Sabtu, 02 Januari 2016

ISLAM BERBICARA TENTANG PENDIDIK



ISLAM BERBICARA TENTANG PENDIDIK


Description: Description: Description: Description: Description: Stain 2.JPG

REVISI MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Ilmu Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Moh. In’ami,  M.Ag

Oleh :

Nur Rovieq                            (111641)
Noor Muh. Asyrofil Huda    (111643)


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH/PAI/ELK
TAHUN 2013


a.    Pendahuluan
Pendidikan adalah sesuatu yang urgen bagi kehidupan manusia. Baginya pendidikan merupakan suatu sarana untuk meraih apa yang dicita-citakannya, entah sebagai insinyur, dokter, perawat, pengacara maupun lainnya.
Dalam Al-Qur’an, manusia memiliki tugas sebagai kholifah fil ardhi, dimana Al-Qur’an merupakan landasan dasar bagi pendidikan Islam. Salah satu faktor yang memiliki peranan penting dalam pendidikan Islam-demikian juga dalam pendidikan pada umumnya adalah pendidik.
Dalam konteks pendidikan Islam, pendidik sering disebut dengan murabbi, mu’alim, mu’adib, mudarris, dan mursyid.[1] Kelima kata tersebut mempunyai tempat tersendiri menurut peristilahan yang dipakai dalam konteks pendidikan Islam. Di samping itu, pendidik kadang kala disebut melalui gelarnya, seperti istilah ustadz dan al-syakh. Di mana tugas intinya bukan hanya hanya mentransfer pengetahuan kepada peserta didik, namun juga harus mampu menginternalisasikan nilai-nilai keislaman pada anak didiknya. Untuk itu, dalam makalah ini akan kita bahas hal-hal yang berkaitan dengan pendidik dalam perspektif Islam.

b.    Masalah
Permasalahan-permasalahan yang akan kita bahas berkaitan dengan pendidik dalam perspektif Islam dalam makalah kami antara lain:
1.        Apa definisi pendidik dalam pendidikan Islam?
2.        Bagaimana kedudukan pendidik dalam Islam?
3.        Siapa saja pendidik dalam Islam?
4.        Apa saja kode etik pendidik dan mengapa hal itu sangat penting dalam Islam?

c.    Pembahasan
1.        Definisi pendidik dalam pendidikan Islam
Secara Etimologi
Dalam konteks Pendidikan Islam, pendidik disebut dengan murabbi, Muallim, dan muaddib. Kata Murabbi berasal dari kata Rabba, Yurabbi. Kata Muallim isim fail dari allama, yuallimu sebagaimana ditemukan dalam Al-Qur’an (Q.S. 2:31), sedangkan kata Muaddib, berasal dari Addaba, Yuaddibu, seperti sabda Rasul: “ Allah mendidikku, maka ia memberikan kepadaku sebaik-baik pendidikan.” [2]
Ketiga term itu, muallim, murabbi, muaddib, mempunyai makna yang berbeda, sesuai dengan konteks kalimat, walaupun dalam situasi tertentu mempunyai kesamaan makna. Kata atau istilah “Murabbi” misalnya, sering dijumpai dalam kalimat yang orientasinya lebih mengarah pada pemeliharaan, baik yang bersifat jasmani atau rohani. Terlihat dalam proses orang tua membesarkan anaknya. Tentunya, orang tua berusaha memberikan pelayanan secara penuh agar anaknya tumbuh dengan fisik yang sehat dan kepribadian serta akhlak yang terpuji. Sedangkan untuk istilah “mu’allim”, pada umumnya dipakai dalam membicarakan aktivitas yang lebih terfokus pada pemberian atau pemindahan ilmu
pengetahuan (baca : pengajaran), dari seorang yang tahu kepada seorang yang tidak tahu. Adapun istilah “muaddib”, menurut Al-Attas, lebih luas dari istilah
“muallim” dan lebih relevan dengan konsep pendidikan Islam.[3]
Secara Terminologi
Pandangan Islam tentang definisi pendidik sama halnya dengan teori barat, yaitu orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didiknya dengan upaya mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif (rasa), kognitif (cipta), maupun psikomotorik (karsa).[4]
Pendidik berarti juga orang dewasa yang bertanggung jawab memberi pertolongan pada peserta didiknya dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar tercapai tingkat kedewasaannya, mampu mandiri dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah SWT, dan mampu melaksanakan tugas sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk individu yang mandiri.[5]
Pendidik pertama dan utama adalah orang tua sendiri. Mereka berdua yang bertanggung jawab penuh atas kemajuan perkembangan anak kandungnya, karena sukses tidaknya anak sangat
tergantung pengasuhan, perhatian, dan pendidikanya yang mana kesuksesan anak kandung itulah merupakan cerminan kesuksesan orang tuanya.
Menurut pemakalah, definisi dari pendidik dalam Islam adalah seseorang yang telah matang, yang mampu mentransfer pengetahuan, menanamkan nilai-nilai keislaman, serta bertanggung jawab untuk mengembangkan segenap potensi yang dimiliki peserta didik secara seimbang dan berkesinambungan, hingga nantinya peserta didik mampu menjadi manusia seutuhnya, dan mampu melakasanakan tugasnya sebagai Khalifah fil ardhi sebagai wujud keta’atannya pada Allah SWT.
2.        Kedudukan pendidik dalam Islam

