ISLAM
BERBICARA TENTANG PENDIDIK
REVISI MAKALAH
Disusun untuk
Memenuhi Tugas Ilmu Pendidikan Islam
Dosen Pengampu :
Moh. In’ami, M.Ag
Oleh :
Nur Rovieq (111641)
Noor Muh. Asyrofil
Huda (111643)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH/PAI/ELK
TAHUN 2013
a. Pendahuluan
Pendidikan adalah sesuatu yang urgen bagi kehidupan manusia. Baginya
pendidikan merupakan suatu sarana untuk meraih apa yang dicita-citakannya,
entah sebagai insinyur, dokter, perawat, pengacara maupun lainnya.
Dalam Al-Qur’an, manusia memiliki tugas sebagai kholifah fil ardhi,
dimana Al-Qur’an merupakan landasan dasar bagi pendidikan Islam. Salah satu
faktor yang memiliki peranan penting dalam pendidikan Islam-demikian juga dalam
pendidikan pada umumnya adalah pendidik.
Dalam konteks pendidikan Islam, pendidik sering disebut dengan
murabbi, mu’alim, mu’adib, mudarris, dan mursyid.[1]
Kelima kata tersebut mempunyai tempat tersendiri menurut peristilahan yang dipakai
dalam konteks pendidikan Islam. Di
samping itu, pendidik
kadang kala disebut melalui gelarnya, seperti istilah ustadz dan al-syakh. Di mana tugas intinya bukan hanya hanya mentransfer pengetahuan kepada
peserta didik, namun juga harus mampu menginternalisasikan nilai-nilai keislaman
pada anak didiknya. Untuk itu, dalam makalah ini akan kita bahas hal-hal yang
berkaitan dengan pendidik dalam perspektif Islam.
b. Masalah
Permasalahan-permasalahan yang akan kita bahas berkaitan dengan pendidik
dalam perspektif Islam dalam makalah kami antara lain:
1.
Apa definisi pendidik dalam pendidikan Islam?
2.
Bagaimana kedudukan pendidik dalam Islam?
3.
Siapa saja pendidik dalam Islam?
4.
Apa saja kode etik pendidik dan mengapa hal itu sangat penting dalam Islam?
c. Pembahasan
1.
Definisi pendidik dalam pendidikan Islam
Secara
Etimologi
Dalam konteks Pendidikan Islam, pendidik disebut dengan murabbi, Muallim, dan muaddib. Kata Murabbi berasal dari kata Rabba,
Yurabbi. Kata Muallim isim fail dari allama,
yuallimu sebagaimana ditemukan dalam Al-Qur’an (Q.S. 2:31), sedangkan kata Muaddib, berasal dari Addaba, Yuaddibu, seperti sabda Rasul: “
Allah mendidikku, maka ia memberikan
kepadaku sebaik-baik pendidikan.” [2]
Ketiga term
itu, muallim, murabbi, muaddib,
mempunyai makna yang berbeda, sesuai dengan konteks kalimat, walaupun dalam
situasi tertentu mempunyai kesamaan makna. Kata atau istilah “Murabbi” misalnya, sering dijumpai
dalam kalimat yang orientasinya lebih mengarah pada pemeliharaan, baik yang
bersifat jasmani atau rohani. Terlihat dalam proses orang tua membesarkan
anaknya. Tentunya, orang tua
berusaha memberikan pelayanan secara penuh agar anaknya tumbuh dengan fisik
yang sehat dan kepribadian serta akhlak yang terpuji. Sedangkan untuk istilah “mu’allim”,
pada umumnya dipakai dalam membicarakan aktivitas yang lebih terfokus pada pemberian
atau pemindahan ilmu
pengetahuan
(baca : pengajaran), dari seorang yang tahu kepada seorang yang tidak tahu. Adapun istilah
“muaddib”, menurut Al-Attas, lebih luas
dari istilah
“muallim” dan lebih
relevan dengan konsep pendidikan Islam.[3]
Secara
Terminologi
Pandangan Islam
tentang definisi pendidik sama halnya dengan teori barat, yaitu orang-orang
yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didiknya dengan upaya
mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif (rasa),
kognitif (cipta), maupun psikomotorik (karsa).[4]
Pendidik berarti juga orang dewasa yang bertanggung jawab memberi pertolongan pada peserta didiknya dalam perkembangan jasmani dan
rohaninya, agar tercapai tingkat kedewasaannya, mampu mandiri dalam memenuhi
tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah SWT, dan mampu melaksanakan tugas
sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk individu yang mandiri.[5]
Pendidik pertama dan utama adalah
orang tua sendiri. Mereka berdua yang bertanggung jawab penuh atas kemajuan
perkembangan anak kandungnya, karena sukses tidaknya anak sangat
tergantung pengasuhan, perhatian, dan
pendidikanya yang mana kesuksesan anak kandung itulah merupakan cerminan
kesuksesan orang tuanya.
