Sabtu, 02 Januari 2016

HADIST AHKAMI [puasa]




HADIST AHKAMI [puasa]

Di Susun Untuk  Memenuhi Tugas Akhir semester
Mata Kuliah : Hadist Ahkami
Dosen Pengampu : Moh. Dhofir,M.Ag






Disusun oleh :

           SYA’RONI    (111654)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
PROGRAM STUDI TARBIYAH / PAI
TAHUN 2014


HADIST AHKAMI [puasa]
1.      Teks Hadits[1]
حدثنا يحيى بن بكير قال حدثنى الليث عن عقيل عن ابن شهاب قال اخبرنى سالم ان ابن عمر رضي الله عنهما قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : اذا رايتمو فصوموا واذا رايتموه فافطروا فان غم عليكم فاقدرواله.  متفق عليه.
2.      Terjemah Hadits
Telah menceritakan kepada kami yahya bin bakir berkata telah menceritakan kepada saya al-laist  dari uqail bin sihab berkata telah menghabarkan kepada saya salim Dari Ibnu ‘umar r.a, dia berkata : saya pernah mendengar Rasulullah Saw,
bersabda : apabila kamu semua sudah melihat bulan, maka berpuasalah dan apabila kamu sudah melihat bulan berbukalah. Apabila mendung (tidak nampak) bagi kamu, maka hitunglah/kira-kirakan.

3.      Takhrij

     Yahya bin bakir - al laist - uqail bin sihab – Salim –Ibnu Umar –Rosulullah SAW

Hadist muttafaq alaihi (diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari)

 

4.      Makna Lafadznya

                             Dalam hadits menggunakan istilah raitumuuhu yang berasal dari kata ra'a ((رأى yang merupakan salah satu huruf dari af'alul al-yaqin[2], sehingga mempunyai 2 makna bisa berarti melihat dengan ilmu (rukyatul 'ilmi) dan mata (rukyatul bashariyyah). Akan tetapi kalimat ra'a ((رأى di dalam hadits tersebut adalah melihat dengan mata (rukyatul bashariyyah) dikarenakan hanya terdapat satu maf'ul bih (objek) [3]yaitu ra'aitumuu (رَأَيْتُمُوهُ ) sebagai fi'il (kata kerja/verb) dan fa'il (Pelaku/Subjek) sedangkan kalimat huu (رَأَيْتُمُوهُ ) sebagai marf'ul bih (objek). Berbeda dengan kalimat ra'a ((رأى pada sebuah hadits (صَلُّوْا كَمَارَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِيْ ) artinya "Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat"[4] mempunyai dua maf'ul bih (objek) yaitu pada kalimat nii (رَأَيْتُمُوْنِي) sebagai maf'ul bih ke satu dan kalimat ushalli (أُصَلِيْ) sebagai maf'ul bih ke dua, sehingga kalimat ra'a ((رأى  pada hadits tersebut diartikan dengan melihat dengan ilmu (rukyatul 'ilmi) yaitu kita mesti shalat sesuai yang dicontohkan Rasulullah saw di dalam As-Sunnah (Hadits Shahih). Melihat bentuk kata (فاقدرواله) yang artinya maka perkirakanlah, adalah bentuk amar (perintah) yang dalam hal ini juga hadits (sabda Nabi) yang berkedudukan sebagai dalil. Sehingga menggunakan ilmu hisab, berarti pengamalan terhadap ayat al Qur’an dan hadits. Jadi penggunaan hisab itu bukanlah rekaan terhadap urusan agama (bid’ah)
Menurut ahli bahasa Arab, kata faqdurulah berasal dari makna taqdir yaitu tentukanlah bukan perkirakanlah, sebagaimana firman Allah :
فَقَدَرْنَا فَنِعْمَ الْقَادِرُونَ

            Lalu Kami tentukan (bentuknya), maka Kami-lah sebaik-baik yang menentukan.[al-Mursalat/77:23][5]

