoleh pengakuan sebagai kitab terbaik dan mempengaruhi perkembangan ushul fiqh selanjutnya di kalangan mutakallimin, yaitu al-Ahd karya Qadli Abdul Jabbar, al-Mu‘tamad karya Abu Husayn al-Bashri, al-Burhan karya al-Juwayni, dan al-Musthasfa karya al-Ghazali. Kitab-kitab tersebut disebut Ibnu Khaldun sebagai kitab ushul fiqh terbaik. Empat kitab tersebut kemudian diringkas dan dijabarkan kembali oleh para ulama setelahnya, khususnya para ulama abad ke-7 Hijriyyah, seperti Fakhruddin al-Razi, al-Amidi, Ibnu Qudamah, Ibnu Hajib dan sebagainya.
Karena itu, muncullah beberapa kesepakatan dalam berbagai kitab ushul mengenai sistematikasi bahasan kitab ushul. Bahasan mengenai hukum, kaidah-kaidah-kaidah kebahasaan, kaidah naskh dan tarjih, dalil hukum, dan ijtihad hampir ada di semua kitab ushul fiqh mutakallimin yang berakar dari empat kitab di atas. Perbedaan bahasan terjadi dalam beberapa aspek, misalnya tentang pengantar logika, pembahasan kalam, dan tentang huruf, yang ada disebagian kitab ushul dan tidak ada disebagian kitab ushul yang lain.[13]
6. Aliran-Aliran Ushul Fiqh
Sejarah perkembangan ushul fiqh menunjukkan bahwa ilmu tersebut tidak mandeg, melainkan berkembang secara dinamis. Ada beberapa aliran metode penulisan ushul fiqh yang saat ini dikenal. Secara umum, para ahli membagi aliran penulisan ushul fiqh menjadi dua, yaitu mutakallimin (Syafi’iyyah) dan aliran fukaha (Aliran Hanafiyah). Dari kedua aliran tersebut lahir aliran gabungan. Tiga aliran utama tersebut diuraikan sebagai berikut:
1. a. Aliran Mutakallimin
Aliran mutakallimin disebut juga dengan aliran Syafi’iyyah. Alasan penamaan tersebut bisa dipahami mengingat karya-karya ushul fiqh aliran mutakallimin banyak lahir dari kalangan Syafi’iyyah, seperti al-Luma’ karya al-Syirazi, al-Mustashfa karya al-Ghazali, al-Mahsul karya Fakhruddin al-Razi, al-Burhan dan al-Waraqat karya al-Juwayni, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam karya al-Amidi, Minhaj al-Wushul ila Ilm a’-Ushul karya al-Baidlawi dan sebagainya. Karya al-Ghazali, al-Razi, dan al-Amidi banyak dirujuk oleh para ahli ushul fiqh dari madzhab non-Syafi’i. Kitab Rawdlah al-Nadzir wa Jannah al-Munadzir karya tokoh Hanabilah Ibnu Qudamah al-Maqdisi, misalnya, dipandang sebagai ringkasan dari al-Mustashfa karya al-Ghazali dan kitab Muntaha al-Wushul (al-Sul)wa al-Amal fi Ilmay al-Ushul wa al-Jadal karya Ibnu Hajib dipandang sebagai ringkasan kitab al-Ihkam fi ushul al-Ahkam karya al-Amidi..
Meskipun demikian, penulis-penulis ushul fiqh model mutakallimin hanya orang Asy’ariyyah. Penulis ushul fiqh aliran mutakallimin bersifat lintas madzhab. Ada penulis dari kalangan Hanbali, seperti
1) Abu Ya’la (pengarang al-Uddah),
2) Ibnu Qudamah (pengarang Rawdlah al-Nadzir wa Jannah al-Munadzir),
3) Keluarga Ibnu Taimiyyah: Majduddin, Taqi al-Din, dan Ibnu Taimiyyah beserta ayah dan kakeknya (karangan ketiganya tercakup dalam kitab al-Musawwadah),
4) Najm al-Din al-Thufi pengarang Mukhtashar al-Rawdlah dan Syarh Mukhtashar al-Rawdlah).
Ada penulis dari kalangan Maliki, seperti:
1) Ibnu Hajib (pengarang Muntaha al-Wushul (al-Sul) wa al-Alam fi Ilmay al-Ushul wa al-Jadal).
Ada pula penulis dari kalangan Dzahiriyyah, seperti:
1) Ibnu Hazm al-Andalusi (pengarang kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam).
Sebutan mutakallimin adalah sesuai dengan karakteristik penulisannya. Kaum mutakallimin adalah orang-orang yang banyak bergulat dengan pembahasan teologis dan banyak memanfaatkan pemikiran deduktif, termasuk logika Yunani. Orang-orang seperti Qadli Abdul Jabbar adalah seorang teolog Mu’tazilah. Imam Abu al-Husayn al-Bashri pun termasuk dalam aliran Mu’tazilah. Sementara itu, Imam Abu Bakar al-Baqillani, yang menulis buku al-Taqrib wa al-Irsyad dan diringkas oleh Imam al-Juwayni, dipandang sebagai Syaikh al-Ushuliyyin. Imam al-Juwayni sendiri, Imam al-Ghazali, dan Fakhruddin al-Razi adalah di antara tokoh-tokoh besar Asy’ariyyah penulis ushul fiqh. Ada pula penulis yang tidak menunjukkan kejelasan afiliasi teologis, tetapi menulis dengan pola mutakallimin, seperti Imam Abu Ishaq al-Syirazi.[14]
Ada beberapa ciri khas penulisan ushul fiqh aliran Mutakallimin, antara lain:
1. Penggunaan deduksi di dalamnya. Ushul fiqh mutakallimin membahas kaidah-kaidah, baik disertai contoh maupun tidak. Kaidah-kaidah itulah yang menjadi pilar untuk pengambilan hukum. Jadi, kaidah dibuat dahulu sebelum digunakan dalam istimbath. Kaidah-kaidah tersebut utamanya berisi kaidah kebahasaan.
2. Adanya pembahasan mengenai teori kalam dan teori pengetahuan, seperti terdapat dalam al-Luma karya al-Syirazi dan al-Ihkam karya al-Amidi. Teori kalam yang sering dibahas adalah tentang tahsin dan taqbih. Sementara itu, dalam pembahasan mengenai teori pengetahuan tersebut, dimasukkan pengertian ilmu dan terkadang dimasukkan pula muqaddimah mantiqiyyah (pengantar logika), sebagaimana terdapat dalam al-Mustashfa karya al-Ghazali, Rawdlah al-Nadzir karya Ibnu Qudamah, dan Muntaha al-Wushul (al-Sul) karya Ibnu Hajib.
Aliran mutakallimin mengembangkan gagasan-gagasan yang telah ada dalam kitab al-Risalah karya al-Syafi’i dengan berbagai penjelasan dan materi tambahan. Aliran ini banyak diikuti oleh para ulama dan menjadi aliran utama dalam ushul fiqh, serta bersifat lintas madzhab.
b. Aliran Hanafiyah
Aliran Hanafiyah atau aliran Fukaha adalah aliran yang diikuti oleh para ulama madzhab Hanafi. Madzhab Hanafi adalah madzhab yang sejak semula memiliki pengembangan metodologis yang baik. Hal itu dibuktikan dengan pengaruh perkembangan ilmu qawaid fiqh di kalangan Syafi’iyyah yang dipengaruhi oleh qawaid fiqh Hanafi.[15] Karena itu, mereka mengembangkan sendiri model penulisan ushul fiqh yang khas madzhab Hanafi.
Ciri khas penulisan madzhab Hanafi adalah berangkat dari persoalan-persoalan hukum yang furu yang dibahas oleh para imam mereka, lalu membuat kesimpulan metodologis berdasarkan pemecahan hukum furu tersebut. Jadi, kaidah-kaidah dibuat secara induktif dari kasus-kasus hukum. Kaidah-kaidah tersebut bisa berubah dengan munculnya kasus-kasus hukum yang menuntut pemecahan hukum yang lain. Karena itu, ushul fiqh Hanafi dipenuhi dengan persoalan hukum yang nyata.
Karya ushul fiqh di kalangan Hanafi cukup banyak dikenal dan dirujuk. Kitab-kitab ushul fiqh yang khas menunjukkan metode Hanafiyah antara lain:
1. al-Fushul fi Ushul Fiqh karya Imam Abu Bakar al-Jashshash (Ushul al-Jashshash) sebagai pengantar Ahkam al-Quran.
2. Taqwim al-Adillah karya Imam Abu Zayd al-Dabbusi
3. Kanz al-Wushul ila Ma’rifat al-Ushul karya Fakhr al-Islam al-Bazdawi.
4. Ushul Fiqh karya Imam al-Sarakhsi (Ushul al-Syarakhsi)
c. Aliran Gabungan
Pada perkembangannya muncul tren untuk menggabungkan kitab ushul fiqh aliran mutakallimin dan Hanafiyah. Metode penulisan ushul fiqh aliran gabungan adalah dengan membumikan kaidah ke dalam realitas persoalan-persoalan fiqh. Persoalan hukum yang dibahas imam-imam madzhab diulas dan ditunjukkan kaidah yang menjadi sandarannya.
Karya-karya gabungan lahir dari kalangan Hanafi dan kemudian diikuti kalangan Syafi’iyyah. Dari kalangan Hanafi lahir kitab Badi’ al-Nidzam al-jami‘ bayn Kitabay al-Bazdawi wa al-Ihkam yang merupakan gabungan antara kitab Ushul karya al-Bazdawi dan al-Ihkam karya al-Amidi. Kitab tersebut ditulis oleh Mudzaffar al-Din Ahmad bin Ali al-Hanafi. Ada pula kitab Tanqih Ushul karya Shadr al-Syariah al-Hanafi. Kitab tersebut adalah ringkasan dari Kitab al-Mahshul karya Imam al-Razi, Muntaha al-Wushul (al-Sul) karya Imam Ibnu Hajib, dan Ushul al-Bazdawi. Kitab tersebut ia syarah sendiri dengan judul karya Shadr al-Syari’ah al-Hanafi. Kemudian lahir kitab Syarh al-Tawdlih karya Sa’d al-Din al-Taftazani al-Syafii dan Jam’ al-Jawami’ karya Taj al-Din al-Subki al-Syafi’i.