Menurut pemakalah, definisi dari pendidik dalam Islam adalah seseorang yang telah
matang, yang mampu mentransfer pengetahuan, menanamkan nilai-nilai keislaman,
serta bertanggung jawab untuk mengembangkan segenap potensi yang dimiliki
peserta didik secara seimbang dan berkesinambungan,
hingga nantinya peserta didik mampu menjadi manusia seutuhnya, dan mampu
melakasanakan tugasnya sebagai Khalifah fil ardhi sebagai wujud
keta’atannya pada Allah SWT.
2.
Kedudukan pendidik dalam Islam
Pada ajaran Islam,
penghargaan Islam yang sangat tinggi terhadap guru. Begitu tingginya
penghargaan itu sehinggamenempatkan kedudukan guru setingkat di bawah kedudukan
Nabi dan Rasul.
“Berdirilah
kamu bagi seorang guru dan hormatilah dia. Seorang guru itu hampir mendekati kedudukan seorang rasul.”[6]
Karena guru
selalu terkait dengan ilmu (pengetahuan), sedangkan Islam amat mempengaruhi
pengetahuan. Sebenarnya tingginya kedudukan guru dalam Islam merupakan
realisasi ajaran Islam itu sendiri. Islam memuliakan pengetahuan.
Pengetahuan itu didapat dari belajar dan mengajar, yang belajar adalah calon guru dan yang mengajar adalah guru
Dan Al-Ghazali
menjelaskan bahwa kedudukan yang tinggi ini dengan ucapannya sebagai berikut :
“Maka seorang yang alim mau mengamalkan apa yang telah diketahuinya, maka ialah
dinamakan seorang besar di semua kerajaan langit. Dia adalah
seperti matahari yang menerangi alam-alam yang lain, dia mempunyai cahaya dalam
dirinya, dan dia adalah seperti minyak wangi yang mewangikan orang lain, karena
ia memang wangi. Siapa-siapa yang memilih pekerjaan mengajar ia telah memilih
pekerjaan yang besar dan penting, maka dari itu, hendaklah ia menjaga tingkah
lakunya dan kewajiban-kewajibannya.”[7]
Sedemikian tinggi kedudukan
pendidik dalam Islam. Tapi berdasarkan yang dapat pemakalah lihat di lapangan
sekarang bahwa pemuliaan terhadap pendidik telah mengalami degradasi.
3.
Pendidik dalam Islam
Menurut Ramayulis, pendidik dalam pendidikan Islam setidaknya ada empat
macam, yaitu:
1. Allah SWT, sebagai
pendidik bagi hamba-hamba dan sekalian makhluk-Nya.
2. Nabi Muhammad SAW, sebagai utusan-Nya telah menerima wahyu
dari Allah kemudian bertugas untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk yang ada di
dalamnya kepada seluruh manusia.
3. Orang tua, sebagai pendidik dalam lingkungan keluarga bagi
anak-anaknya.
4. Guru sebagai pendidik di lingkungan pendidikan formal, seperti di sekolah
atau madrasah. Namun pendidik yang lebih banyak dibicarakan dalam pembahasan
ini adalah pendidik dalam bentuk yang keempat.
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa hanya ada 4 (empat)
jenis pendidik, lalu jika peserta didik belajar kepada peserta didik yang lain.
Apakah temannya itu dapat dimasukkan ke dalam pendidik? Demikian juga dengan
para pendidik yang berada dalam pendidikan non formal, seperti
pesantren-pesantren. Padahal hakekat mereka juga melakukan pendidikan.
4.
Kode etik Pendidik dalam Islam
Kode etik ialah
norma-norma yang mengatur hubungan kemanusiaan antara pendidik dan peserta
didik, orang tua peserta didik, serta dengan atasanya. Suatu jabatan yang melayani orang lain selalu memerlukan
kode etik. Demikian jabatan sebagai pendidik wajib mempunyai kode etik tertentu
yang harus dikenal dan dilaksanakan oleh setiap pendidik.
Bentuk kode etik suatu
lembaga itu tidaklah harus sama, tetapi secara intrinsik mempunyai kesamaan
konten yang berlaku umum. Pelanggaran kode etik akan mengurangi nilai dan
kewibawaan identitas pendidik.