Kemudian makna ini telah ditafsirkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri melalui perawi hadits diatas yaitu Ibnu Umar dan yang lainnya bahwa makna faqdurullah tersebut adalah menyempurnakan bilangan Sya’ban tiga puluh hari[6], sehingga bila kita mau mengamalkan hadits ini maka harus membawa maknanya kepada hadits yang lain bukan sekedar mendapatkan sesuatu yang dianggap mendukung pendapatnya lalu tidak mau berhujah dengan tafsirnya yang juga berasal dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. sikap yang benar terhadap hadits-hadits seperti ini adalah dengan membawa sesuatu yang muthlak kepada penjelasnya, sehingga makna faqdurullah difahami dengan makna menyempurnakan bulan, barulah kemudian dianggap telah mengamalkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

.
Kemudian seandainya kata
فاقدرواله dalam hadits ini dimaknai kira-kira dengan ilmu hisab, maka hadits ini membolehkannya setelah tidak dapat melihat hilal karena mendung dan sejenisnya, bukan sebelumnya

.
Sedangkan mereka yang menjadikan hisab sebagai standar penentuan awal Ramadhan tidaklah demikian. Tetapi mereka menentukannya jauh sebelum waktu rukyat dan tidak melihat mendung atau cerah keadaan langitnya. Ini jelas menyelisihi sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang berarti satu perbuatan bid’ah yang tidak pernah dilakukan kaum muslimin sebelumnya


Ibnu Mulaqin berkata : Kata فاقدرواله., bila dimaknai dengan menghitungnya dengan hisab manaajil (falak) yang digunakan ahli falak, maka ini pendapat yang sangat lemah sekali. Karena seandainya manusia dibebabkan demikian, tentu menyusahkan mereka, karena tidak mengetahuinya kecuali segelintir orang. Padahal syari’at mengenalkan kepada mereka sesuai dengan sesuatu yang kebanyakan mereka ketahui. Juga karena iklim menurut pendapat mereka (ahli falak) berbeda-beda, dibenarkan satu iklim melihat (dan) yang lain tidak, sehingga membuat perbedaan puasa pada kaum muslimin. Demikian juga seandainya hisab diakui kebenarannya (dalam menentukan awal bulan Ramadhan), tentulah Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menjelaskannya kepada manusia, sebagaimana telah menjelaskan waktu-waktu shalat dan yang lainnya

