HADIST AHKAMI [puasa]
Di Susun Untuk Memenuhi
Tugas Akhir semester
Mata Kuliah : Hadist Ahkami
Dosen Pengampu : Moh. Dhofir,M.Ag
Disusun oleh :
SYA’RONI (111654)
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
PROGRAM
STUDI TARBIYAH / PAI
TAHUN
2014
HADIST AHKAMI [puasa]
1. Teks Hadits[1]
حدثنا يحيى بن بكير قال
حدثنى الليث عن عقيل عن ابن شهاب قال اخبرنى سالم ان ابن عمر رضي الله عنهما قال :
سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : اذا رايتمو فصوموا واذا رايتموه فافطروا
فان غم عليكم فاقدرواله. متفق عليه.
2. Terjemah Hadits
Telah menceritakan kepada kami yahya bin bakir berkata telah menceritakan
kepada saya al-laist dari uqail bin
sihab berkata telah menghabarkan kepada saya salim Dari Ibnu ‘umar r.a, dia
berkata : saya pernah mendengar Rasulullah Saw,
bersabda : apabila kamu semua sudah melihat bulan, maka berpuasalah dan
apabila kamu sudah melihat bulan berbukalah. Apabila mendung (tidak nampak)
bagi kamu, maka hitunglah/kira-kirakan.
3.
Takhrij
Yahya bin bakir - al laist - uqail bin sihab – Salim –Ibnu Umar –Rosulullah SAW
Hadist muttafaq alaihi (diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari)
4. Makna Lafadznya
Dalam
hadits menggunakan istilah raitumuuhu yang berasal dari kata ra'a ((رأى yang
merupakan salah satu huruf dari af'alul al-yaqin[2],
sehingga mempunyai 2 makna bisa berarti melihat dengan ilmu (rukyatul
'ilmi) dan mata (rukyatul bashariyyah). Akan tetapi kalimat ra'a ((رأى di
dalam hadits tersebut adalah melihat dengan mata (rukyatul bashariyyah)
dikarenakan hanya terdapat satu maf'ul bih (objek) [3]yaitu ra'aitumuu
(رَأَيْتُمُوهُ ) sebagai fi'il (kata
kerja/verb) dan fa'il (Pelaku/Subjek) sedangkan kalimat huu (رَأَيْتُمُوهُ ) sebagai marf'ul bih (objek).
Berbeda dengan kalimat ra'a ((رأى pada sebuah hadits (صَلُّوْا
كَمَارَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِيْ )
artinya "Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat"[4]
mempunyai dua maf'ul bih (objek) yaitu pada kalimat nii (رَأَيْتُمُوْنِي) sebagai maf'ul bih ke satu
dan kalimat ushalli (أُصَلِيْ) sebagai maf'ul bih
ke dua, sehingga kalimat ra'a ((رأى pada hadits tersebut diartikan dengan melihat
dengan ilmu (rukyatul 'ilmi) yaitu kita mesti shalat sesuai yang dicontohkan
Rasulullah saw di dalam As-Sunnah (Hadits Shahih). Melihat bentuk kata (فاقدرواله) yang
artinya maka perkirakanlah, adalah bentuk amar (perintah) yang dalam hal ini
juga hadits (sabda Nabi) yang berkedudukan sebagai dalil. Sehingga menggunakan
ilmu hisab, berarti pengamalan terhadap ayat al Qur’an dan hadits. Jadi
penggunaan hisab itu bukanlah rekaan terhadap urusan agama (bid’ah)
Menurut ahli bahasa Arab, kata faqdurulah berasal dari makna taqdir yaitu
tentukanlah bukan perkirakanlah, sebagaimana firman Allah :
فَقَدَرْنَا
فَنِعْمَ الْقَادِرُونَ
Lalu Kami
tentukan (bentuknya), maka Kami-lah sebaik-baik yang
menentukan.[al-Mursalat/77:23][5]
Kemudian makna ini telah ditafsirkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam sendiri melalui perawi hadits diatas yaitu Ibnu Umar dan yang lainnya
bahwa makna faqdurullah tersebut adalah menyempurnakan bilangan Sya’ban tiga
puluh hari[6],
sehingga bila kita mau mengamalkan hadits ini maka harus membawa maknanya
kepada hadits yang lain bukan sekedar mendapatkan sesuatu yang dianggap
mendukung pendapatnya lalu tidak mau berhujah dengan tafsirnya yang juga berasal
dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. sikap yang benar terhadap
hadits-hadits seperti ini adalah dengan membawa sesuatu yang muthlak kepada
penjelasnya, sehingga makna faqdurullah difahami dengan makna menyempurnakan
bulan, barulah kemudian dianggap telah mengamalkan hadits Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam
.