Tiga aliran di atas adalah aliran utama dalam ushul fiqh. Sebenarnya ada pula yang memasukkan takhrij al-furu’ ‘ala al-ushul dan aliran khusus sebagai aliran lain dalam ushul fiqh. Aliran takhrij al-furu’ ‘ala al-ushul dipandang berwujud berdasarkan dua kitab yang secara jelas menyebut istilah tersebut, yaitu Kitab Takhrij al-Furu’ ‘Ala al-Ushul karya al-Isnawi al-Syafi‘i dan Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul karya al-Zanjani al-Hanafi. Sementara itu, aliran khusus adalah aliran yang mengkaji satu pokok bahasan ushul fiqh tertentu secara panjang lebar, seperti mengenai maslahah mursalah sebagaimana dilakukan oleh al-Syatibi dalam al-Muwafaqat atau oleh Muhammad Thahir ‘Asyur dalam Maqashid al-Syariah.
[1]Muhammad Sa‘id al-Khinn. Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtialaf al-Fuqaha. Beirut: Muassassah al-Risalah. 1994. h. 122-123.
[2]Kisah di atas berasal dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan al-Nasa’I daru Abu Sa‘id al-Khudri.
[3]Hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Bayhaqi dari Ibnu Abbas. Hadits dengan makna yang sama diriwayatkan oleh Muslim.
[4]Redaksi hadits di atas berasal dari Sunan al-Baihaqi. Riwayat yang hampir sama isi dan redaksinya juga dimuat dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, Sunan Abu Dawud, dan Sunan Tirmidzi. Meskipun ada yang meragukan kesahihan hadits di atas, namun hadits tersebut sangat populer di kalangan ushuliyyin.
[5]Lihat Thaha Jabir Alwani. Source Methodology in Islamic Jurisprudence. Virginia: IIIT. 1994. h. 19
[6] Lihat Abdul Wahab Ibrhamim Abu Sulaiman. Al-Fikr al-Usuli: Dirasah Tahliliyah Naqdiyah. Jeddah: Dar al-Syuruq. 1983. h. 38-39..
[7]Lihat Musthafa Sa‘id al-Khinn. Atsar al-Ikhtilaf… h. 72.
[8]Muhammad al-Khudlary. Tarikh Tasyri’ al-Islamy. Surabaya: dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah. Tth. h. 114.
[9]Taha Jabir Alwani.Source Methodology… h. 33. Lihat juga Muhammad al-Khudary. Tarikh…h. 150-162
[10]Najmuddin al-Thufi. Kitab al-Ta’yin fi Syarh al-Arbain. Beirut: Muassasah al-Rayyan. 1998. h. 237-238.
[11]Lihat Abu Zahrah. Ushul Fiqh. Tt: Tp. Tth. h. 13. Lihat juga Noel James Coulson. History of Islamic Law. Edinburgh: Edinburgh University Press. 1964. h. 53 dst.
[13]Lihat Wael B. Hallaq. A History of Islamic Legal Theories, an Introduction to Sunni Ushul Fiqh. Cambridge: Cambridge University Press. 1997. h. 127
[14]Imam al-Syirazi dikenal sebagai pengikut Syafi’i yang non-Asy’ariyyah dan menjadi rival Imam al-Juwayni dalam perdebatan (munadzarah) teologis. Lihat catatan mengenai perdebatan teologis Abu Ishaq al-Syirazi dan Al-Juwayni dalam George al-Makdisi. The Rise of Colledge: Institution of Learning in Islam and in The West.Edinburgh: Edinburgh University Press. 1981. h. 154.
[15]Lihat dalam al-Suyuthi. al-Asybah wa al-Nadzair fi al-Furu’.
Ushul fiqh sebagai sebuah bidang keilmuan lahir terlebih kemudian dibandingkan ushul fiqh sebagai sebuah metode memecahkan hukum. Kalau ada yang bertanya: “Dahulu mana ushul fiqh dan fiqh?” tentu tidak mudah menjawabnya. Pertanyaan demikian sama dengan pertanyaan mengenai mana yang lebih dahulu: ayam atau telor.
Musthafa Said al-Khin memberikan argumentasi bahwa ushul fiqh ada sebelum fiqh. Alasanya adalah bahwa ushul fiqh merupakan pondasi, sedangkan fiqh bangun yang didirikan di atas pondasi. Karena itulah sudah barang tentu ushul fiqh ada mendahului fiqh[1] Kesimpulannya, tentu harus ada ushul fiqh sebelum adanya fiqh.
Jawaban demikian benar apabila ushul fiqh dilihat sebagai metode pengambilan hukum secara umum, bukan sebuah bidang ilmu yang khas. Ketika seorang sahabat, misalnya, dihadapkan terhadap persoalan hukum, lalu ia mencari ayat Alquran atau mencari jawaban dari Rasulullah, maka hal itu bisa dipandang sebagai metode memecahkan hukum. Ia sudah punya gagasan bahwa untuk memecahkan hukum harus dicari dari Alquran atau bertanya kepada Rasulullah. Akan tetapi, cara pemecahan demikian belum bisa dikatakan sebagai sebuah bidang ilmu. Pemecahan demikian adalah prototipe (bentuk dasar) ushul fiqh, yang masih perlu pengembangan lebih lanjut untuk disebut sebagai ilmu ushul fiqh.
Prototipe-prototipe ushul fiqh demikian tentu telah ditemukan pada masa hidup Rasulullah sendiri. Rasulullah dan para sahabat berijtihad dalam persoalan-persoalan yang tidak ada pemecahan wahyunya. Ijtihad tersebut masih dilakukan sahabat dalam bentuk sederhana, tanpa persyaratan rumit seperti yang dirumuskan para ulama dikemudian hari
Contoh ijtihad yang dilakukan oleh sahabat adalah ketika dua orang sahabat bepergian, kemudian tibalah waktu shalat. Sayangnya mereka tidak punya air untuk wudlu. Keduanya lalu bertayammum dengan debu yang suci dan melaksanakan shalat. Kemudian mereka menemukan air pada waktu shalat belum habis. Salah satu mengulang shalat sedangkan yang lain tidak. Keduanya lalu mendatangi Rasulullah dan menceritakan kejadian tersebut. Kepada yang tidak mengulang Rasulullah bersabda: “Engkau telah memenuhi sunnah dan shalatmu mencukupi.” Kepada orang yang berwudlu dan mengulang shalatnya, Rasulullah menyatakan: “Bagimu dua pahala.”[2]
Dalam kisah di atas, sahabat melakukan ijtihad dalam memecahkan persoalan ketika menemukan air setelah shalat selesai dikerjakan dengan tayammum. Mereka berbeda dalam menyikapi persoalan demikian, ada yang mengulang shalat dengan wudlu dan ada yang tidak. Akhirnya, Rasulullah membenarkan dua macam hasil ijtihad dua sahabat tersebut.
Tidak hanya prototipe ijtihad, prototipe qiyas pun sudah ada pada masa Rasulullah. Kisah berikut menjadi contoh bagaimana qiyas dilakukan oleh Rasulullah.
Suatu saat seorang perempuan datang kepada Rasulullah dan mengatakan bahwa ibunya meninggal dunia dengan meninggalkan hutang puasa satu bulan. Rasulullah pun kemudian berkata:
أَرَأَيْتِلَوْكَانَعَلَيْهَادَيْنٌأَكُنْتِتَقْضِينَهُ. فَقَالَتْ : نَعَمْفَقَالَ : دَيْنٌاللَّهِأَحَقُّبِالْقَضَاءِ
“Bagaimana seandainya ibumu memiliki hutang, apakah engkau membayarkannya?” Perempuan tersebut menjawab: “Ya.” Rasulullah berkata: “Hutang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan.”[3]
Terhadap pertanyaan perempuan yang datang kepadanya, Rasulullah tidak menjawab dengan jawaban “Ya” atau “Tidak”. Beliau menjawabnya dengan meng-qiyas-kan terhadap hutang piutang. Jadi, hukum hutang puasa orang tua yang meninggal dunia disamakan dengan hukum hutang piutang harta. Kasus tersebut menjadi bentuk dasar qiyas, yang dikemudian hari disusun prosedurnya secara baku oleh Imam Syafi’i.
Berbagai konsep ushul fiqh dapat ditemukan penggunaannya pada masa Rasulullah. Semua itu belum menjadi konsep baku, melainkan hanya sebagai buah dari pemecahan masalah praktis. Sama halnya seperti ketika orang Nusantara mempergunakan bahasa Melayu pada abad XVII atau XVIII. Mereka mengerti bagaimana mengucapkan bahasa Melayu yang benar berdasarkan kebiasaan dan pemahaman yang ada dalam otak mereka. Akan tetapi, kaidah-kaidah bahasa Melayu, yang kemudian disempurnakan menjadi kaidah bahasa Indonesia, baru ditulis dan dirumuskan belakangan dari praktek orang Melayu berbahasa.
1. 2. Ushul Fiqh Masa Sahabat
Masa sahabat sebenarnya adalah masa transisi dari masa hidup dan adanya bimbingan Rasulullah kepada masa Rasulullah tidak lagi mendampingi umat Islam. Ketika Rasulullah masih hidup sahabat menggunakan tiga sumber penting dalam pemecahan hukum, yaitu Alquran, sunnah, dan ra’yu (nalar). Petunjuk paling jelas terhadap tiga sumber tersebut tampak dalam riwayat berikut:
عَنْمُعَاذٍ : أَنَّرَسُولَاللَّهِ -صلىاللهعليهوسلم- لَمَّابَعَثَمُعَاذًاإِلَىالْيَمَنِقَالَلَهُ : كَيْفَتَقْضِىإِذَاعَرَضَلَكَقَضَاءٌ؟. قَالَ : أَقْضِىبِكِتَابِاللَّهِ. قَالَ : فَإِنْلَمْتَجِدْهُفِىكِتَابِاللَّهِ؟قَالَ : أَقْضِىبِسُنَّةِرَسُولِاللَّهِ -صلىاللهعليهوسلم-. قَالَ : فَإِنْلَمْتَجِدْهُفِىسُنَّةِرَسُولِاللَّهِ ..قَالَ : أَجْتَهِدُبِرَأْيِىلاَآلُو. قَالَ : فَضَرَبَبِيَدِهِفِىصَدْرِىوَقَالَ : الْحَمْدُللَّهِالَّذِىوَفَّقَرَسُولَرَسُولِاللَّهِلِمَايُرْضِىرَسُولَاللَّهِ.