Pada ajaran Islam, penghargaan Islam yang sangat tinggi terhadap guru. Begitu tingginya penghargaan itu sehinggamenempatkan kedudukan guru setingkat di bawah kedudukan Nabi dan Rasul.
“Berdirilah kamu bagi seorang guru dan hormatilah dia. Seorang guru itu hampir mendekati kedudukan seorang rasul.”[6]
Karena guru selalu terkait dengan ilmu (pengetahuan), sedangkan Islam amat mempengaruhi pengetahuan. Sebenarnya tingginya kedudukan guru dalam Islam merupakan realisasi ajaran Islam itu sendiri. Islam memuliakan pengetahuan. Pengetahuan itu didapat dari belajar dan mengajar, yang belajar adalah calon guru dan yang mengajar adalah guru
Dan Al-Ghazali menjelaskan bahwa kedudukan yang tinggi ini dengan ucapannya sebagai berikut : “Maka seorang yang alim mau mengamalkan apa yang telah diketahuinya, maka ialah dinamakan seorang besar di semua kerajaan langit. Dia adalah seperti matahari yang menerangi alam-alam yang lain, dia mempunyai cahaya dalam dirinya, dan dia adalah seperti minyak wangi yang mewangikan orang lain, karena ia memang wangi. Siapa-siapa yang memilih pekerjaan mengajar ia telah memilih pekerjaan yang besar dan penting, maka dari itu, hendaklah ia menjaga tingkah lakunya dan kewajiban-kewajibannya.”[7]
Sedemikian tinggi kedudukan pendidik dalam Islam. Tapi berdasarkan yang dapat pemakalah lihat di lapangan sekarang bahwa pemuliaan terhadap pendidik telah mengalami degradasi.
3.        Pendidik dalam Islam

Menurut Ramayulis, pendidik dalam pendidikan Islam setidaknya ada empat macam, yaitu:
1.     Allah SWT, sebagai pendidik bagi hamba-hamba dan sekalian makhluk-Nya.
2.  Nabi Muhammad SAW, sebagai utusan-Nya telah menerima wahyu dari Allah kemudian bertugas untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk yang ada di dalamnya kepada seluruh manusia.
3.    Orang tua, sebagai pendidik dalam lingkungan keluarga bagi anak-anaknya.
4.    Guru sebagai pendidik di lingkungan pendidikan formal, seperti di sekolah atau madrasah. Namun pendidik yang lebih banyak dibicarakan dalam pembahasan ini adalah pendidik dalam bentuk yang keempat.

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa hanya ada 4 (empat) jenis pendidik, lalu jika peserta didik belajar kepada peserta didik yang lain. Apakah temannya itu dapat dimasukkan ke dalam pendidik? Demikian juga dengan para pendidik yang berada dalam pendidikan non formal, seperti pesantren-pesantren. Padahal hakekat mereka juga melakukan pendidikan.

4.        Kode etik Pendidik dalam Islam

Kode etik ialah norma-norma yang mengatur hubungan kemanusiaan antara pendidik dan peserta didik, orang tua peserta didik, serta dengan atasanya. Suatu jabatan yang melayani orang lain selalu memerlukan kode etik. Demikian jabatan sebagai pendidik wajib mempunyai kode etik tertentu yang harus dikenal dan dilaksanakan oleh setiap pendidik.
Bentuk kode etik suatu lembaga itu tidaklah harus sama, tetapi secara intrinsik mempunyai kesamaan konten yang berlaku umum. Pelanggaran kode etik akan mengurangi nilai dan kewibawaan identitas pendidik.
Menurut Ibn Jama’ah, etika pendidik terbagi atas tiga macam, yaitu:[8]
1.     Etika yang terkait dengan dirinya sendiri. Pendidik ini paling tidak memiliki dua etika, yaitu:
a.    Memiliki sifat keagamaan (diniyyah) yang baik, yang meliputi patuh dan
tunduk terhadap syariat Allah dalam bentuk ucapan dan tindakan, baik yang wajib maupun yang sunnah,
seperti: senantiasa membaca Al-Qur’an, dzikir kepada-Nya, baik dengan hati maupun lisan, menjaga perilaku lahir dan batin.
b.    Memiliki sifat-sifat akhlak yang mulia, (akhlakiyyah) serta menghias diri (tahalli) dengan memelihara diri, khusyu’, rendah hati, menerima apa adanya, zuhud dan memiliki daya dan hasrat yang kuat.
2.      Etika terhadap peserta didiknya. Pendidik dalam bagian ini paling tidak memiliki dua etika, yaitu:
a.    Sifat-sifat sopan santun dan beradab (adabiyyah), yang terkait dengan akhlak yang mulia seperti di atas.
b.    Sifat-sifat memudahkan, menyenangkan dan menyelamatkan(muhniyyah).
3.      Etika dalam proses belajar mengajar. Juga mempunyai dua etika, yaitu:
a.    Sifat-sifat memudahkan, menyenangkan dan menyelamatkan(muhniyyah).
b.    Sifat-sifat seni, yaitu seni mengajar yang menyenangkan, sehingga peserta didik tidak merasa bosan.[9]


Dalam merumuskan kode etik, Al-Ghazali lebih menekankan betapa berat kode etik yang diperankan seorang pendidik daripada peserta didiknya. Kode etik pendidik terumuskan sebanyak 17 bagian, sementara kode etik peserta didik hanya 11 bagian, dikarenakan guru dalam hal ini menjadi segala-galanya, yang tidak saja menyangkut keberhasilannya dalam menjalankan profesi keguruannya, tetapi juga tanggung jawab di hadapan Allah SWT kelak.
Adapun kode etik yang dimaksud adalah:
a.     Menerima segala problem peserta didiknya dengan hati dan sikap terbuka dan tabah.
b.      Bersikap penyantun dan penyayang[10].
c.      Menjaga kewibawaan dan kehormatanya dalam bertindak.
d.     Menghindari dan menghilangkan sikap angkuh terhadap sesama.
e.      Bersikap rendah hati ketika menyatu bersama sekelompok masyarakat.
f.       Menghilangkan aktivitas yang tidak berguana dan sia-sia.
g.   Bersifat lemah lembut dalam menghadapi peserta didik yang tingkat IQ-nya rendah, serta membinanya sampai pada taraf maksimal.
h.   Meninggalkan sifat marah dalam menghadapi problem peserta didiknya.
i.    Memeperbaiki sifat peserta didiknya dan bersikap lemah lembut terhadap peserta didik yang kurang lancar bicaranya.
j.     Meninggalkan sifat yang menakutkan pada peserta didik, terutama pada peserta didik yang belum mengerti atau mengetahui.
k.     Berusaha memperhatikan pertanyaan-pertanyaan peserta didik, walaupun pertanyaanya itu tidak bermutu dan tidak sesuai dengan masalah yang diajarkan.
l.     Menerima kebenaran yang diajukan oleh peserta didiknya.
m.   Menjadikan kebenaran sebagai acuan dalam proses pendidikan, walaupun kebenaran itu datangnya dari peserta didik.
n.    Mencegah dan mengontrol peserta didik mempelajari ilmu yang membahayakan.
o.    Menanamkan sifat ikhlas pada peserta didik serta terus-menerus mencari informasi guna disampaikan pada peserta didik  yag akhirnya mencapai tingkat taqarrub kepada Allah SWT.
p.    Mencegah peserta didik mempelajari ilmu fardhu kifayah sebelum mempelajari ilmu fardhu ‘ain.
q.    Mengaktualisasi informasi yang diajarkan pada peserta didik.[11]

Dalam bahasa yang berbeda, Muhammad Athiyah Al-Abrasy menentukan kode etik pendidik dalam pendidikan Islam sebagai berikut:
1)     Mempunyai watak pendidik (orang tua) sebelum menjadi seorang pendidik, sehingga ia menyayangi peserta didiknya seperti menyayangi anaknya sendiri.
2)     Adanya komunikasi yang aktif antara pendidik dan peserta didik. Pola komunikasi dalam interaksi dapat diterapkan ketika terjadi proses belajar mengajar. Pola komunikasi dalam pendidikan dapat dilakukan dengan tiga macam, yaitu: komunikasi sebagai aksi (intraksi searah), komunikasi sebagai interaksi (interaksi dua arah) dan komunikasi sebagai transaksi (interaksi multiarah). Tentunya untuk mewujudkan tujuan pendidikan Islam yang maksimal harus digunakan komunikasi yang transaksi, sehingga suasana belajar menjadi lebih aktif antara pendidik dan peserta didik, antara peserta didik dan pendidik, dan antar peserta didik.
3)     Memelihara kemampuan dan kondisi peserta didiknya. Pemberian materi pelajaran harus diukur dengan kadar kemampuannya.
4)     Mengetahui kepentingan bersama, tidak terfokus pada sebagian peserta didik, misalnya hanya memprioritaskan anak yang ber-IQ tinggi.
5)      Mempunyai sifat keadilan, kesucian, dan kesempurnaan.
6)      Ikhlas dalam menjalankan aktifitasnya, tidak hanya menuntut hal yang diluar kewajibannya.
7)      Dalam mengajar supaya mengaitkan materi satu dengan materi yang lainnya (menggunakan pola integrited curriculum)
8)      Memberi bekal peserta didik dengan ilmu yang mengacu pada masa depan, karena ia tercipta berbeda dengan zaman yang dialami oleh pendidiknya.
9)        Sehat jasmani dan rohani serta mempunyai kepribadian yang kuat, tanggung jawab, dan mampu mengatasi problem peserta didik, serta mempunyai rencana yang matang untuk menatap masa depan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.
















d.   Kesimpulan
1.        Pendidik dalam Islam adalah seseorang yang telah matang, yang mampu mentransfer pengetahuan, menanamkan nilai-nilai keislaman, serta bertanggung jawab untuk mengembangkan segenap potensi yang dimiliki peserta didik secara seimbang dan berkesinambungan, hingga nantinya peserta didik mampu menjadi manusia seutuhnya, dan mampu melakasanakan tugasnya sebagai Khalifah fil ardhi sebagai wujud keta’atannya pada Allah SWT.
2.        Kedudukan para pendidik dalam Islam sangat dihormati dan dijunjung tinggi, dimana kedudukannya mendekati kedudukan rasul.
3.        Jenis-jenis pendidik dalam Islam adalah Allah SWT, Rasulullah SAW, orang tua dan guru.
4.        Kode etik pendidik merupakan norma aturan bagi pendidik dalam menjalankan tugasnya. Secara garis besar kode etik pendidik dapat kita bagi menjadi tiga bagian, kode etik yang berhubungan dengan diri pendidik sendiri, berhubungan dengan peserta didik dan dalam proses belajar mengajar. Penerapan kode etik sangat penting karena dalam kode etik pendidik, mengandung implementasi pertanggungjawaban kepada diri sendiri,


peserta didik, orang tua, masyarakat dan Allah SWT. Pengabaian dalam kode etik ini akan menurunkan kewibawaan dan kehormatan seorang pendidik.






















Daftar Pustaka
Mujib, Abdul, dkk. 2010. Ilmu Pendidika Islam. Jakarta: Kencana
Tafsir, Ahmad. 1992. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya
Darajat, Zakiah. 1980. Kepribadian Guru. Jakarta: Bulan Bintang
Ramayulis, 2005. Metodologi Pendidikan Agama Islam, Jakarta : Kalam Mulia.
Rosyadi, Khoiron. 2004.Pendidikan Profetik, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Syar’I, Ahmad. 2005.Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Pustaka Firdaus
M. Athiyah al-Abrasyi. 1987.Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, terj..Bustami A. Ghani, Jakarta: Bulan Bintang
Prof. Dr. Abdul Mujib, MAg. dkk. 2010. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana














[1]Ahmad ludjito, pemikiran Al-Ghozali tentang pendidikan,Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998, hal.63.
[2] kitab al-Asrar al-Marfu'ah hal. 506
[3] Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas.The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education.(Kuala Lumpur: Muslim Youth Movement of Malaysia) hal. 14
[4] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), hal. 74-75
5Abdul Mujib, dkk. Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 87.
[6] M. Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, terj..Bustami A. Ghani, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hal. 135-136
[7] Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1979), hal. 165-166.
[8] Tadzkirat as-Sâmi' wa al-Mutakallim Fi Adab al-'Alim wa al-Muta'allim, Ibnu Jama'ah al-Kinâni, Tahqiq as-Sayyid Muhammad Hasyim an-Nadawi, Cetakan kedua tahun 1416 H, Rimaadi Lin-Nâsyir.
[9] Abdul Mujib, dkk. Op..Cit..hal. 98
[10] Q.S. 3: 159
[11] Abdul Mujib, dkk. Op..Cit..hal. 100

Tidak ada komentar:

Posting Komentar