Dengan demikian pada hadits di atas adalah melihat dengan mata (rukyatul bashariyyah), karena apabila kita lihat lanjutan redaksi hadits tersebut ada kalimat fain ghumma (maka jika terhalang) menunjukkan bahwa dalam hal ini melihat dengan mata, karena yang namanya melihat hilal dengan mata suatu saat akan terhalang seperti salah satunya adalah faktor cuaca yang tidak mendukung dan faktor-faktor lainnya yang sekiranya akan mengganggu penglihatan. Maka Apabila hadits tersebut dimaknai dengan melihat dengan ilmu (rukyatul ilmi), maka sangatlah kurang tepat sebab pertama secara ilmu nahwiyyah kalimat ra'a ((رأى pada hadits tersebut terdapat satu maf'ul bih sehingga dimaknai dengan melihat dengan mata, kemudian yang kedua lanjutan redaksi hadits tersebut terdapat kalimat fain ghumma (maka jika terhalang ) , maka ketika kita menghubungkan pada makna melihat dengan ilmu ini sangat kurang cocok karena yang namanya melihat dengan ilmu dalam hal ini hisab (perhitungan) tidak akan mengalami istilah terhalang sebab perhitungan akan selalu ada hasilnya baik itu benar maupun salah. Maka dapat disimpulkan bahwa cara melihat hilal adalah dengan mata (rukyatul bashariyyah), dan apabila terhalang (fain ghumma) maka disinilah wilayah hisab.
5.      Fiqhul hadist
Untuk menentukan tanggal 1 Ramadlan dan kewajiban puasa, harus melalui proses melihat hilal, begitu juga untuk menentukan 1 Syawwal harus melalui proses melihat hilal. Bila hilal tidak terlihat karena tertutup awan atau terjadinya mendung, maka harus disempurnakan bulan qomariyah menjadi 30 hari. Penentuan masuknya bulan Ramadhan dan Syawwal adalah dengan ru’yah hilāl, atau bisa juga dengan kesaksian orang yang telah menyaksikan hilāl Ramadhan atau Syawwal dan dia telah memiliki ahliyah dalam memberikan kesaksian, atau bisa juga dengan wasilah yang lain  berdasarkan ilmu yaqini atau gholabatidz dzon seperti setelah lengkapnya bulan Sya’ban selama 30 hari untuk penetapan bulan Ramadhan, atau lengkapnya bulan Ramadhan selama 30 hari untuk penentuan bulan Syawwal.[7]
Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “…Al-Mazari mengatakan, Jumhur Fuqaha telah mengarahkan sabda Nabi r : ‘perkirakanlah untuknya’ kepada makna bahwa yang dimaksudkan adalah dengan menyempurnakan hitungan bulan menjadi 30 hari.”[8]]
Di dalam buku Al-Lajnah Ad-Da`imah Lil Buhuts al-’ilmiyah wal ifta’, lebaga fatwa yang diketuai oleh syaikh Abdul Aziz bin Baz, memberikan jawaban berkaitan dengan hal di atas dalam Fatwa nomor 2036 sebagai berikut :
“Bahwa patokan dalam menentukan awal bulan Ramadhan dan berakhirnya adalah berdasarkan ru`yatul hilāl. Karena syari’at Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad r bersifat universal, baku/paten, dan terus berlaku sampai hari kiamat.
Juga bahwasanya Allah Ta’ala Maha Tahu apa yang telah terjadi dan juga Maha Tahu apa yang akan terjadi, termasuk adanya kemajuan ilmu falak dan ilmu-ilmu lainnya (seiring berjalannya waktu). Walaupun demikian halnya Allah telah berfirman :
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Barangsiapa di antara kalian yang melihat hilāl bulan (Ramadhan) maka berpuasalah”.
Dan Rasulullah telah menjelaskannya pula dengan sabda beliau :
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
“Berpuasalah kalian berdasarkan ru`yatul hilāl dan ber’Idul Fithrilah berdasarkan ru`yatul hilāl “.
Maka Allah mengaitkan puasa bulan Ramadhan dan ‘Idul Fithri dengan cara ru`yatul hilāl, dan Allah tidak mengaitkannya dengan mengetahui bulan Ramadhan berdasarkan Hisab Astronomi (ilmu falak). Padahal Allah Ta’ala Maha Tahu bahwa para ahli falak akan mencapai kemajuan dalam ilmu hisab astronomi mereka dan ketepatan dalam menentukan peredaran bintang-bintang.
 Maka wajib atas kaum muslimin untuk kembali kepada syari’at yang Allah tetapkan atas mereka melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu dalam urusan berpuasa dan berbuka tetap berpegang pada cara ru`yatul hilāl, karena yang demikan itu telah menjadi ijma’ ahlul ilmi. Barangsiapa menyelisihi yang demikian itu dan meyakini kebenaran Hisab Astronomi (falak), maka pendapatnya syadz dan tidak bisa dipercaya.”
Ø  Dalam kitab Fathul Qodir fiqh madzhab Hanafi pada jilid ke 4 hal 291 dijelaskan[9]:
وَإِذَا ثَبَتَ فِي مِصْرَ لَزِمَ سَائِرَ النَّاسِ فَيَلْزَمُ أَهْلَ الْمَشْرِقِ بِرُؤْيَةِ أَهْلِ الْمَغْرِبِ فِي ظَاهِرِ الْمَذْهَبِ
"Apabila telah ditetapkan bahwa hilal telah terlihat di sebuah kota, maka wajib hukumnya penduduk yang tinggal di belahan bumi Timur untuk mengikuti ketetapan ru'yah yang telah diambil kaum muslimin yang berada di belahan bumi Barat".
Dalam ta'bir di atas telah dijelaskan bahwa wajib hukumnya bagi umat Islam yang tinggal di daerah Timur untuk mengikuti ketetapan ru'yah yang telah diambil oleh kaum muslimin di wilayah Barat. Dan sebaliknya, apabila mereka yang tinggal di wilayah Timur terlebih dahulu telah melihat dan menetapkannya, maka kewajibannya lebih utama karena secara otomatis umat Islam bagian Timur terlebih dahulu melihat hilal dari pada mereka yang tinggal di Barat.
Ø  Dalam kita Furu' Milik ibn Muflih fiqh madzhab Hambali juz 4 hal 426 disebutkan[10]:
َإِنْ ثَبَتَتْ رُؤْيَتُهُ بِمَكَانٍ قَرِيبٍ أَوْ بَعِيدٍ لَزِمَ جَمِيعَ الْبِلَادِ الصَّوْمُ ، وَحُكْمُ مَنْ لَمْ يَرَهُ كَمَنْ رَآهُ وَلَوْ اخْتَلَفَتْ الْمَطَالِعُ
"Apabila bulan telah terlihat dalam suatu tempat, baik jaraknya dekat atau jauh dari wilayah lain, maka wajib seluruh wilayah untuk berpuasa mengikuti ru'yah wilayah tersebut. Hukum ini juga berlaku bagi mereka yang tidak melihatnya sepertihalnya mereka yang melihatnya secara langsung, dan perbedaan wilayah terbit bukanlah penghalang dalam penerapan hukum ini"
Ø  Dalam kitab Mawahib Jalil fi Syarh Mukhtashor Syaikh Kholil juz 6 hal 396 dijelaskan[11]:
أَمَّا سَبَبُهُ أَيْ الصَّوْمِ فَاثْنَانِ الْأَوَّلُ : رُؤْيَةُ الْهِلَالِ وَتَحْصُلُ بِالْخَبَرِ الْمُنْتَشِرِ
"Adapun sebab diwajibkannya puasa ada dua, yang pertama: terlihatnya bulan, dengan syarat ru'yahnya melalui kabar yang sudah tersebar luas."
Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa penetapan bulan Ramadhan hanya ditetapkan dengan terlihatnya bulan tanpa disebutkan adanya syarat-syarat lain untuk diterimanya ru'yah ini, yaitu diantaranya tanpa dengan menyebutkan ketentuan perbedaan terbitnya bulan pada wilayah yang berjauhan (ikhtilaf matholi').