Dari Muadz: Bahwasanya Rasulullah SAW ketika mengutus Muadz ke Yaman, beliau bersabda: “Bagaimana kau memutuskan juga dihadapkan perkara kepadamu‘ Muadz menjawab: “Saya putuskan dengan kitab Allah. Rasulullah bertanya kembali: “Jika tidak kau temukan dalam kitab Allah.” Muadz menjawab: “Saya putuskan dengan sunnah Rasulullah SAW. Rasulullah bertanya: Jika tidak kau temukan dalam sunnah Rasulullah‘ Muadz menjawab: “Saya berijtihad dengan ra’yu saya dan tidak melampaui batas.” Muadz lalu berkata: “Rasulullah memukulkan tangannya ke dada saya dan bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk utusan Rasulullah terhadap apa yang diridloi Rasulullah.”[4]
Meninggalnya Rasulullah memunculkan tantangan bagi para sahabat. Munculnya kasus-kasus baru menuntut sahabat untuk memecahkan hukum dengan kemampuan mereka atau dengan fasilitas khalifah. Sebagian sahabat sudah dikenal memiliki kelebihan di bidang hukum, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, Abdullah Ibnu Mas’ud, Abdullah Ibn Abbas, dan Abdullah bin Umar. Karir mereka berfatwa sebagian telah dimulai pada masa Rasulullah sendiri.[5]
Pada era sahabat ini digunakan beberapa cara baru untuk pemecahan hukum, di antaranya ijma sahabat dan maslahat.[6] Pertama, khalifah (khulafa’ rasyidun) biasa melakukan musyawarah untuk mencari kesepakatan bersama tentang persoalan hukum. Musyawarah tersebut diikuti oleh para sahabat yang ahli dalam bidang hukum. Keputusan musywarah tersebut biasanya diikuti oleh para sahabat yang lain sehingga memunculkan kesepakatan sahabat. Itulah momentum lahirnya ijma’ sahabat, yang dikemudian hari diakui oleh sebagian ulama, khususnya oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya sebagai ijma yang paling bisa diterima.
Kedua, sahabat mempergunakan pertimbangan akal (ra’yu), yang berupa qiyas dan maslahah. Penggunaan ra’yu (nalar) untuk mencari pemecahan hukum dengan qiyas dilakukan untuk menjawab kasus-kasus baru yang belum muncul pada masa Rasulullah. Qiyas dilakukan dengan mencarikan kasus-kasus baru contoh pemecahan hukum yang sama dan kemudian hukumnya disamakan.
Penggunaan maslahah juga menjadi bagian penting fiqh sahabat. Umar bin Khattab dikenal sebagai sahabat yang banyak memperkenalkan penggunaan pertimbangan maslahah dalam pemecahan hukum. Hasil penggunaan pertimbangan maslahat tersebut dapat dilihat dalam pengumpulan Alquran dalam satu mushaf, pengucapan talak tiga kali dalam satu majelis dipandang sebagai talak tiga, tidak memberlakukan hukuman potong tangan diwaktu paceklik, penggunaan pajak tanah (kharaj), pemberhentian jatah zakat bagi muallaf, dan sebagainya.
Sahabat juga memiliki pandangan berbeda dalam memahami apa yang dimaksud oleh Alquran dan sunnah. Contoh perbedaan pendapat tersebut antara lain dalam kasus pemahaman ayat iddah dalam surat al-Baqarah 228..
وَالْمُطَلَّقَاتُيَتَرَبَّصْنَبِأَنْفُسِهِنَّثَلاثَةَقُرُوءٍ
“Perempuan-perempuan yang ditalak hendaknya menunggu selama tiga quru‘”
Kata quru’ dalam ayat di atas memiliki pengertian ganda (polisemi), yaitu suci dan haidh. Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ali, Usman, dan Abu Musa al-Asy’ari mengartikan quru’ dalam ayat di atas dengan pengertian haidh, sedangkan Aisyah, Zaid bin Tsabit, dan Ibnu Umar mengartikannya dengan suci.[7] Itu berarti ada perbedaan mengenai persoalan lafal musytarak (polisemi).
Secara umum, sebagaimana pada masa Rasulullah, ushul fiqh pada era sahabat masih belum menjadi bahan kajian ilmiah. Sahabat memang sering berbeda pandangan dan berargumantasi untuk mengkaji persoalan hukum. Akan tetapi, dialog semacam itu belum mengarah kepada pembentukan sebuah bidang kajian khusus tentang metodologi. Pertukaran pikiran yang dilakukan sahabat lebih bersifat praktis untuk menjawab permasalahan. Pembahasan hukum yang dilakuakn sahabat masih terbatas kepada pemberian fatwa atas pertanyaan atau permasalahan yang muncul, belum sampai kepada perluasan kajian hukum Islam kepada masalah metodologi.[8]
Pada era tabi’in perbincangan mengenai persoalan ushul fiqh tidak banyak berbeda dengan era sahabat karena para tabiin adalah murid-murid para sahabat. Hal yang penting dicatat barangkali adalah bahwa pada era tabi’in, pembagian geografis mulai mendapatkan tempat dalam peta pemikiran hukum Islam. Perbincangan tersebut disertai dengan munculnya sentral-sentral pengembangan kajian hukum Islam di amshar (kota-kota besar Islam), seperti Makkah dan Madinah, Iraq (Kufah), Syiria, dan Mesir.
1. 3. Ushul Fiqh Masa Tabi’in
Tabi’in adalah generasi setelah sahabat. Mereka bertemu dengan sahabat dan belajar kepada sahabat. Patut dicatat bahwa para sahabat ketika Islam menyebar turut pula menyebar ke berbagai daerah, seperti Ibnu Mas’ud ada di Iraq, Umayyah ada di Syam, Ibnu Abbas di Makkah, Umar bin Khattab, Aisyah, dan Ibnu Umar, dan Abu Hurairah di Madinah, dan Abdullah bin Amru bin Ash di Mesir. Para sahabat tersebut berperan dalam penyebaran ajaran Islam dan menjadi tempat masyarakat masing-masing daerah meminta fatwa. Mereka pun memiliki murid-murid di daerah-daerah tersebut. Murid-murid sahabat itulah yang kemudian menjadi tokoh hukum di daerahnya masing-masing.
Murid-murid para sahabat tidak hanya dari kalangan orang-orang Arab, melainkan juga dari kalangan muslim non-Arab (mawali). Banyak pemberi fatwa yang terkenal di kalangan tabi‘in adalah non-Arab, seperti Nafi , Ikrimah, Atha’ bin Rabbah (para ahli hukum Makkah), Thawus (ahli hukum Yaman), Ibrahim al-Nakha‘i (ahli hukum Kufah), Hasan al-Bashri dan Ibnu Sirin (para ahli hukum Bashrah), Yahya ibn Katsir.[9]
Kecenderungan berpikir sahabat turut mempengaruhi pola pemikiran ushul fiqh di masing-masing daerah. Ibnu Mas’ud, misalnya, dikenal sebagai tokoh yang memiliki kemampuan ra’yu yang baik. Tidak mengherankan apabila murid-muridnya di Iraq (Kufah) juga dikenal dengan ahl al-ra’yi, meskipun ada faktor lain yang tentunya berpengaruh. Karena itulah, metode istimbath tabi’in umumnya tidak berbeda dengan metode istimbath sahabat. Hanya saja pada masa tabi’in ini mulai muncul dua fenomena penting:
1. Pemalsuan hadits
2. Perdebatan mengenai penggunaan ra’yu yang memunculkan kelompok Iraq (ahl al-ra’yi) dan kelompok Madinah (ahl al-hadits)
Dengan demikian muncul bibit-bibit perbedaan metodologis yang lebih jelas yang sertai dengan perbedaan kelompok ahli hukum (fukaha) berdasarkan wilayah geografis. Dua hal tersebut, ditambah munculnya para ahli hukum non-Arab, melahirkan wacana pemikiran hukum yang nantinya melahirkan madzhab-madzhab hukum Islam. Masing-masing madzhab hukum memiliki beberapa aspek metode yang khas, yang membedakannya dengan madzhab yang lain.
4. Ushul Fiqh Masa Imam Madzhab
Pada masa imam madzhab inilah pemikiran hukum Islam mengalami dinamika yang sangat kaya dan disertai dengan perumusan ushul fiqh secara metodologis. Artinya, ada kesadaran mengenai cara pemecahan hukum tertentu sebagai metode khas. Berbagai perdebatan mengenai sumber hukum dan kaidah hukum melahirkan berbagai ragam konsep ushul fiqh.
Imam Najmuddin al-Thufi pada peralihan abad ke-7 ke abad ke-8 hijriyah, misalnya, menginventarisir sembilan belas dalil hukum, baik yang disepakati maupun yang dipertentangkan para ulama, yang masih dikenal pada masanya. Kesembilan belas dalil hukum itu antara lain:
1. Alquran
2. hadits
3. ijma’ ummat
4. ijma’ orang Madinah
5. qiyas,
6. pendapat sahabat
7. maslahah mursalah
8. istishab
9. bara’ah ashliyah
10. adat/‘urf
11. istiqra’ (induksi)
12. sadd al-dzariah (tindakan preventif)
13. istidlal
14. istihsan
15. mengambil yang lebih mudah
16. ishmah
17. ijma’ orang Kufah
18. Ijma’ sepuluh orang
19. dan ijma khulafa’ yang empat (khulafa’ rasyidun).[10]
Perdebatan mengenai dalil hukum, baik tentang sunnah, amal ahli Madinah, istihsan, qiyas, maslahah mursalah, ijma’, ra’yu, mencapai puncaknya. Imam Malik dan orang-orang Madinah sangat menghargai amal orang-orang Madinah. Ketika ada hadits Rasulullah diriwayatkan secara ahad (diriwayatkan oleh satu atau beberapa orang tapi tidak mencapai derajat pasti/mutawatir) bertentangan dengan amal ahli Madinah, amal ahli Madinah lah yang dipergunakan. Alasannya adalah bahwa amalan orang Madinah adalah peninggalan para sahabat yang hidup di Madinah dan mendapatkan petunjuk dari Rasulullah. Amalan orang Madinah telah dilakukan oleh banyak sekali sahabat yang tidak mungkin menyalahi ajaran Rasulullah, yang selama sepuluh tahun hidup di Madinah.
Oleh karena itu, Imam Malik pernah berkirim surat kepada Imam al-Laits, imam orang Mesir, yang isinya mengajak Imam laits untuk mempergunakan amalan orang Madinah. Akan tetapi tawaran tersebut ditolak oleh Imam Laits karena ia lebih setuju mengutamakan hadits, meskipun hadits itu ahad.
Orang Iraq, khususnya Imam Abu Hanifah, mempergunakan istihsan apabila hasil qiyas, meskipun benar secara metode, dirasa tidak sesuai dengan nilai dasar hukum Islam. Penggunaan istihsan oleh Imam Abu Hanifah tersebut ditentang ulama lain dan dipandang sebagai pemecahan hukum berdasarkan hawa nafsu. Orang-orang Iraq juga dikritik karena mempergunakan ra’yu secara berlebihan. Sementara itu, bagi orang Iraq, mempergunakan petunjuk umum ayat dan ra’yu lebih dirasa memadai dibandingkan mempergunakan riwayat dari Rasulullah, tetapi riwayat tersebut tidak meyakinkan kesahihannya.
Penggunaan amal Madinah oleh Imam Malik dan istihsan oleh Imam Abu Hanifah tidak berarti keduanya mengabaikan hadits. Alquran dan hadits tetap menjadi pilar utama istimbath hukum. Imam Malik adalah orang pertama yang menyusun kitab hadits, yaitu dalam kitabnya al-Muwaththa’. Kitab al-Muwaththa’ adalah kitab hadits yang dipergunakan sebagai dasar pemecahan masalah hukum sehingga disusun dengan sistematika fiqh. Imam Abu Hanifah dan para muridnya juga sangat menghargai hadits. Hasil istimbath hukum Imam Abu Hanifah dan orang-orang Iraq juga dipenuhi dengan dasar Alquran dan hadits.
Penolakan terhadap hadits tertentu terjadi karena keduanya mengutamakan riwayat yang kuat. Bagi Imam Malik, amalan orang Madinah sangat kuat karena diamalkan ribuan sahabat sejak masa Nabi Muhammad. Jadi, amalan orang Madinah tidak bisa dikalahkan hanya oleh riwayat oleh satu dua orang saja. Apabila riwayat tersebut bisa dibuktikan secara meyakinkan tentu Imam Malik akan menerimanya. Hal yang sama terjadi dengan Imam Abu Hanifah. Terjadinya pemalsuan hadits membuat orang-orang Iraq bertindak selektif. Apabila ada riwayat yang diragukan kesahihannya, mereka lebih merasa aman mempergunakan makna umum Alquran dan menjabarkannya melalui ra’yu (nalar) mereka. Akan tetapi, kalau ada hadits yang sahih tentu hadits tersebut yang dijadikan sandaran.
Sejalan dengan munculnya pemlsuan hadits tersebut, muncullah aliran ingkar al-sunnah. Aliran tersebut berpandangan bahwa Alquran saja sudah cukup dijadikan sebagai pedoman, tanpa perlu mempertimbangkan hadits. Aliarn tersebut adalah kelompok yang frustasi akibat terjadinya pemalsuan hadits sehingga menolak keseluruhan hadits, tanpa melalui penelitian terlebih dahulu. Memang pada masa tersebut Imam Bukhari, Imam Muslim dan para pengumpul hadits belum banyak seperti pada abad ke-4 Hijriyah, meskipun telah ada beberapa kitab hadits. Terhadap munculnya aliran ingkar al-sunnah tersebut, Imam Syafi’i bekerja keras membantah argumentasi kelompok ingkar al-sunnah. Perdebatan Imam Syafii dengan ingkar al-sunnah bisa dibaca dalam kitab al-Umm..
Imam Syafii kemudian mengajukan sistematika dalil hukum yang utama, yaitu:
1. Alquran
2. Sunnah
3. Ijma’
4. Qiyas
Melalui sistematika tersebut, Imam Syafi’i menegaskan kembali Alquran sebagai sumber pertama, sedangkan hadits sebagai sumber kedua. Dengan rumusan semacam itu, dia menolak pandangan ingkar al-sunnah dan juga menolak sikap sebagian ulama ushul yang mendahulukan amalan orang Madinah atau makna umum Alquran dibandingkan hadits ahad. Gagasan demikianlah yang kemudian melahirkan madhab Syafi‘i.
Imam Syafi’i melakukan pendisiplinan dan sistematikasi penggunaan ijma dan qiyas para oleh pendahulunya. Ia mengkritik ijma’ yang dilakukan berdasarkan kedaerahan, yaitu ijma’ ahli Madinah dan ijma’ orang Kufah. Beliau menegaskan bahwa ijma’ yang valid adalah ijma’ umat Islam, tidak cukup ijma’ orang Kufah orang Madinah, atau ijma’ sahabat saja. Imam Syafi’i juga membenahi penggunaan qiyas agar dilakukan secara metodologis. Beliau mengajukan syarat-syarat agar qiyas dilakukan, yaitu melalui empat rukun qiyas, yang akan dibahas dalam bab qiyas nanti.
Karya Imam Syafi’i, yaitu al-Risalah, adalah kitab ushul fiqh yang pertama ditulis. Kitab tersebut menjadi tonggak bagi perkembangan ushul fiqh sebagai bidang ilmu yang mandiri. Para ahli ushul menganggap Imam Syafi’i sebagai Bapak dan Pendiri ilmu ushul fiqh.[11]
Di kalangan madzhab Hanafi ada yang menolak bahwa Imam Syafi’i sebagai pendiri ushul fiqh. Mereka menyatakan bahwa Imam Abu Hanifah dan dua muridnya: Imam Abu Yusuf Ibnu Abi Laila dan Muhammad bin Hasan al-Syaybani adalah peletak ilmu ushul fiqh.[12] Sejarah memang mencatat bahwa Imam Syafi’i pernah berguru kepada Imam Muhammad bin Hasan al-Syaybani.
Klaim golongan Hanafi boleh jadi benar apabila dikaitkan dengan munculnya gagasan metodologis ushul fiqh. Imam Syafi‘i tidak memulai segalanya dari ruang kosong. Rumusan-rumusan yang beliau tulis tentu telah dibicarakan orang pada masanya. Apalagi pemikiran ushul fiqh di Iraq memang kaya dan maju di masa itu. Hanya saja, Imam Syafi‘i lah yang memiliki bukti otentik, berupa karya, yang bisa menjadi patokan bagi dimulainya ushul fiqh sebagai bidang ilmu yang mandiri.
Setelah lahirnya kitab al-Risalah, perdebatan mengenai aspek metodologis masih terjadi dan perbedaan pendapat pun masih ada. Imam Ahmad bin Hanbal, meskipun murid Imam Syafi‘i, hanya menerima ijma‘ sahabat, bukan ijma‘ ummat. Imam Dawud al-Dzahiri menolak penggunaan qiyas dan lebih condong untuk menggunakan makna universal lafal Alquran atau hadits untuk diberlakukan kepada kasus-kasus baru.
5. Kelahiran Karya-karya Besar Ushul Fiqh
Puncak perkembangan ushul fiqh terjadi sekitar pada abad ke-5 Hijriyah. Pada masa tersebut, lahir para ulama dan karya-karya ushul fiqh kenamaan yang menjadi rujukan kitab-kitab ushul fiqh di kemudian hari. Di antara kitab-kitab penting ushul fiqh yang lahir pada abad ke-5 tersebut antara lain:
1. Kitab al-Ahd atau al-Amd karya Qadli Abd al-Jabbar al-Mu‘tazili (w. 415H/1024M)
2. Kitab al-Mu‘tamad karya Abu Husayn al-Bashri al-Mu’tazili (w. 436H 1044M)
3. Kitab al-‘Uddah karya Abu Ya’la al-Hanbali (w. 458H/1065M)
4. Kitab al-Ihkam fi ‘Ushul al-Ahkam karya Ibnu Hazm al-Dzahiri (w. 456H/1062M)
5. Kitab al-Luma’ karya Abu Ishaq al-Syirazi al-Syafi‘i (w. 467H /1083 M)
6. Kitab al-Burhan karya Al-Juwayni al-Syafi‘i (w. 478H /1085M)
7. Kitab Ushul Al-Sarakhsi karya Imam al-Sarakahsi al-Hanafi (w. 490H/1096M).
Imam Abu Hamid Al-Ghazali wafat pada tahun 505 H atau abad ke-6, tetapi sebagian hidupnya dihabiskan pada abad ke k-5. Karena itu, kitab al-Mustashfa karya al-Ghazali dapat dimasukkan ke dalam jajaran kitab yang dilahirkan ulama abad ke-5.
Di antara kitab-kitab di atas, ada empat kitab yang kemudian memperoleh pengakuan sebagai kitab terbaik dan mempengaruhi perkembangan ushul fiqh selanjutnya di kalangan mutakallimin, yaitu al-Ahd karya Qadli Abdul Jabbar, al-Mu‘tamad karya Abu Husayn al-Bashri, al-Burhan karya al-Juwayni, dan al-Musthasfa karya al-Ghazali. Kitab-kitab tersebut disebut Ibnu Khaldun sebagai kitab ushul fiqh terbaik. Empat kitab tersebut kemudian diringkas dan dijabarkan kembali oleh para ulama setelahnya, khususnya para ulama abad ke-7 Hijriyyah, seperti Fakhruddin al-Razi, al-Amidi, Ibnu Qudamah, Ibnu Hajib dan sebagainya.