Kemudian seandainya kata فاقدرواله dalam hadits ini dimaknai kira-kira
dengan ilmu hisab, maka hadits ini membolehkannya setelah tidak dapat melihat
hilal karena mendung dan sejenisnya, bukan sebelumnya
.
Sedangkan mereka yang menjadikan hisab sebagai standar penentuan awal Ramadhan
tidaklah demikian. Tetapi mereka menentukannya jauh sebelum waktu rukyat dan
tidak melihat mendung atau cerah keadaan langitnya. Ini jelas menyelisihi sunnah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang berarti satu perbuatan bid’ah
yang tidak pernah dilakukan kaum muslimin sebelumnya
Ibnu Mulaqin berkata : Kata فاقدرواله., bila dimaknai dengan menghitungnya
dengan hisab manaajil (falak) yang digunakan ahli falak, maka ini pendapat yang
sangat lemah sekali. Karena seandainya manusia dibebabkan demikian, tentu
menyusahkan mereka, karena tidak mengetahuinya kecuali segelintir orang.
Padahal syari’at mengenalkan kepada mereka sesuai dengan sesuatu yang kebanyakan
mereka ketahui. Juga karena iklim menurut pendapat mereka (ahli falak)
berbeda-beda, dibenarkan satu iklim melihat (dan) yang lain tidak, sehingga
membuat perbedaan puasa pada kaum muslimin. Demikian juga seandainya hisab
diakui kebenarannya (dalam menentukan awal bulan Ramadhan), tentulah Allah
Subhanahu wa Ta'ala akan menjelaskannya kepada manusia, sebagaimana telah
menjelaskan waktu-waktu shalat dan yang lainnya
Dengan demikian pada hadits di atas adalah melihat dengan mata (rukyatul
bashariyyah), karena apabila kita lihat lanjutan redaksi hadits tersebut ada
kalimat fain ghumma (maka jika terhalang) menunjukkan bahwa dalam hal
ini melihat dengan mata, karena yang namanya melihat hilal dengan mata suatu
saat akan terhalang seperti salah satunya adalah faktor cuaca yang tidak
mendukung dan faktor-faktor lainnya yang sekiranya akan mengganggu penglihatan.
Maka Apabila hadits tersebut dimaknai dengan melihat dengan ilmu (rukyatul
ilmi), maka sangatlah kurang tepat sebab pertama secara ilmu nahwiyyah kalimat
ra'a ((رأى pada hadits tersebut terdapat satu maf'ul bih
sehingga dimaknai dengan melihat dengan mata, kemudian yang kedua lanjutan
redaksi hadits tersebut terdapat kalimat fain ghumma (maka jika
terhalang ) , maka ketika kita menghubungkan pada makna melihat dengan ilmu ini
sangat kurang cocok karena yang namanya melihat dengan ilmu dalam hal ini hisab
(perhitungan) tidak akan mengalami istilah terhalang sebab perhitungan akan
selalu ada hasilnya baik itu benar maupun salah. Maka dapat disimpulkan bahwa
cara melihat hilal adalah dengan mata (rukyatul bashariyyah), dan apabila
terhalang (fain ghumma) maka disinilah wilayah hisab.
5. Fiqhul hadist
Untuk
menentukan tanggal 1 Ramadlan dan kewajiban puasa, harus melalui proses melihat
hilal, begitu juga untuk menentukan 1 Syawwal harus melalui proses melihat
hilal. Bila hilal tidak terlihat karena tertutup awan atau terjadinya mendung,
maka harus disempurnakan bulan qomariyah menjadi 30 hari. Penentuan masuknya bulan Ramadhan dan
Syawwal adalah dengan ru’yah hilāl, atau bisa juga dengan kesaksian orang yang
telah menyaksikan hilāl Ramadhan atau Syawwal dan dia telah memiliki ahliyah
dalam memberikan kesaksian, atau bisa juga dengan wasilah yang lain
berdasarkan ilmu yaqini atau gholabatidz dzon seperti setelah
lengkapnya bulan Sya’ban selama 30 hari untuk penetapan bulan Ramadhan, atau
lengkapnya bulan Ramadhan selama 30 hari untuk penentuan bulan Syawwal.[7]
Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “…Al-Mazari mengatakan, Jumhur
Fuqaha telah mengarahkan sabda Nabi r : ‘perkirakanlah untuknya’ kepada makna
bahwa yang dimaksudkan adalah dengan menyempurnakan hitungan bulan menjadi 30
hari.”[8]]
Di dalam buku Al-Lajnah Ad-Da`imah Lil
Buhuts al-’ilmiyah wal ifta’, lebaga fatwa yang diketuai oleh syaikh Abdul Aziz
bin Baz, memberikan jawaban berkaitan dengan hal di atas dalam Fatwa nomor 2036
sebagai berikut :
“Bahwa patokan dalam menentukan awal bulan
Ramadhan dan berakhirnya adalah berdasarkan ru`yatul hilāl. Karena syari’at
Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad r bersifat universal, baku/paten, dan
terus berlaku sampai hari kiamat.
Juga bahwasanya Allah Ta’ala Maha Tahu apa
yang telah terjadi dan juga Maha Tahu apa yang akan terjadi, termasuk adanya
kemajuan ilmu falak dan ilmu-ilmu lainnya (seiring berjalannya waktu). Walaupun
demikian halnya Allah telah berfirman :
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ
فَلْيَصُمْهُ
“Barangsiapa di antara kalian yang melihat hilāl bulan
(Ramadhan) maka berpuasalah”.
Dan Rasulullah telah menjelaskannya pula dengan sabda
beliau :
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
“Berpuasalah kalian berdasarkan ru`yatul hilāl dan
ber’Idul Fithrilah berdasarkan ru`yatul hilāl “.
Maka Allah mengaitkan puasa bulan Ramadhan dan ‘Idul
Fithri dengan cara ru`yatul hilāl, dan Allah tidak mengaitkannya dengan
mengetahui bulan Ramadhan berdasarkan Hisab Astronomi (ilmu falak). Padahal
Allah Ta’ala Maha Tahu bahwa para ahli falak akan mencapai kemajuan dalam ilmu
hisab astronomi mereka dan ketepatan dalam menentukan peredaran
bintang-bintang.
Maka wajib atas kaum muslimin untuk kembali
kepada syari’at yang Allah tetapkan atas mereka melalui lisan Rasul-Nya
shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu dalam urusan berpuasa dan berbuka tetap
berpegang pada cara ru`yatul hilāl, karena yang demikan itu telah menjadi ijma’
ahlul ilmi. Barangsiapa menyelisihi yang demikian itu dan meyakini kebenaran
Hisab Astronomi (falak), maka pendapatnya syadz dan tidak bisa dipercaya.”
Ø
Dalam kitab Fathul Qodir fiqh madzhab Hanafi pada jilid ke 4 hal 291
dijelaskan[9]:
وَإِذَا ثَبَتَ فِي مِصْرَ لَزِمَ سَائِرَ النَّاسِ فَيَلْزَمُ أَهْلَ
الْمَشْرِقِ بِرُؤْيَةِ أَهْلِ الْمَغْرِبِ فِي ظَاهِرِ الْمَذْهَبِ
"Apabila telah ditetapkan bahwa hilal telah terlihat di sebuah
kota, maka wajib hukumnya penduduk yang tinggal di belahan bumi Timur untuk
mengikuti ketetapan ru'yah yang telah diambil kaum muslimin yang berada di
belahan bumi Barat".
Dalam ta'bir di atas telah dijelaskan bahwa wajib hukumnya bagi umat Islam
yang tinggal di daerah Timur untuk mengikuti ketetapan ru'yah yang telah
diambil oleh kaum muslimin di wilayah Barat. Dan sebaliknya, apabila mereka
yang tinggal di wilayah Timur terlebih dahulu telah melihat dan menetapkannya,
maka kewajibannya lebih utama karena secara otomatis umat Islam bagian Timur
terlebih dahulu melihat hilal dari pada mereka yang tinggal di Barat.
Ø
Dalam kita Furu' Milik ibn Muflih fiqh madzhab Hambali juz 4 hal 426
disebutkan[10]:
َإِنْ ثَبَتَتْ
رُؤْيَتُهُ بِمَكَانٍ قَرِيبٍ أَوْ بَعِيدٍ لَزِمَ جَمِيعَ الْبِلَادِ الصَّوْمُ ،
وَحُكْمُ مَنْ لَمْ يَرَهُ كَمَنْ رَآهُ وَلَوْ اخْتَلَفَتْ الْمَطَالِعُ
"Apabila bulan telah terlihat dalam suatu tempat, baik jaraknya
dekat atau jauh dari wilayah lain, maka wajib seluruh wilayah untuk berpuasa
mengikuti ru'yah wilayah tersebut. Hukum ini juga berlaku bagi mereka yang
tidak melihatnya sepertihalnya mereka yang melihatnya secara langsung, dan
perbedaan wilayah terbit bukanlah penghalang dalam penerapan hukum ini"
Ø
Dalam kitab Mawahib Jalil fi Syarh Mukhtashor Syaikh Kholil juz 6
hal 396 dijelaskan[11]:
أَمَّا سَبَبُهُ أَيْ الصَّوْمِ فَاثْنَانِ الْأَوَّلُ : رُؤْيَةُ الْهِلَالِ
وَتَحْصُلُ بِالْخَبَرِ الْمُنْتَشِرِ
"Adapun sebab diwajibkannya puasa ada dua, yang pertama:
terlihatnya bulan, dengan syarat ru'yahnya melalui kabar yang sudah tersebar
luas."
Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa penetapan bulan Ramadhan
hanya ditetapkan dengan terlihatnya bulan tanpa disebutkan adanya syarat-syarat
lain untuk diterimanya ru'yah ini, yaitu diantaranya tanpa dengan menyebutkan
ketentuan perbedaan terbitnya bulan pada wilayah yang berjauhan (ikhtilaf
matholi').
KESIMPULAN
Dariu beberapa pemaparan yang penulis susun dalam karya tulis ini, maka
dapat kita ambil kesimpulan pokok, yang setidaknya merangkum keseluruhan dan
pembahasan yang telah lalu agar dapat mengambil inti sari dan mempermudah
pemahaman diantaranya ialah sebagaiu berikut :
1. Hilal adalah penampakan
bulan dengan mata telanjang yang paling awal terlihat menghadap bumi setelah
bulan mengalami konjungsi.
2. Berdasarkan
hadits-hadits yang tertera didalam pembahasan bahwa dalam menentukan hilal hal
yang pertama dilakukan adalah rukyatul bashariyyah (mengamati dengan mata)
bukan rukyatul ilmi (mengamati dengan ilmu), sehingga apabila terhalang karena
beberapa faktor, maka sempurnakan bilangan bulan tersebut menjadi 30 hari.
3. Adapun fungsi Hisab hanya menentukan kapan dan dimana kita harus
merukyat yang sekiranya dapat memungkinkan untuk dirukyat.
4. Perbedaan terjadi bukan karena perbedaan hisab dan rukyat, akan tetapi
dikarenakan perbedaan kriteria awal bulan yang digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
Abi abdillah bin ismail Al Bukhori. Hadist
al bukhorimaktabah alawiyah semarang
(Syeikh
Al-Musthafa Al-Ghulayaini,(2007), Kitab jami'u ad-duruus al-arabiyyah,Beirut:
Darul al-Fiqr)
Syeikh
Al-Musthafa Al-Ghulayaini,(2007), Kitab jami'u ad-duruus al-arabiyyah,Beirut:
Darul al-Fiqr
Abu Abdillah al-
hattab,kitab Mawahib Jalil fi Syarh Mukhtashor Syaikh Kholil,Darul
Hadist
Ibnu Al Mulaqqin Al Syafi’i, Al I’laam Bi Fawaa’id Umdat Al Ahkam, tahqiq Abdulaziz Ahmad Al Musyaiqih, cetakan pertama tahun 1417 H, Dar Al ‘Ashimah, KSA
Imam Muhammad bin ali bin Muhammad Asyaukani,kitab fathul qodirAl-jami’ baina fannairRiwayah waddiroyah mint ilmittafsir(2007), beirut: lebanon darul al-ma’rifah
Syaikh muhammad bin muflih al-Maqdisi, al-furu’,baitul Afkar
Assayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin umar
ba’alawi(1997),Bughyatul Mustarsyidin,Beirut: Darul
al-Fiqr
[2] Af'alul yaqin yaitu
yang menashabkan dua maf'ul bih (objek), dan merupakan salah satu bagian dari
pembagian muta'adi ila maf'ulaini ( yang membutuhkan 2 maf'ul bih). (Syeikh
Al-Musthafa Al-Ghulayaini,(2007), Kitab jami'u ad-duruus al-arabiyyah,Beirut:
Darul al-Fiqr.hlm : 24-25)
[3] ]Syeikh
Al-Musthafa Al-Ghulayaini,(2007), Kitab jami'u ad-duruus al-arabiyyah,Beirut:
Darul al-Fiqr.hlm : 24-25
[4] HR. Bukhari, Muslim, Ahmad
[5] Lihat Ibnu Al Mulaqqin Al Syafi’i, Al I’laam Bi Fawaa’id Umdat Al Ahkam, tahqiq Abdulaziz Ahmad Al Musyaiqih, cetakan pertama tahun 1417 H, Dar Al ‘Ashimah, KSA. Hal 5/17
[6] Lihat rubrik mabhas Menentukan Ramadhan
[7]
Ash-Shiyamu wa Ramadhan fi as-Sunnah wa al-Qur’an, Abdur Rahman
Khabannakah al-Maidani. Damsyiq, Darul Qolam. cet : 1, 1407 H/ 1987 M. Hal :
85. Akhkam ash-Shiyam wa Falsafatuhu Fi Dhou’i al-Qur’an wa as-Sunnah, DR
Mushtofa as-Siba’i. Damsyiq, al-Maktab al-Islamy. Cet : 3, 1397 H. hal : 23.
Akhadits ash-Shiyam Ahkam wa Adab, Abdullah bin Sholih al-Fauzan. Riyadh, Darul
Muslim cet : 4 1422 H/ 2001 M. hal :9
[8] Shahiih Muslim bi Syarh an-Nawawi : 7/189
[9]
kitab Fathul Qodir fiqh madzhab
Hanafi pada jilid ke 4 hal 291
Tidak ada komentar:
Posting Komentar