KESIMPULAN
Dariu beberapa pemaparan yang penulis susun dalam karya tulis ini, maka dapat kita ambil kesimpulan pokok, yang setidaknya merangkum keseluruhan dan pembahasan yang telah lalu agar dapat mengambil inti sari dan mempermudah pemahaman diantaranya ialah sebagaiu berikut :
1. Hilal adalah penampakan bulan dengan mata telanjang yang paling awal terlihat menghadap bumi setelah bulan mengalami konjungsi.
2. Berdasarkan hadits-hadits yang tertera didalam pembahasan bahwa dalam menentukan hilal hal yang pertama dilakukan adalah rukyatul bashariyyah (mengamati dengan mata) bukan rukyatul ilmi (mengamati dengan ilmu), sehingga apabila terhalang karena beberapa faktor, maka sempurnakan bilangan bulan tersebut menjadi 30 hari.
3. Adapun fungsi Hisab hanya menentukan kapan dan dimana kita harus merukyat yang sekiranya dapat memungkinkan untuk dirukyat.
4. Perbedaan terjadi bukan karena perbedaan hisab dan rukyat, akan tetapi dikarenakan perbedaan kriteria awal bulan yang digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
Abi abdillah bin ismail Al Bukhori. Hadist al bukhorimaktabah alawiyah semarang
 (Syeikh Al-Musthafa Al-Ghulayaini,(2007), Kitab jami'u ad-duruus al-arabiyyah,Beirut: Darul al-Fiqr)
Syeikh Al-Musthafa Al-Ghulayaini,(2007), Kitab jami'u ad-duruus al-arabiyyah,Beirut: Darul al-Fiqr
Abu Abdillah al- hattab,kitab Mawahib Jalil fi Syarh Mukhtashor Syaikh Kholil,Darul Hadist