Karena itu, muncullah beberapa kesepakatan dalam berbagai kitab ushul mengenai sistematikasi bahasan kitab ushul. Bahasan mengenai hukum, kaidah-kaidah-kaidah kebahasaan, kaidah naskh dan tarjih, dalil hukum, dan ijtihad hampir ada di semua kitab ushul fiqh mutakallimin yang berakar dari empat kitab di atas. Perbedaan bahasan terjadi dalam beberapa aspek, misalnya tentang pengantar logika, pembahasan kalam, dan tentang huruf, yang ada disebagian kitab ushul dan tidak ada disebagian kitab ushul yang lain.[13]
6. Aliran-Aliran Ushul Fiqh
Sejarah perkembangan ushul fiqh menunjukkan bahwa ilmu tersebut tidak mandeg, melainkan berkembang secara dinamis. Ada beberapa aliran metode penulisan ushul fiqh yang saat ini dikenal. Secara umum, para ahli membagi aliran penulisan ushul fiqh menjadi dua, yaitu mutakallimin (Syafi’iyyah) dan aliran fukaha (Aliran Hanafiyah). Dari kedua aliran tersebut lahir aliran gabungan. Tiga aliran utama tersebut diuraikan sebagai berikut:
1. a. Aliran Mutakallimin
Aliran mutakallimin disebut juga dengan aliran Syafi’iyyah. Alasan penamaan tersebut bisa dipahami mengingat karya-karya ushul fiqh aliran mutakallimin banyak lahir dari kalangan Syafi’iyyah, seperti al-Luma’ karya al-Syirazi, al-Mustashfa karya al-Ghazali, al-Mahsul karya Fakhruddin al-Razi, al-Burhan dan al-Waraqat karya al-Juwayni, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam karya al-Amidi, Minhaj al-Wushul ila Ilm a’-Ushul karya al-Baidlawi dan sebagainya. Karya al-Ghazali, al-Razi, dan al-Amidi banyak dirujuk oleh para ahli ushul fiqh dari madzhab non-Syafi’i. Kitab Rawdlah al-Nadzir wa Jannah al-Munadzir karya tokoh Hanabilah Ibnu Qudamah al-Maqdisi, misalnya, dipandang sebagai ringkasan dari al-Mustashfa karya al-Ghazali dan kitab Muntaha al-Wushul (al-Sul)wa al-Amal fi Ilmay al-Ushul wa al-Jadal karya Ibnu Hajib dipandang sebagai ringkasan kitab al-Ihkam fi ushul al-Ahkam karya al-Amidi..
Meskipun demikian, penulis-penulis ushul fiqh model mutakallimin hanya orang Asy’ariyyah. Penulis ushul fiqh aliran mutakallimin bersifat lintas madzhab. Ada penulis dari kalangan Hanbali, seperti
1) Abu Ya’la (pengarang al-Uddah),
2) Ibnu Qudamah (pengarang Rawdlah al-Nadzir wa Jannah al-Munadzir),
3) Keluarga Ibnu Taimiyyah: Majduddin, Taqi al-Din, dan Ibnu Taimiyyah beserta ayah dan kakeknya (karangan ketiganya tercakup dalam kitab al-Musawwadah),
4) Najm al-Din al-Thufi pengarang Mukhtashar al-Rawdlah dan Syarh Mukhtashar al-Rawdlah).
Ada penulis dari kalangan Maliki, seperti:
1) Ibnu Hajib (pengarang Muntaha al-Wushul (al-Sul) wa al-Alam fi Ilmay al-Ushul wa al-Jadal).
Ada pula penulis dari kalangan Dzahiriyyah, seperti:
1) Ibnu Hazm al-Andalusi (pengarang kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam).
Sebutan mutakallimin adalah sesuai dengan karakteristik penulisannya. Kaum mutakallimin adalah orang-orang yang banyak bergulat dengan pembahasan teologis dan banyak memanfaatkan pemikiran deduktif, termasuk logika Yunani. Orang-orang seperti Qadli Abdul Jabbar adalah seorang teolog Mu’tazilah. Imam Abu al-Husayn al-Bashri pun termasuk dalam aliran Mu’tazilah. Sementara itu, Imam Abu Bakar al-Baqillani, yang menulis buku al-Taqrib wa al-Irsyad dan diringkas oleh Imam al-Juwayni, dipandang sebagai Syaikh al-Ushuliyyin. Imam al-Juwayni sendiri, Imam al-Ghazali, dan Fakhruddin al-Razi adalah di antara tokoh-tokoh besar Asy’ariyyah penulis ushul fiqh. Ada pula penulis yang tidak menunjukkan kejelasan afiliasi teologis, tetapi menulis dengan pola mutakallimin, seperti Imam Abu Ishaq al-Syirazi.[14]
Ada beberapa ciri khas penulisan ushul fiqh aliran Mutakallimin, antara lain:
1. Penggunaan deduksi di dalamnya. Ushul fiqh mutakallimin membahas kaidah-kaidah, baik disertai contoh maupun tidak. Kaidah-kaidah itulah yang menjadi pilar untuk pengambilan hukum. Jadi, kaidah dibuat dahulu sebelum digunakan dalam istimbath. Kaidah-kaidah tersebut utamanya berisi kaidah kebahasaan.
2. Adanya pembahasan mengenai teori kalam dan teori pengetahuan, seperti terdapat dalam al-Luma karya al-Syirazi dan al-Ihkam karya al-Amidi. Teori kalam yang sering dibahas adalah tentang tahsin dan taqbih. Sementara itu, dalam pembahasan mengenai teori pengetahuan tersebut, dimasukkan pengertian ilmu dan terkadang dimasukkan pula muqaddimah mantiqiyyah (pengantar logika), sebagaimana terdapat dalam al-Mustashfa karya al-Ghazali, Rawdlah al-Nadzir karya Ibnu Qudamah, dan Muntaha al-Wushul (al-Sul) karya Ibnu Hajib.
Aliran mutakallimin mengembangkan gagasan-gagasan yang telah ada dalam kitab al-Risalah karya al-Syafi’i dengan berbagai penjelasan dan materi tambahan. Aliran ini banyak diikuti oleh para ulama dan menjadi aliran utama dalam ushul fiqh, serta bersifat lintas madzhab.
b. Aliran Hanafiyah
Aliran Hanafiyah atau aliran Fukaha adalah aliran yang diikuti oleh para ulama madzhab Hanafi. Madzhab Hanafi adalah madzhab yang sejak semula memiliki pengembangan metodologis yang baik. Hal itu dibuktikan dengan pengaruh perkembangan ilmu qawaid fiqh di kalangan Syafi’iyyah yang dipengaruhi oleh qawaid fiqh Hanafi.[15] Karena itu, mereka mengembangkan sendiri model penulisan ushul fiqh yang khas madzhab Hanafi.
Ciri khas penulisan madzhab Hanafi adalah berangkat dari persoalan-persoalan hukum yang furu yang dibahas oleh para imam mereka, lalu membuat kesimpulan metodologis berdasarkan pemecahan hukum furu tersebut. Jadi, kaidah-kaidah dibuat secara induktif dari kasus-kasus hukum. Kaidah-kaidah tersebut bisa berubah dengan munculnya kasus-kasus hukum yang menuntut pemecahan hukum yang lain. Karena itu, ushul fiqh Hanafi dipenuhi dengan persoalan hukum yang nyata.
Karya ushul fiqh di kalangan Hanafi cukup banyak dikenal dan dirujuk. Kitab-kitab ushul fiqh yang khas menunjukkan metode Hanafiyah antara lain:
1. al-Fushul fi Ushul Fiqh karya Imam Abu Bakar al-Jashshash (Ushul al-Jashshash) sebagai pengantar Ahkam al-Quran.
2. Taqwim al-Adillah karya Imam Abu Zayd al-Dabbusi
3. Kanz al-Wushul ila Ma’rifat al-Ushul karya Fakhr al-Islam al-Bazdawi.
4. Ushul Fiqh karya Imam al-Sarakhsi (Ushul al-Syarakhsi)
c. Aliran Gabungan
Pada perkembangannya muncul tren untuk menggabungkan kitab ushul fiqh aliran mutakallimin dan Hanafiyah. Metode penulisan ushul fiqh aliran gabungan adalah dengan membumikan kaidah ke dalam realitas persoalan-persoalan fiqh. Persoalan hukum yang dibahas imam-imam madzhab diulas dan ditunjukkan kaidah yang menjadi sandarannya.
Karya-karya gabungan lahir dari kalangan Hanafi dan kemudian diikuti kalangan Syafi’iyyah. Dari kalangan Hanafi lahir kitab Badi’ al-Nidzam al-jami‘ bayn Kitabay al-Bazdawi wa al-Ihkam yang merupakan gabungan antara kitab Ushul karya al-Bazdawi dan al-Ihkam karya al-Amidi. Kitab tersebut ditulis oleh Mudzaffar al-Din Ahmad bin Ali al-Hanafi. Ada pula kitab Tanqih Ushul karya Shadr al-Syariah al-Hanafi. Kitab tersebut adalah ringkasan dari Kitab al-Mahshul karya Imam al-Razi, Muntaha al-Wushul (al-Sul) karya Imam Ibnu Hajib, dan Ushul al-Bazdawi. Kitab tersebut ia syarah sendiri dengan judul karya Shadr al-Syari’ah al-Hanafi. Kemudian lahir kitab Syarh al-Tawdlih karya Sa’d al-Din al-Taftazani al-Syafii dan Jam’ al-Jawami’ karya Taj al-Din al-Subki al-Syafi’i.
Tiga aliran di atas adalah aliran utama dalam ushul fiqh. Sebenarnya ada pula yang memasukkan takhrij al-furu’ ‘ala al-ushul dan aliran khusus sebagai aliran lain dalam ushul fiqh. Aliran takhrij al-furu’ ‘ala al-ushul dipandang berwujud berdasarkan dua kitab yang secara jelas menyebut istilah tersebut, yaitu Kitab Takhrij al-Furu’ ‘Ala al-Ushul karya al-Isnawi al-Syafi‘i dan Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul karya al-Zanjani al-Hanafi. Sementara itu, aliran khusus adalah aliran yang mengkaji satu pokok bahasan ushul fiqh tertentu secara panjang lebar, seperti mengenai maslahah mursalah sebagaimana dilakukan oleh al-Syatibi dalam al-Muwafaqat atau oleh Muhammad Thahir ‘Asyur dalam Maqashid al-Syariah.
[1]Muhammad Sa‘id al-Khinn. Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtialaf al-Fuqaha. Beirut: Muassassah al-Risalah. 1994. h. 122-123.
[2]Kisah di atas berasal dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan al-Nasa’I daru Abu Sa‘id al-Khudri.
[3]Hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Bayhaqi dari Ibnu Abbas. Hadits dengan makna yang sama diriwayatkan oleh Muslim.
[4]Redaksi hadits di atas berasal dari Sunan al-Baihaqi. Riwayat yang hampir sama isi dan redaksinya juga dimuat dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, Sunan Abu Dawud, dan Sunan Tirmidzi. Meskipun ada yang meragukan kesahihan hadits di atas, namun hadits tersebut sangat populer di kalangan ushuliyyin.
[5]Lihat Thaha Jabir Alwani. Source Methodology in Islamic Jurisprudence. Virginia: IIIT. 1994. h. 19
[6] Lihat Abdul Wahab Ibrhamim Abu Sulaiman. Al-Fikr al-Usuli: Dirasah Tahliliyah Naqdiyah. Jeddah: Dar al-Syuruq. 1983. h. 38-39..
[7]Lihat Musthafa Sa‘id al-Khinn. Atsar al-Ikhtilaf… h. 72.
[8]Muhammad al-Khudlary. Tarikh Tasyri’ al-Islamy. Surabaya: dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah. Tth. h. 114.
[9]Taha Jabir Alwani.Source Methodology… h. 33. Lihat juga Muhammad al-Khudary. Tarikh…h. 150-162
[10]Najmuddin al-Thufi. Kitab al-Ta’yin fi Syarh al-Arbain. Beirut: Muassasah al-Rayyan. 1998. h. 237-238.
[11]Lihat Abu Zahrah. Ushul Fiqh. Tt: Tp. Tth. h. 13. Lihat juga Noel James Coulson. History of Islamic Law. Edinburgh: Edinburgh University Press. 1964. h. 53 dst.
[13]Lihat Wael B. Hallaq. A History of Islamic Legal Theories, an Introduction to Sunni Ushul Fiqh. Cambridge: Cambridge University Press. 1997. h. 127
[14]Imam al-Syirazi dikenal sebagai pengikut Syafi’i yang non-Asy’ariyyah dan menjadi rival Imam al-Juwayni dalam perdebatan (munadzarah) teologis. Lihat catatan mengenai perdebatan teologis Abu Ishaq al-Syirazi dan Al-Juwayni dalam George al-Makdisi. The Rise of Colledge: Institution of Learning in Islam and in The West.Edinburgh: Edinburgh University Press. 1981. h. 154.
[15]Lihat dalam al-Suyuthi. al-Asybah wa al-Nadzair fi al-Furu’.
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Sebagaimana ilmu keagamaan lain
dalam Islam, ilmu ushul fiqih tumbuh dan berkembang dengan tetap berpijak pada
Al-Quran dan Sunnah, ushul fiqih tidak timbul dengan sendirinya, tetapi
benih-benihnya sudah ada sejak zaman Rosulullah dan sahabat. Masalah utama yang
menjadi bagian ushul fiqih, seperti ijtihad, qiyas, nasakh, dan takhsis sudah
ada pada zaman Rosulullah sahabat. Dan di masa Rasulullah saw, umat Islam
tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum-hukum syar’i,
semua permasalahan dapat langsung merujuk kepada Rasulullah saw lewat
penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an, atau melalui sunnah beliau saw.
Pada masa tabi’in cara mengistinbath
hukum semakin berkembang. Di antara mereka ada yang menempuh metode maslalah
atau metode qiyas di samping berpegang pula pada fatwa sahabat sebelumnya. Pada
nmasa tabi’in inilah mulai tampak perbedaan-perbedaan mengenai hukum sebagai
konskuensi logis dari perbedaan metode yang digunakan oleh para ulama ketika
itu. ( Abu Zahro : 12 ).
Corak perbedaan pemahaman lebih
jelas lagi pada masa sesudah tabi’in atau pada masa Al- Aimmat Al- Mujtahidin.
Sejalan dengan itu, kaidah-kaidah istinbath yang digunakan juga semakin jelas
bentuknya bentuknya. Abu Hanifah misalnya menempuh metode qiyas dan istihsan.
Sementara Imam Malik berpegang pada amalan mereka lebih dapat dipercaya dari
pada hadis ahad (Abu Zahro: 12).
Apa yang dikemukakan diatas
menunjukkan bahwa sejak zaman Rasulullah saw., sahabat, tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum
Islam mengalami perkembangan. Namun demikian, corak atau metode
pemikiran belum terbukukan dalam tulisan yang sistematis. Dengan kata lain,
belum terbentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri.
2. Rumusan Masalah
- Bagaimana perkembangan ushul fiqih pada masa Nabi?
- Bagaimana perkembangan ushul fiqih pada masa sahabat?
- Bagaimana pembukuan ushul fiqih?
- Bagaimana tahap-tahap perkembangan ushul fiqih?
- Tujuan Penulisan
Dalam penulisan makalah ini kami
mencoba mengulas tuntas tentang sejarah perkembangan ushul fiqh mulai zaman
Nabi hingga sampai ushul fiqih menjadi
sebuah disiplin ilmu tersendiri. Agar kita mengerti tentang sejarahnya
dan dapat bermanfaat bagi semua orang khususnya umat Islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Perkembangan Ushul Fiqh Pada Masa Rasulullah SAW.
Periode ini berlangsung relative
singkat tidak lebih dari 22 tahun beberapa bulan. Namun pengaruhnya sangat
besar dan penting, karena telah mewariskan beberapa ketetapan hokum dalam
al-quran dan sunnah, dan sejumlah dasar-dasar pokok tasyri’ secara menyeluruh.
Dan telah memberikan petunjuk dan pedoman tentang sumber-sumber dan dalil-dalil
yang dipergunakan dalam rangka untuk mengetahui suatu hokum dari persoalan yang
belum ada ketetapan hukumnya. Dengan demikian, periode ini telah mewariskan
dasar-dasar pembentukan hokum secara sempurna.
Pada periode Rasulullah SAW. Terdiri dari 2 fase yang masing-masing mempunyai
corak dan karakteristik tersendiri, yaitu:
1. Fase Makkiyah
Fase Makkiyah, ialah sejak
Rasulullah SAW. masih menetap di Makkah selama 12 tahun beberapa bulan, sejak
beliau dilantik menjadi Rasul hingga hijrah ke Madinah. Pada fase ini umat
islam keadaannya masih terisolir, masih sedikit kuantitasnya dan kapasitasnya
masih lemas, belum bisa membentuk komunitas umat yang mempunyai lembaga
pemerintahan yang kuat. Oleh karena itu, perhatian Rasulullah SAW. pada fase
ini dicurahkan kepada aktivitas penyebaran dakwah dalam rangka proyek penanaman
tauhid kepada Allah dan meninggalkan praktek-praktek penyembahan berhala dan
patung-patung. Di samping itu beliau tetap berusaha mewaspadai orang-orang yang
selalu berusaha menghalangi jalannya dakwah dan memperdaya orang-orang yang
beriman dengan berbagai macam tipu daya. Dengan situasi dan kondisi seperti
ini, maka pada fase ini belum ada kesempatan membentuk perundang undangan, tata
pemerintahan, perdagangan dan lain-lain.
Oleh karena itu, pada surat-surat
Makkiyah al-quran seperti surat Yunus, Al-Ra’ad, Al-Furqon, Yasin, Al-Hadid,
dan lain-lain tidak terdapat ayat-ayat yang membahas tentang hukum-hukum actual
(amaliah). Akan tetapi, justru yang banyak pembahasannya adalah seputar
persoalan-persoalan doktrin teologi dan aqidah, akhlak, dan ibarat keteladanan
dari proses-proses perjalanan hidup umat-umat terdahulu.
2. Fase Madaniyah
Fase Madaniyah ialah sejak
Rasulullah SAW. hijrah dari Mekah ke Madinah hingga wafatnya tahun 11 H/632 M,
yakni sekitar 10 tahun lamanya. Pada fase Madaniyah ini Islam sudah kuat,
kuantitas umat Islam sudah banyak dan telah mempunyai tata pemerintahan
tersendiri sehingga media-media dakwah berlangsung dengan aman dan damai.
Keadaan seperti inilah yang
mendorong perlu adanya tasyri’ dan pembentukan perundang-undangan yang mengatur
perhubungan antara individu dari suatu bangsa dengan bangsa lain, dan mengatur
perhubungan atau kontak komunikasi dan interaksi mereka dengan kalangan
non-Muslim, baik di masa damai maupun di masa perang.
Oleh karena itu, maka di Madinah
disyariatkanlah berupa hokum-hukum pernikahan, perceraian, warisan, perjanjian,
hutangpiutang, kepidanaan dan lain-lain. Dengan demikian, pada surat-surat
Madaniyah di dalam Al-quran seperti surat al-Baqarah, Ali Imran, an-Nisa’,
al-Maidah, al-Anfal, at-Taubah, an-Nur, al-Ahzab banyak memuat ayat-ayat
pembahasan hokum, disamping itu memuat pula ayat-ayat tentang akidah, akhlak
dan kisah-kisah.
·
Sumber Hukum pada Periode Rasulullah
SAW.
Pada periode Rasulullah SAW. hanya
ada 2 sumber hokum (perundang-undangan), yaitu wahyu Ilahi (al-Quran) dan
ijtihad Rasulullah SAW. sendiri. Kalau terjadi suatu peristiwa yang memerlukan
adanya ketetapan hokum karena terjadi perselisihan, ada kejadian peristiwa, ada
pertanyaan, atau permintaan fatwa, maka Allah menurunkan wahyu kepada
Rasulullah SAW. satu atau beberapa ayat al-quran yang menerangkan tentang
hokum-hukumnya. Kemudian Rasulullah SAW. menyampaikan wahyu tersebut kepada
umat Islam. Dan wahyu inilah yang menjadi hukum atau undang-undang yang wajib
diikuti.
Kalau terjadi suatu masalah yang
memerlukan ketetapan hokum, sedang Allah SWT. Tidak menurunkan wahyu tentang
hal tersebut, maka Rasulullah SAW. berijtihad untuk menetapkan hokum suatu
masalah, atau menjawab suatu pertanyaan atau memenuhi permintaan fatwa hukum.
Hasil ijtihad Rasulullah SAW. ini menjadi hokum atau undang-undang yang wajib
diikuti.
Barangsiapa yang memperhatikan
secara seksama ayat-ayat hukum dalam al-Quran dan riwayat latar belakang
historis turunnya, akan jelas bahwa setiap hukum dalam al-Quran itu
disyariatkan karena adanya suatu peristiwa atau kejadian yang menghendaki
penetapan hukumnya.
Cntoh :
“
mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah:
"Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar”. (QS. Al-Baqarah, 2:217).
“mereka bertanya kepadamu tentang
khamar[136] dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar
dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari
manfaatnya". (QS.
Al-Baqarah, 2:219).
Adapun yang berasal dari sumber kedua, yaitu ijtihad Nabi SAW. terkadang
sebagai manifestasi dari ilham Ilahi, yakni ketika Nabi SAW. berijtihad,
Allah mengilhamkan kepadanya tentang ketetapan hukumnya. Dan terkadang pula
ijtihad Nabi SAW. sebagai upaya penggalian hokum tersebut yang berdasarkan pada
pertimbangan kemaslahatan serta jiwa perundang-undangan.
Hukum-hukum yang bersifat ijtihadnya tersebut sebagai hasil pengilhaman Allah
kepadanya. Rasul tidak mempunyai otoritas di dalamnya, melainkan
hanyapengungkapan saja baginya dalam bentuk sabda atau perbuatan (qauliyah atau
fi’liyah).
2. Perkembangan Ushul Fiqh Pada Masa
Sahabat
Periode sahabat dimulai sejak
wafatnya Rasulullah SAW. 11 H (632 M) dan berakhir pada akhir abad 1 H. periode
ini disebut periode sahabat sebab kekuasaan perundang-undangan dimotori oleh
para tokoh sahabat. Di antaranya ada ahabat yang hidup sampai akhir abad 1 H
seperti Anas bin Malik, wafat tahun 93 H (714 M). periode ini adalah periode
interpretasi terhadap undang-undang (tasyri’) dan terbukanya pintu-pintu
pengkajian hukum terhadap peristiwa yang tidak ada ketetapan hukumnya secara
jelas. Dan tokoh-tokoh sahabat memunculkan banyak persepsi dalam
menginterpretasi teks-teks hukum dalam al-Quran dan sunnah yang merupakan bahan
referensi pandangan yuridis bagi penafsiran. Dari para sahabat inilah timbul
fatwa-fatwa hukum dalam berbagai problema yang tidak ada ketetapan nasnya
secara jelas yang kemudian dianggap sebagai dasar dalam berijtihad dan
mengistimbat suatu hukum.
Memang,
semenjak masa sahabat telah timbul persoalan-persoalan baru yang menuntut
ketetapan hukumnya. Untuk itu para sahabat berijtihad, mencari ketetapan
hukumnya. Setelah wafat Rasulullah SAW sudah barang tentu berlakunya hasil
ijtihad para sahabat pada masa ini, tidak lagi disahkan oleh Rasulullah SAW,
sehingga dengan demikian semenjak masa sahabat ijtihad sudah merupakan sumber
hukum.
Sebagai
contoh hasil ijtihad para sahabat, yaitu : Umar bin Khattab RA tidak
menjatuhkan hukuman potong tangan kepada seseorang yang mencuri karena
kelaparan (darurat/terpaksa). Dan Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa wanita
yang suaminya meninggal dunia dan belum dicampuri serta belum ditentukan
maharnya, hanya berhak mendapatkan mut'ah. Ali menyamakan kedudukan wanita
tersebut dengan wanita yang telah dicerai oleh suaminya dan belum dicampuri
serta belum ditentukan maharnya, yang oleh syara' ditetapkan hak mut'ah
baginya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah :
wyy$uZã_ö/ä3øn=tæbÎ)ãLäêø)¯=sÛuä!$|¡ÏiY9$#$tBöNs9£`èdq�¡yJs?÷rr&(#qàÊÌ�øÿs?£`ßgs9ZpÒÌ�sù4£`èdqãèÏnFtBurn?tãÆìÅqçRùQ$#¼çnâys%n?tãurÎÏIø)ßJø9$#¼çnâys%$Jè»tGtBÅ$râ�÷êyJø9$$Î/($)ymn?tãtûüÏZÅ¡ósçRùQ$#ÇËÌÏÈ
“Tidak ada kewajiban membayar
(mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu
bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah
kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut
kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian
menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang
berbuat kebaikan”. (QS. Al-Baqarah, 2:236).
Dari
contoh-contoh ijtihad yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, demikian pula oleh
para sahabatnya baik di kala Rasulullah SAW masih hidup atau setelah beliau
wafat, tampak adanya cara-cara yang digunakannya, sekalipun tidak dikemukakan
dan tidak disusun kaidah-kaidah (aturan-aturan)nya ; sebagaimana yang kita
kenal dalam Ilmu Ushul Fiqh; karena pada masa Rasulullah SAW, demikian pula
pada masa sahabatnya, tidak dibutuhkan adanya kaidah-kaidah dalam berijtihad
dengan kata lain pada masa Rasulullah SAW dan pada masa sahabat telah terjadi
praktek berijtihad, hanya saja pada waktu-waktu itu tidak disusun sebagai suatu
ilmu yang kelak disebut dengan Ilmu Ushul Fiqh karena pada waktu-waktu itu
tidak dibutuhkan adanya. Yang demikian itu, karena Rasulullah SAW mengetahui
cara-cara nash dalam menunjukkan hukum baik secara langsung atau tidak
langsung, sehingga beliau tidak membutuhkan adanya kaidah-kaidah dalam
berijtihad, karena mereka mengetahui sebab-sebab turun (asbabun nuzul)
ayat-ayat Al-Qur'an, sebab-sebab datang (asbabul wurud) Al- Hadits, mempunyai
ketazaman dalam memahami rahasia-rahasia, tujuan dan dasar-dasar syara' dalam
menetapkan hukum yang mereka peroleh karena mereka mempunyai pengetahuan yang
luas dan mendalam terhadap bahasa mereka sendiri (Arab) yang juga bahasa Al-Qur'an
dan As-Sunnah. Dengan pengetahuan yang mereka miliki itu, mereka mampu
berijtihad tanpa membutuhkan adanya kaidah-kaidah.
3. Pembukuan Ushul Fiqh
Salah
satu yang mendorong diperlukannya pembukuan ushul fiqih adalah perkembangan
wilayah Islam yang semakin luas, sehingga tidak jarang menyebabkan timbulnya
berbagai persoalan yang belum diketahui kedudukan hukumnya. Untuk itu, para
ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk
dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.
Sebenarnya,jauh
sebelum dibukukannya ushul fiqih, ulama-ulama terdahulu telah membuat
teori-teori ushul yang dipegang oleh para pengikutnya masing-masing. tak heran
jika pengikut para ulama tersebut mengklaim bahwa gurunyalah yang pertama menyusun
kaidah-kaidah ushul fiqih.
Golongan
Hanafiyah misalnya mengklaim bahwa yang pertama menyusun ilmu Ushul Fiqih ialah
Abu Hanifah, Abu Yusuf Dan Ibnu Ali-Al Hasan. Alasan mereka bahwa Abu Hanifah
merupakan orang yang pertama menjelaskan metode istinbath dalam kitabnyanya
Ar-Ra'yu. Dan Abu Yusuf Abu Yusuf adalah orang yang pertama menyusun ushul fiqh
dalam madzhab hanafi, demikian pula Muhammad Ibnu Al-Hasan telah menyusun ushul
fiqh sebelum As-Syafi'ie, bahkan As-Syafi'i berguru kepadanya.
Golongan
As-Syafiiyah juga mengklaim bahwa Imam As-Syafi'i lah orang yang pertama yang
menyusun kitab ushul fiqh. Hal ini di ungkapkan oleh Al-Allamah Jamal Ad-Din
Abd Ar-Rohman Ibnu Hasan Al-Asnawi. Menurutnya, "tidak diperselisihkan
lagi "Imam Syafi'i adalah tokoh besar yang pertama-tama menyusun kitab
dalam ilmu ini, yaitu kitab yang tidak asing lagi dan yang sampai kepada kita
sekarang, yakni kitab Al-Risalah2
Kalau
dikembalikan pada sejarah, yang pertama berbicara tentang ushul fiqih sebelum
dibukukannya adalah para sahabat dan tabi’in. Hal ini tidak diperselisihkan
lagi. Namun yang diperselisihkan adalah orang yang mula-mula mengarang kitab
ushul fiqih sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri yang bersifat umum dan
mencakup segala aspeknya. Untuk itu kita perlu mengetahui terlebih dahulu
teori-teori penulisan dalam ilmu ushul fiqih. Secara garis besar ada dua teori
penulisan yang dikenal yakni.
Pertama,
merumuskan kaidah-kaidah fiqiyah bagi setiap bab dalam bab fiqih dan
menganalisisnya serta mengaplikasikan masalah furu’ atas kaidah-kaidah
tersebut. Teori inilah yang ditempuh oleh golongan Hanafi dan merekalah yang
merintisnya.
Kedua,
merumuskan kaidah-kaidah yang dapat menolong seorang
mujtahit dan meng-istinbat hukum dari sumber hukum syar’i, tanpa terikat oleh
pendapat seorang faqih atau suatu pemahaman yang sejalan dengannya maupun yang
bertentangan. Cara inilah yang ditempuh Al-Qur'an-syafi’i dalam kitabnya
ar-risalah, suatu kitab yang tersusun secara sempurna dalam bidang ilmu ushul
dan independen. Kitab seperti ini belum ada sebelumya, menurut ijma’ ulama dan
catatan sejarah (sulaiman:64).
4. Tahapan Perkembangan Ushul Fiqih
Secara
garis besarnya, ushul fiqh dapat di bagi dalam tiga tahapan yaitu:
- Tahap awal (abad 3H)
pada
abad 3 H di bawah pemerintahan Abassiyah wilayah Islam semakin meluas kebagian
timur.khalifah-khalifah yang berkuasa dalam abad ini adalah :
Al-Ma'mun(w.218H), Al-Mu'tashim(w.227H), Al Wasiq(w.232H), dan
Al-Mutawakil(w.247H) pada masa mereka inilah terjadi suatu kebangkitan ilmiah
dikalangan Islam yang dimulai dari kekhalifahan Arrasyid. salah satu hasil dari
kebangkitan berfikir dan semangat keilmuan Islam ketika itu adalah
berkembangnya bidang fiqh yang pada giliranya mendorong untuk disusunya metode
berfikir fiqih yang disebut ushul fiqh.
Seperti
telah dikemukakan, kitab ushul fiqh yang pertama-tama tersusun seara utuh dan
terpisah dari kitab-kitab fiqh ialah Ar-Risalah karangan As-Syafi'i. kitab ini
dinilai oleh para ulama sebagai kitab yang bertnilai tinggi. Ar-Razi berkata
"kedudukan As-Syafi'i dalam ushul fiqh setingkat dengan kedudukan Aristo
dalam ilmu Manthiq dan kedudukan Al-Khalil Ibnu Ahmad dalam ilmu Ar-rud".
Ulama
sebelum As-Syafi'i berbicara tentang masalah-masalah ushul fiqh dan
menjadikanya pegangan, tetapi mereka belum memperoleh kaidah-kaidah umum yang
menjadi rujukan dalam mengetahui dalil-dalil syari'at dan cara memegangi dan
cara mentarjih kanya: maka datanglah Al-Syafi'i menyusun ilmu ushul fiqih yang
merupakan kaidah-kaidah umum yang dijadikan rujukan-rujukan untuk mengetahui
tingkatan-tingkatan dalil syar'I, kalaupun ada orang yang menyusun kitab ilmu
ushul fiqh sesudah As-Syafi;I, mereka tetap bergantung pada Asy-Syafi'i karena
Asy-Syafi'ilah yang membuka jalan untuk pertama kalinya.
Selain
kitab Ar-Risalah pada abad 3 H telah tersusun pula sejumlah kitab ushu fiqh
lainya. Isa Ibnu Iban(w.221H\835 M) menulis kitab Itsbat Al-Qiyas. Khabar
Al-Wahid, ijtihad ar-ra'yu. Ibrahim Ibnu Syiar Al-Nazham (w.221H\835M) menulis
kitab An-Nakl dan sebagainya.
Namun
perlu diketahui pada umumnya kitab ushul fiqh yang ada pada abad 3 H
ini tidak mencerminkan pemikiran-pemikiran ushul fiqh yang utuh dan mencakup
segala aspeknya, kecuali kitab Ar-Risalah itu sendiri. Kitab
Ar-Risalahlah yang mencakup permasalahan-permasalahan ushuliyah yang menjadi
pusat perhatian Para Fuqoha pada zaman itu.
Disamping
itu, pemikiran ushuliyah yang telah ada, kebanyakan termuat dalam kitab-kitab
fiqh, dan inilah salah satu penyebab pengikut ulama-ulama tertentu mengklaim
bahwa Imam Madzhabnya sebagai perintis pertama ilmu ushul fiqh tersebut.
Golongan Malikiyah misalnya mengklaim imam madzhabnya sebagai perintis pertama
ushul fiqh dikarenakan Imam Malik telah menyinggung sebagian kaidah-kaidah
ushuliyyah dalam kitabnya Al Muwatha. Ketika ia ditanya tentang kemungkinan
adanya dua hadits shoheh yang berlawanan yang datang dari Rasulluloh pada saat
yang sama, Malik menolaknya dengan tegas, karena ia berperinsip bahwa kebenaran
itu hanya terdapat dalam satu hadits saja
- Tahap perkembangan (abad 4 H)
Pada
masa ini abad(4H) merupakan abad permulaan kelemahan Dinasty abaSsiyah dalam
bidang politik. Dinasty Abasiyah terpecah menjadi daulah-daulah kecil yang
masing-masing dipimpin oleh seorang sultan. Namun demikian tidak berpengaruh
terhadap perkembangan semangat keilmuan dikalangan para ulama ketika itu karena
masing-masing penguasa daulah itu berusaha memajukan negrinya dengan
memperbanyak kaum intelektual.
Khusus
dibidang pemikiran fiqh Islam pada masa ini mempunyai karakteristik tersendiri
dalam kerangka sejarah tasyri' Islam. Pemikiran liberal Islam berdasarkan
ijtihad muthlaq berhenti pada abad ini. mereka mengangagap para ulama terdahulu
mereka suci dari kesalahan sehingga seorang faqih tidak mau lagi mengeluarkan
pemikiran yang khas, terkecuali dalam hal-hal kecil saja, akibatnya
aliran-aliran fiqh semakin mantap exsitensinya, apa lagi disertai fanatisme
dikalangan penganutnya. Hal ini ditandai dengan adanya kewajiban menganut
madzhab tertentu dan larangan melakukan berpindahan madzhab sewaktu-waktu.
Namun
demikian, keterkaitan pada imam-imam terdahulu tidak dikatakan taqlid, karena
masing-masing pengikut madzhab yang ada tetap mengadakan kegiatan ilmiah guna
menyempurnakan apa yang dirintis oleh para pendahulunya.dengan melakukan usaha
antara lain:
- Memperjelas ilat-ilat hukum yang di istinbathkan oleh para imam mereka mereka disebut ulama takhrij
- Mentarjihkan pendapat-pendapat yang berbeda dalam madzhab baik dalam segi riwayat dan dirayah.
- Setiap golongan mentarjihkanya dalam berbagai masalah khilafiyah. Mereka menyusu kitab al-khilaf
Akan
tetapi tidak bisa di ingkari bahwa pintu ijtihad pada periode ini telah
tertutup, akibatnya dalam perkembangan fiqh Islam adalah sebagai berikut:
- Kegiatan para ulama terbatas terbatas dalam menyampaikan apa yang telah ada, mereka cenderung hanya mensyarahkan kitab-kitab terdahulu atau memahami dan meringkasnya.
- Menghimpun masalah-masalah furu yang sekian banyaknya dalam uaraian yang sungkat
- Memperbanyak pengandaian-pengandaian dalam beberapa masalah permasalahan.
Keadaan
tersebut sangat, jauh berbeda di bidang ushul fiqh. Terhentinya ijtihad dalam
fiqh dan adanya usaha-usaha untuk meneliti pendapat-pendapat para ulama
terdahulu dan mentarjihkanya. Justru memainkan peranan yang sangat besar dalam
bidang ushul fiqh.
Sebagai
tanda berembangnya ilmu ushul fiqh dalam abad 4 H ini ditandai dengan munculnya
kitab-kitab ushul fiqh yang merupakan hasil karaya ulama-ulama fiqh diantara
kitab yan terekenal adalah:
- Kitab Ushul Al-Kharkhi, ditulis oleh Abu Al-Hasan Ubaidillah Ibnu Al-Husain Ibnu Dilal Dalaham Al-Kharkhi,(w.340H.)
- Kitab Al –Fushul Fi-Fushul Fi-Ushul, ditulis oleh Ahmad Ibnu Ali Abu Baker Ar-Razim yang juga terkenal dengan Al-Jasshah (305H.)
- Kitab Bayan Kasf Al-Ahfazh, ditulis oleh abu Muhammad Badr Ad-Din Mahmud Ibnu Ziyad Al-Lamisy Al-Hanafi.
Ada
beberapa hal yang menjadi ciri khas dalam perkembangan ushul fiqh pada abad 4h
yaitu munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang membahas ushul fiqh secara utuh dan
tidak sebagian-sebagian seperti yang terjadi pada masa-masa sebelumnya. Kalaupun
ada yang membahas hanya kitab-kitab tertentu, hal itu semata-mata untuk menolak
atau memperkuat pandangan tertentu dalam masalah itu.
3. Tahap
penyempurnaan ( 5-6 H )
kelemahan
politik di Baghdad, yang ditandai dengan lahirnya beberapa daulah kecil,
membawa arti bagi perkembanangan peradaban dunia Islam. Peradaban Islam tak
lagi berpusat di Baghdad, tetapi juga di kota-kota seperti Cairo, Bukhara,
Ghaznah, dan Markusy. Hal itu disebabkan adanya perhatian besar dari para
sultan, raja-raja penguasa daulah-daulah kecil itu terhadap perkembangan ilmu
dan peradaban.
Hingga
berdampak pada kemajuan dibidang ilmu ushul fiqih yang menyebabkan sebagian
ulama memberikan perhatian khusus untuk mndalaminya, antara lain Al-Baqilani,
Al-Qhandi, abd. Al-jabar, abd. Wahab Al-Baghdadi, Abu Zayd Ad Dabusy, Abu
Husain Al Bashri, Imam Al-Haramain, Abd. Malik Al-Juwani, Abu Humaid Al Ghazali
dan lain-lain. Mereka adalah pelopor keilmuan Islam di zaman itu. Para pengkaji
ilmu keislaman di kemudian hari mengikuti metode dan jejak mereka, untuk
mewujudkan aktivitas ilmu ushul fiqih yang tidak ada bandinganya dalam
penulisan dan pengkajian keislaman , itulah sebabnya pada zaman itu, generasi
Islam pada kemudian hri senantiasa menunjukan minatnya pada produk-produk ushul
fiqih dan menjadikanya sebagi sumber pemikiran.
Dalam
sejarah pekembangan ilmu ushul fiqih pada abad 5 H dan 6 H ini merupakan
periode penulisan ushul fiqih terpesat yang diantaranya terdapat kitab-kitab
yang mnjadi kitab standar dalam pengkajian ilmu ushul fiqih slanjutnya.
Kitab-kitab
ushul fiqih yang ditulis pada zaman ini, disamping mencerminkan adanya kitab
ushul fiqih bagi masing-masing madzhabnya, juga menunjukan adanya alioran ushul
fiqih, yakni aliran hanafiah yang dikenal dengan alira fuqoha, dan aliran
Mutakalimin
BAB III
KESIMPULAN
Dari
penjelasan-penjelsan di atas dapat disimpulkan
- Apa yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa sejak zaman Rasulullah saw., sahabat dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam mengalami perkembangan. Namun demikian, corak atau metode pemikiran belum terbukukan dalam tulisan yang sistematis. Dengan kata lain, belum terbentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri
- Karena timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui hukumnya. Untuk itu, para ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum maka disusunlah kitab ushul fiqih .
- Bahwa kegiatan ulama dalam penulisan ushul fiqih merupakan salah satu upaya dalam menjaga keasrian hukum syara. Dan menjabarkanya kehidupan social yang berubah-ubah itu, kegiatan tersebut dimuali pada abad ketiga hijriyah. ushul fiqih terus berkembang menuju kesempurnaanya hingga abad kelima dan awal abad 6 H abad tersebut merupakan abad keemasan penulisan ilmu ushul fiqh karena banyak ulama yang memusatkan perhatiannya pada bidang ushul fiqih dan juga muncul kitab-kitab fiqih yang menjadi standar dan rujukan untuk ushul fiqih selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Khallaf, Abdul, Wahab. Sejarah Pembentukn
dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001
Rahmat,
Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih, cv pustaka setia bandung, 2007
Hasim Kamali, Muhammad, Prinsip
Dan Teori-Teori Hukum Islam, Pustaka Pelajar Offset, 1996
Tidak ada komentar:
Posting Komentar