Menurut Ibn Jama’ah, etika
pendidik terbagi atas tiga macam, yaitu:[8]
1. Etika
yang terkait dengan dirinya sendiri. Pendidik ini paling
tidak memiliki dua etika, yaitu:
a. Memiliki sifat keagamaan (diniyyah) yang baik,
yang meliputi patuh dan
tunduk
terhadap syariat Allah dalam bentuk ucapan dan tindakan, baik yang wajib maupun
yang sunnah,
seperti:
senantiasa membaca Al-Qur’an, dzikir kepada-Nya, baik dengan hati maupun lisan,
menjaga perilaku lahir dan batin.
b. Memiliki
sifat-sifat akhlak yang mulia, (akhlakiyyah) serta menghias diri (tahalli)
dengan memelihara diri, khusyu’, rendah hati, menerima apa adanya, zuhud dan
memiliki daya dan hasrat yang kuat.
2.
Etika
terhadap peserta didiknya. Pendidik dalam bagian
ini paling tidak memiliki dua etika, yaitu:
a. Sifat-sifat
sopan santun dan beradab (adabiyyah), yang terkait dengan akhlak yang
mulia seperti di atas.
b. Sifat-sifat
memudahkan, menyenangkan dan menyelamatkan(muhniyyah).
3.
Etika
dalam proses belajar mengajar. Juga mempunyai dua
etika, yaitu:
a. Sifat-sifat
memudahkan, menyenangkan dan menyelamatkan(muhniyyah).
b. Sifat-sifat
seni, yaitu seni mengajar yang menyenangkan, sehingga peserta didik tidak
merasa bosan.[9]
Dalam merumuskan kode etik, Al-Ghazali lebih menekankan betapa berat
kode etik yang diperankan seorang pendidik daripada peserta didiknya. Kode etik pendidik
terumuskan sebanyak 17 bagian, sementara kode etik peserta didik hanya 11
bagian, dikarenakan guru dalam hal ini menjadi segala-galanya, yang tidak saja
menyangkut keberhasilannya
dalam menjalankan profesi keguruannya,
tetapi juga tanggung jawab di hadapan Allah SWT kelak.
Adapun kode etik yang dimaksud adalah:
a. Menerima
segala problem peserta didiknya dengan hati dan sikap terbuka dan tabah.
c. Menjaga
kewibawaan dan kehormatanya dalam bertindak.
d. Menghindari
dan menghilangkan sikap angkuh terhadap sesama.
e. Bersikap
rendah hati ketika menyatu bersama sekelompok masyarakat.
f.
Menghilangkan
aktivitas yang tidak berguana dan sia-sia.
g. Bersifat lemah
lembut dalam menghadapi peserta didik yang tingkat IQ-nya rendah, serta
membinanya sampai pada taraf maksimal.
h. Meninggalkan sifat marah dalam menghadapi
problem peserta didiknya.
i. Memeperbaiki
sifat peserta didiknya dan bersikap lemah lembut terhadap peserta didik yang
kurang lancar bicaranya.
j. Meninggalkan
sifat yang menakutkan pada peserta didik, terutama pada peserta didik yang
belum mengerti atau mengetahui.
k. Berusaha
memperhatikan pertanyaan-pertanyaan peserta didik, walaupun pertanyaanya itu
tidak bermutu dan tidak sesuai dengan masalah yang diajarkan.
l. Menerima
kebenaran yang diajukan
oleh peserta didiknya.
m. Menjadikan
kebenaran sebagai acuan dalam proses pendidikan, walaupun kebenaran itu
datangnya dari peserta didik.
n. Mencegah
dan mengontrol peserta didik mempelajari ilmu yang membahayakan.
o. Menanamkan
sifat ikhlas pada peserta didik serta terus-menerus mencari informasi guna
disampaikan pada peserta didik yag
akhirnya mencapai tingkat taqarrub kepada Allah SWT.
p. Mencegah
peserta didik mempelajari ilmu fardhu kifayah sebelum mempelajari ilmu fardhu
‘ain.
Dalam
bahasa yang berbeda, Muhammad Athiyah Al-Abrasy menentukan kode etik pendidik
dalam pendidikan Islam sebagai berikut:
1) Mempunyai
watak pendidik (orang tua) sebelum menjadi seorang pendidik, sehingga ia menyayangi peserta
didiknya seperti menyayangi anaknya sendiri.
2) Adanya
komunikasi yang aktif antara pendidik dan peserta didik. Pola komunikasi dalam
interaksi dapat diterapkan ketika terjadi proses belajar mengajar. Pola
komunikasi dalam pendidikan dapat dilakukan dengan tiga macam, yaitu:
komunikasi sebagai aksi (intraksi searah), komunikasi sebagai interaksi
(interaksi dua arah) dan komunikasi sebagai transaksi (interaksi multiarah).
Tentunya untuk mewujudkan tujuan pendidikan Islam yang maksimal harus digunakan
komunikasi yang transaksi, sehingga suasana belajar menjadi lebih aktif antara
pendidik dan peserta didik, antara peserta didik dan pendidik, dan antar peserta
didik.
3) Memelihara
kemampuan dan kondisi peserta didiknya. Pemberian materi pelajaran harus diukur
dengan kadar kemampuannya.
4) Mengetahui
kepentingan bersama, tidak terfokus pada sebagian peserta didik, misalnya hanya
memprioritaskan anak yang ber-IQ tinggi.
5)
Mempunyai
sifat keadilan, kesucian, dan kesempurnaan.
6)
Ikhlas dalam menjalankan aktifitasnya,
tidak hanya menuntut hal yang diluar kewajibannya.
7)
Dalam
mengajar supaya mengaitkan materi satu dengan materi yang lainnya (menggunakan
pola integrited curriculum)
8)
Memberi
bekal peserta didik dengan ilmu yang mengacu pada masa depan, karena ia
tercipta berbeda dengan zaman yang dialami oleh pendidiknya.
9) Sehat jasmani
dan rohani serta mempunyai kepribadian yang kuat, tanggung jawab, dan mampu
mengatasi problem peserta didik, serta mempunyai rencana yang matang untuk
menatap masa depan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.
d.
Kesimpulan
1.
Pendidik dalam Islam adalah seseorang yang telah matang, yang mampu
mentransfer pengetahuan, menanamkan nilai-nilai keislaman, serta bertanggung
jawab untuk mengembangkan segenap potensi yang dimiliki peserta didik secara
seimbang dan berkesinambungan, hingga nantinya peserta didik mampu menjadi
manusia seutuhnya, dan mampu melakasanakan tugasnya sebagai Khalifah fil
ardhi sebagai wujud keta’atannya pada Allah SWT.
2.
Kedudukan para pendidik dalam Islam sangat dihormati dan
dijunjung tinggi, dimana kedudukannya mendekati kedudukan rasul.
3.
Jenis-jenis pendidik dalam Islam adalah Allah SWT,
Rasulullah SAW, orang tua dan guru.
4.
Kode etik pendidik merupakan norma aturan bagi pendidik
dalam menjalankan tugasnya. Secara garis besar kode etik pendidik dapat kita
bagi menjadi tiga bagian, kode etik yang berhubungan dengan diri pendidik
sendiri, berhubungan dengan peserta didik dan dalam proses belajar mengajar.
Penerapan kode etik sangat penting karena dalam kode etik pendidik, mengandung
implementasi pertanggungjawaban kepada diri sendiri,
peserta
didik, orang tua, masyarakat dan Allah SWT. Pengabaian dalam kode etik ini akan
menurunkan kewibawaan dan kehormatan seorang pendidik.
Daftar Pustaka
Mujib, Abdul, dkk. 2010. Ilmu
Pendidika Islam. Jakarta: Kencana
Tafsir, Ahmad. 1992. Ilmu Pendidikan
Dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya
Darajat, Zakiah. 1980. Kepribadian
Guru. Jakarta: Bulan Bintang
Ramayulis,
2005. Metodologi
Pendidikan Agama Islam, Jakarta : Kalam Mulia.
Rosyadi,
Khoiron. 2004.Pendidikan Profetik, Yogyakarta
: Pustaka Pelajar
Syar’I,
Ahmad. 2005.Filsafat
Pendidikan Islam, Jakarta : Pustaka Firdaus
M. Athiyah al-Abrasyi. 1987.Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam,
terj..Bustami A. Ghani, Jakarta: Bulan Bintang
Prof.
Dr. Abdul Mujib, MAg. dkk. 2010. Ilmu
Pendidikan
Islam. Jakarta:
Kencana
[1]Ahmad ludjito, pemikiran Al-Ghozali tentang pendidikan,Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 1998, hal.63.
[2]
kitab al-Asrar al-Marfu'ah hal.
506
[3]
Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas.The Concept of
Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education.(Kuala Lumpur:
Muslim Youth Movement of Malaysia)
hal. 14
[4]
Ahmad Tafsir, Ilmu
Pendidikan Dalam Perspektif Islam. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), hal.
74-75
[6]
M. Athiyah al-Abrasyi,
Dasar-dasar
Pokok Pendidikan Islam, terj..Bustami A. Ghani, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987),
hal. 135-136
[7]
Asma Hasan Fahmi, Sejarah
dan Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1979), hal. 165-166.
[8] Tadzkirat as-Sâmi' wa al-Mutakallim Fi
Adab al-'Alim wa al-Muta'allim, Ibnu Jama'ah al-Kinâni, Tahqiq as-Sayyid
Muhammad Hasyim an-Nadawi, Cetakan kedua tahun 1416 H, Rimaadi Lin-Nâsyir.
[10]
Q.S. 3: 159
Tidak ada komentar:
Posting Komentar