            Ibnu Al Mulaqqin Al Syafi’i, Al I’laam Bi Fawaa’id Umdat Al Ahkam, tahqiq Abdulaziz Ahmad Al Musyaiqih, cetakan pertama tahun 1417 H, Dar Al ‘Ashimah, KSA

            Imam Muhammad bin ali bin Muhammad Asyaukani,kitab fathul qodirAl-jami’ baina fannairRiwayah waddiroyah mint ilmittafsir(2007), beirut: lebanon darul al-ma’rifah

            Syaikh muhammad bin muflih al-Maqdisi, al-furu’,baitul Afkar

Assayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin umar ba’alawi(1997),Bughyatul Mustarsyidin,Beirut: Darul al-Fiqr


[1] Abi abdillah bin ismail Al Bukhori. Hadist al bukhori. Juz 1 hal 325 maktabah alawiyah semarang
[2]  Af'alul yaqin yaitu yang menashabkan dua maf'ul bih (objek), dan merupakan salah satu bagian dari pembagian muta'adi ila maf'ulaini ( yang membutuhkan 2 maf'ul bih). (Syeikh Al-Musthafa Al-Ghulayaini,(2007), Kitab jami'u ad-duruus al-arabiyyah,Beirut: Darul al-Fiqr.hlm : 24-25)
[3] ]Syeikh Al-Musthafa Al-Ghulayaini,(2007), Kitab jami'u ad-duruus al-arabiyyah,Beirut: Darul al-Fiqr.hlm : 24-25
[4] HR. Bukhari, Muslim, Ahmad

                [5]  Lihat Ibnu Al Mulaqqin Al Syafi’i, Al I’laam Bi Fawaa’id Umdat Al Ahkam, tahqiq Abdulaziz Ahmad Al Musyaiqih, cetakan pertama tahun 1417 H, Dar Al ‘Ashimah, KSA. Hal 5/17


[6] Lihat rubrik mabhas Menentukan Ramadhan


[7]  Ash-Shiyamu wa Ramadhan fi as-Sunnah wa al-Qur’an, Abdur Rahman Khabannakah al-Maidani. Damsyiq, Darul Qolam. cet : 1, 1407 H/ 1987 M. Hal : 85. Akhkam ash-Shiyam wa Falsafatuhu Fi Dhou’i al-Qur’an wa as-Sunnah, DR Mushtofa as-Siba’i. Damsyiq, al-Maktab al-Islamy. Cet : 3, 1397 H. hal : 23. Akhadits ash-Shiyam Ahkam wa Adab, Abdullah bin Sholih al-Fauzan. Riyadh, Darul Muslim cet : 4 1422 H/ 2001 M. hal :9
[8]  Shahiih Muslim bi Syarh an-Nawawi : 7/189
[9] kitab Fathul Qodir fiqh madzhab Hanafi pada jilid ke 4 hal 291
[10] Furu' Milik ibn Muflih fiqh madzhab Hambali juz 4 hal 426
[11] kitab Mawahib Jalil fi Syarh Mukhtashor Syaikh Kholil juz 6 hal 396 dijelaskan:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar