Memang cuaca di bulan Agustus 2007 siang
itu begitu teriknya. Aku pikir ini akibat cuaca yang terik itu.
Kemudian aku sarankan dia untuk segera ke dokter. Beberapa hari kemudian
istriku sakit pilek. Seperti biasanya kalau sakit ia hanya minum obat
warung dan jarang sekali mau periksa ke dokter. “ oalah bunda…. ke
dokter ajah kok takut,” ledekku, ku sorong pipi kenyalnya dengan ujung
jari, ia merajuk bibirnya maju 2 centi, lucu melihatnya seperti itu.
Dua minggu berselang tapi pileknya belum
juga hilang. Malah katanya ada yang terasa menyumbat di saluran
hidungnya, rasanya tak nyaman dan susah bernafas. “Bun… besok kita ke
Rumah Sakit ya! biar ayah ijin masuk siang,” rayuku agar ia mau ke Rumah
sakit.
Keesokan harinya saya ajak ia ke RS.
Bhakti Yudha Depok. Saat itu dokter THT bilang istriku alergi pada debu
dan juga bulu-bulu binatang. Tapi sampai obatnya habis pileknya belum
juga ada tanda-tanda kesembuhan.
Anehnya yang sering keluar lendir hanya
hidung sebelah kiri saja. Bahkan istriku mulai susah bernafas melalui
hidung, ia hanya bisa bernafas melalui mulut. Dan ketika saya membawanya
periksa untuk kedua kalinya dokter menyarankan untuk rontgen. Namun
dari hasil rontgen tidak terlihat adanya kelainan apapun di hidung
istriku.
***
Tanggal 3 Nov 2007 …
Aku mengajaknya periksa ke RS Proklamasi Jakarta, karena menurut informasi di sini peralatanya lebih lengkap. Ternyata benar, dengan alat penyedot dokter mengeluarkan lendir dari dalam hidung istriku. Senang rasanya melihat ia dapat bernafas dengan lega. “Alhamdulillah…..”
Beberapa hari kemudian sumbatan itu kembali muncul. “Duh..bunda!” Kontrol kedua ke RS. Proklamasi masih saja dokter belum bisa menyampaikan penyakit apa yang dialami istriku ini.
Aku mengajaknya periksa ke RS Proklamasi Jakarta, karena menurut informasi di sini peralatanya lebih lengkap. Ternyata benar, dengan alat penyedot dokter mengeluarkan lendir dari dalam hidung istriku. Senang rasanya melihat ia dapat bernafas dengan lega. “Alhamdulillah…..”
Beberapa hari kemudian sumbatan itu kembali muncul. “Duh..bunda!” Kontrol kedua ke RS. Proklamasi masih saja dokter belum bisa menyampaikan penyakit apa yang dialami istriku ini.
Dokter memasukkan kapas basah ke hidung
istriku (ternyata itu adalah bius lokal), beberapa saat kemudian sebuah
gunting kecil dimasukkan kedalam hidung dan.. “krek” potongan daging
kecil diambil. Belakangan baru aku tau tindakan inilah yang dinamakan
biopsi. Tak ada yang disampaikan kepada kami. Dokter menyarankan
dilakukan CT Scan. Kemudian kami menuju ke RSCM untuk CT Scan.
Keesokan harinya hasil CT Scan aku bawa
kembali ke Dokter RS Proklamasi. Setelah melihat hasil Scan, Dokterpun
menyampaikan hasilnya dan juga hasil biopsi dari laboratorium.
“ini ibu positif,” kata dokter sambil menunjukkan foto CT Scan. Nampak ada sebuah massa diantara belakang hidung dan tenggorokan istriku. Cukup besar seukuran kepalan tangan. Aku masih belum mengerti maksud kata-kata nya dan memang sama sekali tak ada pikiran yang aneh aku coba bertanya, “maksudnya apa dok?”
“ini ibu positif,” kata dokter sambil menunjukkan foto CT Scan. Nampak ada sebuah massa diantara belakang hidung dan tenggorokan istriku. Cukup besar seukuran kepalan tangan. Aku masih belum mengerti maksud kata-kata nya dan memang sama sekali tak ada pikiran yang aneh aku coba bertanya, “maksudnya apa dok?”
“ibu positif kanker!”
Dek.. seolah detak jantungku berhenti “KANKER…Dok?”
Tiba-tiba mataku jadi gelap, sebuah
beban berat serasa menindih badanku. Aku diam dan tak bisa berkata
apa-apa, lama aku terdiam.
“Kanker..?” tanyaku,
tapi kalimat itu tak mampu terucap hanya
bersarang di kepalaku. Sebuah penyakit yang selama ini hanya aku kenal
lewat informasi dan berita-berita, kini penyakit itupun menghampiri
orang terdekatku orang yang paling aku sayangi. Penyakit yang menakutkan
itu menyerang istriku.
Kutatap wajah cantik istriku yang dibalut jilbab favoritnya, tenang.. teduh… tak ada ekspresi apa-apa aku makin bingung.
Kutatap wajah cantik istriku yang dibalut jilbab favoritnya, tenang.. teduh… tak ada ekspresi apa-apa aku makin bingung.
“duhh…bunda apa yang ada dalam fikiranmu bunda…”
“Sekarang bapak ke RSCM ke bagian Radiologi kita harus bertindak cepat,”
tiba-tiba aku tersadar. Segera kuambil surat pengantar dokter dan menuju RSCM.
Sungguh tak pernah terpikirkan sedikitpun sebelumnya, kini kami berada dalam deretan orang-orang penderita kanker di ruang tunggu spesialis Radiologi ini. Aroma kecemasan bahkan keputus asaan tergambar di wajah mereka. Sebenarnya ini juga saya rasakan, tapi saya harus menyembunyikan raut ini di hadapan istriku. Aku harus tetap menyuguhkan energi penyemangat padanya.
Sungguh tak pernah terpikirkan sedikitpun sebelumnya, kini kami berada dalam deretan orang-orang penderita kanker di ruang tunggu spesialis Radiologi ini. Aroma kecemasan bahkan keputus asaan tergambar di wajah mereka. Sebenarnya ini juga saya rasakan, tapi saya harus menyembunyikan raut ini di hadapan istriku. Aku harus tetap menyuguhkan energi penyemangat padanya.
Dihadapan dokter Radiologi aku bertanya, “sebenarnya istriku kena kanker apa dok?”
“kanker nasofaring.” jawab dokter singkat.
Ya Allah….kanker apa lagi ini? Istilahnya saja aneh bagiku. Kenapa harus istriku yang mengalaminya?
“Tapi Insya Allah masih bisa disembuhkan dengan pengobatan sinar radiasi dan kemoterapy,” dokter mencoba menangkap kegalauan diwajahku.
“Nanti ibu harus menjalani pengobatan radiasi selama 25 kali.”
“kanker nasofaring.” jawab dokter singkat.
Ya Allah….kanker apa lagi ini? Istilahnya saja aneh bagiku. Kenapa harus istriku yang mengalaminya?
“Tapi Insya Allah masih bisa disembuhkan dengan pengobatan sinar radiasi dan kemoterapy,” dokter mencoba menangkap kegalauan diwajahku.
“Nanti ibu harus menjalani pengobatan radiasi selama 25 kali.”
Terbayang beratnya derita dan kelelahan
yang harus dialami istriku. Belum lagi dengan kombinasi pengobatan
kemoterapy yang melemahkan fisik. Keluar dari ruang radiologi seolah
semuanya jadi gelap, rasanya aku tak kuat menahan segala beban ini.
Segera aku sms family dan teman-teman dekatku, aku kabarkan keadaan
istriku dan kumintakan do’a dari mereka. Tak terasa bulir-bulir bening
air mata bermunculan disudut mataku.
“Ayah kenapa? nangis yach..?” dengan polos pertanyaan itu keluar dari bibir istriku.
“iya, ayah sayaaang…. sama bunda,” suaraku gemetar.
Ku usap lembut kepala istriku. Ku tepis
perlahan tangannya yang mencoba mengusap air mataku, ku gengggam kuat
jari-jari lemahnya. Hatiku berbisik “kenapa tak ada kesedihan diwajahmu
bunda? apakah bunda ga tau penyakit ini begitu berbahaya? Atau Allah
telah memberitahukan ini semua kepadamu?”
“Bunda biasa ajah koq..” Jawabanya malah makin membuatku tak bisa bernafas, air mataku akhirnya jatuh juga.
Kususuri lorong-lorong RSCM dengan
langkah lemas tak bertenaga seolah aku melayang, tulang-tulang terasa
tak mampu menyangga badanku yang kecil ini.
Tanggal 5 Desember 2007 …
Mulai hari itu istriku harus dirawat inap di RS. Proklamasi. Semua persiapanpun dilakukan mulai dari USG, Bond Scan dll. Hasilnya rahim masih bersih dan tulangpun normal artinya kankernya belum mejalar ke bagian lain, Alhamdulillah…sempat kuucap kata syukur itu.
Mulai hari itu istriku harus dirawat inap di RS. Proklamasi. Semua persiapanpun dilakukan mulai dari USG, Bond Scan dll. Hasilnya rahim masih bersih dan tulangpun normal artinya kankernya belum mejalar ke bagian lain, Alhamdulillah…sempat kuucap kata syukur itu.
Tanggal 8 Desember 2007 …
Hari ke empat. Sore itu aku dipanggil ke ruang Dokter Sugiono yang akan melakukan Kemoterapy. Dikatakan bahwa kanker istriku stadium 2A dan Insya Allah masih bisa diobati. Istrikupun siap untuk menjalani pengobatan dengan kemoterapy. Kemudian kami minta ijin ke Dokter untuk diperbolehkan pulang sambil mempersiapkan segala sesuatunya.
Hari ke empat. Sore itu aku dipanggil ke ruang Dokter Sugiono yang akan melakukan Kemoterapy. Dikatakan bahwa kanker istriku stadium 2A dan Insya Allah masih bisa diobati. Istrikupun siap untuk menjalani pengobatan dengan kemoterapy. Kemudian kami minta ijin ke Dokter untuk diperbolehkan pulang sambil mempersiapkan segala sesuatunya.
Malam hari ketika kami di rumah, kami
minta pendapat dari pihak keluarga tentang pengobatan yang akan kami
lakukan. Dengan berbagai pertimbangan dan alasan pihak keluarga
menyarankan agar kami tidak menempuh jalan kemo dan radiasi. Kami
disarankan untuk menjalani pengobatan dengan cara alternatif dan
pengobatan herbal.
Akhirnya sejak saat itu kami melakukan
ikhtiar pegobatan dengan cara alternatif dan minum obat-obat herbal.
Karena saat itu istriku sudah susah untuk menelan maka obat herbal yang
diberikan tidak berupa kapsul, melainkan berupa rebusan. Setiap hari
istriku harus minum ramuan dan rebusan obat-obat herbal yang baunya
sangat menyengat. Tapi aku lihat ia dengan telaten dan sabar rutin minum
semua obat-obatan itu.
Semangatnya untuk sembuh begitu besar.
Doa pun tiada henti kupanjatkan siang dan malam. Dan malam-malamku
selalu ku habiskan dengan tahajud dan hajat. Aku mulai rajin mencari
semua informasi yang berhubungan dengan kanker nasofaring, mulai dari
makanan, cara pengobatan, bahkan alamat klinik pengobatan alternatif.
Semua informasi aku cari melalui internet, koran dan dari rekan-rekan
kerja.
Tiga bulan pengobatan, tapi Allah
sepertinya belum memberi jalan kesembuhan dengan cara ini, akhirnya obat
herbal aku tinggalkan. Bahkan pengobatan alternatif sudah aku
tinggalkan sejak 1 bulan pertama karena aku ragu. Beberapa keluarga
istri mulai putus asa. Malah ada yang beranggapan penyakit ini adalah
kiriman dari orang. Tapi aku bantah semuanya,sempat ada pertentangan di
antara kami. Aku yakinkan istriku bahwa ini adalah memang ujian dari
Allah,
“Bun..semuanya atas kehendak Allah, bahkan jauh sebelum kita lahir sudah tertulis takdir ini, usia segini bunda sakit, berobat kesini-sini itu semua sudah ada dalam catatan Allah bun. Yang penting sekarang kita jangan lelah berihtiar dan bunda tetep harus semangat untuk sembuh.” Ia mengangguk perlahan.
“Bun..semuanya atas kehendak Allah, bahkan jauh sebelum kita lahir sudah tertulis takdir ini, usia segini bunda sakit, berobat kesini-sini itu semua sudah ada dalam catatan Allah bun. Yang penting sekarang kita jangan lelah berihtiar dan bunda tetep harus semangat untuk sembuh.” Ia mengangguk perlahan.
Berat badan istriku mulai turun drastis
karena tak ada asupan makanan, sebelum sakit beratnya 53 Kg kini tinggal
36 Kg. Kondisinya makin parah dan puncaknya ketika aku lihat mata
kirinya sudah tak focus. Cara ia melihat seperti orang juling. Menurut
Dokter herbal yang menangani istriku inilah rangkaian perjalanan kanker
tersebut yang lama kelamaan akan menyerang otak. Dokter menganjurkan
untuk segera dibawa ke rumah sakit.
Tanggal 26 Maret 2008 …
Akhirnya aku kembali membawanya ke Rumah Sakit. Kali ini aku membawanya ke RS. Husni Thamrin. Istriku ditangani oleh team yang terdiri Dokter THT, Dokter Internis dan Dokter spesialis ahli kemoterapy, Kebetulan Dokter Sugiono ahli kemoterapy yang dulu merawat istriku di RS. Proklamasi juga praktek di sini. Dan kini Dokter sugiyono kembali menangani istriku.
Sore itu Dokter memanggilku ke ruangannya. Dokter menjelaskan stadium kanker istriku sudah menjadi 4C, dan kankernya sudah mulai menggerogoti tulang tengkorak penyangga otak. Melihat hasil CT Scan nya aku merinding, terlihat jelas tulang-tulang tengkorak itu keropos layaknya daun termakan ulat. Aku ingin menjerit, “Ya Allah… begitu berat cobaan ini Kau timpakan pada kami”
“Ma’afkan ayah bun, ayah tak mampu menjaga bunda…!”
Akhirnya aku kembali membawanya ke Rumah Sakit. Kali ini aku membawanya ke RS. Husni Thamrin. Istriku ditangani oleh team yang terdiri Dokter THT, Dokter Internis dan Dokter spesialis ahli kemoterapy, Kebetulan Dokter Sugiono ahli kemoterapy yang dulu merawat istriku di RS. Proklamasi juga praktek di sini. Dan kini Dokter sugiyono kembali menangani istriku.
Sore itu Dokter memanggilku ke ruangannya. Dokter menjelaskan stadium kanker istriku sudah menjadi 4C, dan kankernya sudah mulai menggerogoti tulang tengkorak penyangga otak. Melihat hasil CT Scan nya aku merinding, terlihat jelas tulang-tulang tengkorak itu keropos layaknya daun termakan ulat. Aku ingin menjerit, “Ya Allah… begitu berat cobaan ini Kau timpakan pada kami”
“Ma’afkan ayah bun, ayah tak mampu menjaga bunda…!”
Yang lebih mengagetkan ketika dokter
mengatakan, “kita hanya bisa memperlambat pertumbuhan kankernya bukan
mengobati.” Seolah hitungan mundur kematian itu dimulai. Aku limbung dan
hampir taksadarkan diri, sekuat tenaga aku mencoba untuk tetap tegar.
Dengan dipapah adik aku keluar dari ruang dokter. Segera aku menuju
Mushola kuambil air wudhu dan kujalankan sholat. Entah sholat apa yang
kujalankan ini.
“Aku ingin ketenangan aku butuh
pertolonganMu ya Robb. Kutumpahkan segala permohonan ini dihadapanMu yaa
Allah. Bisa saja dokter memfonis dengan analisanya, tapi Engkaulah yang
maha kuasa atas segala sesuatunya. Engkau maha menggenggam semua
takdir, sakit ini dariMu ya Allah dan padaMU juga aku mohon obat dan
kesembuhannya.”
Segala ikhtiar dan do’a tiada lelah
kulakukan tuk kesembuhan istriku. Malam-malamku kulalui dengan sujud
panjang disamping bangsal rumah sakit. Kubenamkan wajahku diatas sajadah
lebih dalam lagi, tiba-tiba aku merasa tak mimiliki kekuatan apapun,
aku berada dalam kepasrahan dan penghambaan yang lemah.
“Robb…Engkau maha mengetahui, betapa
segala ihtiar telah kami lakukan. Tiada menyerah kami melawan penyakit
ini, kini aku serahkan segalanya padaMu, tidak ada kekuatan yang sanggup
mengalahkan kekuatannMu yaa…Robb, Tunjukkan pertolonganMu, beri
kesembuhan pada istriku Ya..Allah.”
Saat itu istriku masih bisa bicara meski
dengan suara kurang jelas. Karena tenggorokannya pun sudah menyempit
tersumbat kanker, ia sangat kesulitan dalam bernafas. Untuk
mengantisipasi agar tidak tersumbat saluran nafasnya, dokter menyarankan
agar dipasang ventilator dileher istriku. Akupun menyetujuinya meskipun
aku tak tega, tapi ini resiko terkecil yang bisa diambil.
Istriku pasrah, dia minta aku
menemaninya ke ruang operasi. Aku sangat mengerti ia sangat takut dengan
peralatan medis di ruang operasi. Kemudian aku mendampinginya kedalam
ruang operasi untuk pemasangan Ventilator. Aku melihat dengan jelas
leher istriku disayat kemudian dimasukkan alat bantu pernafasan itu.
“Sebenarnya aku tak tega melihatmu seperti ini bunda, tapi inilah yang
terbaik untukmu saat ini.”
Selesai pemasangan ventilator bicaranya
sudah tak bersuara lagi. Sejak saat itu praktis komunikasi kami hanya
dengan isyarat atau terkadang istriku menulisnya pada lembar-lembar
catatan kecil yang sengaja aku siapkan. Tentu saja hal ini terasa capek
baginya. Namun sekali lagi ia terlihat tegar tak pernah aku mendengar ia
mengeluh. Akhirnya dengan berbagai pertimbangan akupun menyetujui untuk
dilakukan kemoterapy terhadap istriku
Tanggal 6 April 2008 …
Kira-kira jam 12 siang kemo tahap pertama dilakukan. Dengan perasaan tak menentu aku melihat dokter meracik obat dengan perlengkapan pengaman yang lengkap. Karena menurut dokter obat ini memang keras.
“Ya Allah beri kekuatan pada istriku…!” Beri kesembuhan melalui ihtiar obat ini ya Allah..!”
Sepanjang proses pengobatan tak hentinya kupanjatkan do’a dan dzikir dibantu dengan beberapa anggota keluarga. Menurut Dokter kemo ini dilakukan dalam 3 sampai 5 tahap. Satu tahapan kemo memakan waktu 5 hari kemudian jeda 3 minggu untuk dilanjutkan ke tahap berikutnya.
Kira-kira jam 12 siang kemo tahap pertama dilakukan. Dengan perasaan tak menentu aku melihat dokter meracik obat dengan perlengkapan pengaman yang lengkap. Karena menurut dokter obat ini memang keras.
“Ya Allah beri kekuatan pada istriku…!” Beri kesembuhan melalui ihtiar obat ini ya Allah..!”
Sepanjang proses pengobatan tak hentinya kupanjatkan do’a dan dzikir dibantu dengan beberapa anggota keluarga. Menurut Dokter kemo ini dilakukan dalam 3 sampai 5 tahap. Satu tahapan kemo memakan waktu 5 hari kemudian jeda 3 minggu untuk dilanjutkan ke tahap berikutnya.
Hari kedua setelah kemo kurang lebih jam
9 malam, istriku mulai merasa mual dan muntah. Hari ketiga jam 12 malam
mulai keluar mimisan dengan darah hitam mengental. Hari ke empat jam 8
pagi ketika saya memandikan dan membersihkan mulutnya yang terus menerus
mengeluarkan lendir, terdapat lendir bercampur darah hitam pekat dan
mengental.
Menurut dokter ini adalah tanda
kankernya sudah mulai hancur. Malam harinya istriku tidur sangat nyenyak
dan tidak banyak batuk berdahak seperti hari-hari sebelumnya.
Alhamdulillah kemo tahap pertama selesai. Dokter bilang jika kondisi
istriku membaik maka tiga hari lagi boleh pulang. Terlihat wajah cerah
istriku ketika mendengar kabar ini. “nanti kalo pulang mau kemana bun..
ke Sawangan apa ke Kebayoran (rumah ibunya)?”
“ke Sawangan aja rumah kita sendiri,” jawabnya melalui secarik kertas.
“ke Sawangan aja rumah kita sendiri,” jawabnya melalui secarik kertas.
Namun ternyata dua hari kemudian ia
mengalami diare yang hebat ini adalah efek samping dari obat kemo,
sehingga kondisinya kembali lemas. Rencana pulangpun harus ditunda
menunggu kondisinya membaik. Tetapi makin hari kondisi istriku makin
drop. Hingga menjelang kemo tahap kedua malah albumin dalam darahnya
menurun.
Selama dirawat istriku meminta agar saya
sendiri yang memandikannya, bahkan aku juga yang membersihkan
kotorannya. Semuanya saya kerjakan dengan telaten karena aku merasa
sekarang saatnya untuk membalas semua kebaikan yang telah dilakukannya
kepadaku selama ini. Ketika istriku sehat dialah yang selalu merawatku,
menemaniku dan selalu menyiapkan semua kebutuhanku.
Selama hampir satu bulan di Rumah Sakit kami merasa menemukan keluarga baru. Keakraban terjalin antara kami dengan team dokter, dengan para suster bahkan juga dengan cleaning service yang tiap hari membersihkan kamar istriku. Saya merasa senang ketika suatu hari istriku dapat tertawa riang bercanda dengan para suster meski tawanya tanpa suara.
Selama hampir satu bulan di Rumah Sakit kami merasa menemukan keluarga baru. Keakraban terjalin antara kami dengan team dokter, dengan para suster bahkan juga dengan cleaning service yang tiap hari membersihkan kamar istriku. Saya merasa senang ketika suatu hari istriku dapat tertawa riang bercanda dengan para suster meski tawanya tanpa suara.
Minggu, 4 Mei 2008 …
Kemo tahap ke 2 dilakukan. Sepertinya Allah benar-benar menguji kesabaranku. Ketika hendak dilakukan kemo, tabung infus 1000cc yang digunakan untuk campuran obat kemo ternyata tidak ada. Rumah sakit kehabisan stock, dan ini adalah sebuah kecorobohan yang mestinya tidak terjadi.
Kemo tahap ke 2 dilakukan. Sepertinya Allah benar-benar menguji kesabaranku. Ketika hendak dilakukan kemo, tabung infus 1000cc yang digunakan untuk campuran obat kemo ternyata tidak ada. Rumah sakit kehabisan stock, dan ini adalah sebuah kecorobohan yang mestinya tidak terjadi.
Karena tentunya pihak rumah sakit telah
mengetahui jadwal pelaksaan kemo ini. Dokterpun marah. Kemudian Dokter
menyarankan saya untuk segera membeli sendiri tabung infus di tempat
lain. Tujuan saya adalah RSCM sebagai Rumah sakit terdekat, namun jika
menuju RSCM menggunakan kendaraan akan memakan waktu lama karena
jalannya memutar. Sayapun berlari ditengah terik matahari pukul 12 siang
menuju RSCM. Namun disanapun tidak tersedia, kemudian saya berlari lagi
menuju RS Sant Carolus, di sinipun nihil.
Begitu juga ketika saya ke Apotik
melawai tak bisa mendapatkannya. Akhirnya saya mendapatkan tabung infus
tersebut di Apotik Titimurni RS. Kramat. Akhirnya kemo tahap ke 2 pun
dapat dilakukan.
Senin, 5 Mei 2008 …
Hari ini Dinda anak kami yang kecil ulang tahun ke 4. Perhatian dan kecintaan istriku pada anaknya tak pernah berkurang. Dibatas ketidak berdayaannya dia menuliskan sesuatu, “Ayah jangan lupa beliin hadiah buat Dinda, ayah beliin jaket nanti bunda titip mukena, kasihan mukena dede sudah jelek. Bilang ke dede ini mukena dari bunda.”
Hari ini Dinda anak kami yang kecil ulang tahun ke 4. Perhatian dan kecintaan istriku pada anaknya tak pernah berkurang. Dibatas ketidak berdayaannya dia menuliskan sesuatu, “Ayah jangan lupa beliin hadiah buat Dinda, ayah beliin jaket nanti bunda titip mukena, kasihan mukena dede sudah jelek. Bilang ke dede ini mukena dari bunda.”
Atas permintaan istriku siang itu
sebagai tanda syukur kami memotong 2 buah kue ulang tahun yang salah
satunya untuk dibagikan ke suster-suster yang jaga. Kemudian istriku
minta dibantu turun dari tempat tidur, katanya ingin duduk bareng deket
Dinda. Ia mencoba memberikan senyum bahagia pada Dinda dan
menyembunyikan rasa sakitnya. Sementara Dinda nampak bahagia dipangku
bundanya, mungkin ia mengira bundanya hanya sakit biasa saja. Lagu
“selamat ulang tahun” yang kami nyanyikan terdengar getir di telingaku.
Terasa pilu aku menatap mereka.
Selasa, 13 Mei 2008 …
Biasanya jika istriku menginginkan sesuatu ia akan membangunkan saya dengan mengetuk besi tempat tidurnya. Namun malam itu saya merasa sangat ngantuk dan lelah, saya menulis pesan pada istriku, “bun..nanti kalo perlu apa-apa panggil suster aja ya! Ayah ngatuk dan cape, jangan bangunin ayah ya!” Dengan isyarat lemah ia mengiyakan permintaanku, ia mengusap tanganku kemudian menuliskan sesuatu “ayah tidur aja gapapa kok, bunda juga mau istirahat.”
Biasanya jika istriku menginginkan sesuatu ia akan membangunkan saya dengan mengetuk besi tempat tidurnya. Namun malam itu saya merasa sangat ngantuk dan lelah, saya menulis pesan pada istriku, “bun..nanti kalo perlu apa-apa panggil suster aja ya! Ayah ngatuk dan cape, jangan bangunin ayah ya!” Dengan isyarat lemah ia mengiyakan permintaanku, ia mengusap tanganku kemudian menuliskan sesuatu “ayah tidur aja gapapa kok, bunda juga mau istirahat.”
Rabu, 14 Mei 2008 …
Entah mengapa pagi ini aku sangat ingin merawatnya. Ketika ia kembali diserang diare berkali-kali yang sangat hebat aku sendiri yang membersihkan semuanya. Kemudian memandikannya dan mengganti pakaiannya. Pagi itu aku minta Lia anak sulung kami yang masih duduk di kelas 5 SD untuk menjaga bundanya, sebelum kemudian aku tinggal berangkat kerja.
Entah mengapa pagi ini aku sangat ingin merawatnya. Ketika ia kembali diserang diare berkali-kali yang sangat hebat aku sendiri yang membersihkan semuanya. Kemudian memandikannya dan mengganti pakaiannya. Pagi itu aku minta Lia anak sulung kami yang masih duduk di kelas 5 SD untuk menjaga bundanya, sebelum kemudian aku tinggal berangkat kerja.
Siang pukul 11 Lia menelpon “Ayah, bunda
pingsan nafasnya cepet banget.” Aku kaget dan sangat khawatir. Selang
15 menit Lia sms “bunda sekarang ada di ruang ICU”. Astaghfirullah
haladziim… apa yang terjadi pada istriku. Segera aku minta izin
meninggalkan kantor. Di Rumah Sakit aku dapati Lia menangis sesegukan
tak berhenti. “bunda yah… tolongin bunda yahh….!”
Kuhampiri istriku yang tergolek
taksadarkan diri. Perawat memasang semua peralatan pada tubuh istriku,
entah alat apa saja ini. Kuusap perlahan keningnya, dingin sekali.
Tangan dan kakinyapun sangat dingin. Hingga menjelang maghrib aku tak
beranjak dari sampingnya. Tak hentinya mulut ini memanjatkan doa.
Sementara di luar ruang ICU sudah banyak kerabat berdatangan.
Tekanan darahnya sangat rendah dibawah
70. Dokter memberikan obat penguat tekanan darah dengan dosis tinggi.
Tekanan darahnya sempat naik namun masih dikisaran 75-80, sangat rendah.
Berkali-kali dokter menyuntikkan obat perangsang namun hasilnya tetap
sama tak berubah. Dokter memanggilku, perasaanku gelisah tak menentu,
campur aduk antara cemas, bimbang dan ketakutan yang amat sangat.
Dugaanku benar Dokterpun menyerah.
Melihat kondisinya yang terus menurun ia
menyarankan agar semua alat bantu dilepas saja. “maksudnya dok..?” aku
menodong penjelasan. “secara medis kondisi ibu sudah tidak dapat
ditolong lagi, lebih baik kita do’akan saja.” Aku benar-benar lemas
mendengarnya seluruh badanku gemetar merinding “benarkah tak ada lagi
harapan.” Tiba-tiba aku merasakan ketakutan yang luar biasa. Aku tak mau
menyerah, aku meminta agar semua alat bantu itu tetap terpasang pada
tubuh istriku, sambil menunggu keputusan team dokter besok pagi.
“Aku tak mau kehilanganmu bunda.” Ku
pegang kuat jemarinya, “buka matamu bunda sebentar saja, ayah ingin
menatap mata bening bunda untuk terakhir kalinya,” kubisikan lembut
ditelinganya.
Pukul 22, aku disodori surat pernyataan, tak sempat aku baca, kata suster ini adalah Surat persetujuan untuk melepas semua alat bantu dari tubuh istriku. “Tak sanggup aku melakukan ini bun, aku ingin tetap menatap wajahmu, aku ingin tetap mendampingimu meski dalam ketidakberdayaanmu.”
Akhirnya adikku yang menandatanganinya. Aku tak ingin selalu dihinggapi rasa bersalah jika menandatangani surat itu. Kemudian semua alat bantu dilepas dari tubuh istriku, tinggal tersisa alat pendeteksi detak jantung.
Pukul 22, aku disodori surat pernyataan, tak sempat aku baca, kata suster ini adalah Surat persetujuan untuk melepas semua alat bantu dari tubuh istriku. “Tak sanggup aku melakukan ini bun, aku ingin tetap menatap wajahmu, aku ingin tetap mendampingimu meski dalam ketidakberdayaanmu.”
Akhirnya adikku yang menandatanganinya. Aku tak ingin selalu dihinggapi rasa bersalah jika menandatangani surat itu. Kemudian semua alat bantu dilepas dari tubuh istriku, tinggal tersisa alat pendeteksi detak jantung.
“Bun…..inilah yang terbaik yang
diberikan Allah buat kita, maafkan ayah bun ayah tak bisa menjaga bunda.
Ayah ikhlas bunda pergi, ayah terima semua dengan ihklas bun.. Jangan
khawatir bun, ayah akan menjaga dan merawat anak-anak kita,” kubisikan
lirih ditelinga istriku.
Kutemui Lia yang menunggu diluar ruang
ICU, kubelai rambutnya penuh sayang. Ia menangis keras sejadi-jadinya,
mungkin ia paham apa yang kumaksudkan. “Bundaa….. Lia ga mau kehilangan
bunda, jangan tinggalin lia bundaa..!!” Tangisnya memekik, merebut
perhatian semua orang diruang tunggu ICU ini. Semua mata menatap kami
tapi mereka diam seolah mahfum dengan keadaan kami.
Dalam setiap rangkaian doaku tak pernah
aku mengucapkan kata-kata menyerah “kalo memang hendak Engkau ambil maka
mudahkan,” tak pernah aku menyebut kata-kata itu. Aku selalu minta
kesembuhan, kesembuhan karena aku memang menginginkan istriku
benar-benar sembuh.
Sepertinya kini aku harus menyerah dan
pasrah “Ya.. Robb jika memang Engkau menentukan jalan lain aku ikhlas ya
Allah…., mudahkan jalan istriku untuk menghadapmu dengan khusnul
khootimah.”
Menurut suster dalam kondisi seperti ini
pasien masih bisa mendengar. Kubimbing istriku menyebut kalimat
“LAAILAHA ILLALLAH MUHAMMADUR ROSULULLAH..” perlahan aku membimbingnya.
Rasanya aku mengerti betul setiap helaan nafasnya, raga kami bagai
menyatu. Kuulang hingga berkali-kali dengan helaan nafas yang terirama
pelan. Dua bulir bening tersembul dari sudut matanya. Aku merasakan ia
sanggup mengikuti kalimat ini, terimakasih ya Allah..!
Kamis, 15 Mei 2008 …
Aku terbangun ketika tiba-tiba seorang suster memanggil “Keluarga ibu Siti Nurhayati..!” Aku bergegas masuk ke ruang ICU, jam menunjuk Pukul 05.05, masih pagi dengan hawa dingin yang menyusup tulang. “Ma’af pak, ibu sudah tidak ada.” ujar suster tadi singkat. Meski aku tau maksudnya tapi aku masih tak percaya. Kutengok layar monitor yang terhubung ketubuh istriku. Tak ada lagi yang bergerak disana.
Aku terbangun ketika tiba-tiba seorang suster memanggil “Keluarga ibu Siti Nurhayati..!” Aku bergegas masuk ke ruang ICU, jam menunjuk Pukul 05.05, masih pagi dengan hawa dingin yang menyusup tulang. “Ma’af pak, ibu sudah tidak ada.” ujar suster tadi singkat. Meski aku tau maksudnya tapi aku masih tak percaya. Kutengok layar monitor yang terhubung ketubuh istriku. Tak ada lagi yang bergerak disana.
Bagai tersambar petir, kudekap tubuh
lemas istriku. Bibirnya menoreh segaris senyum. “INNA LILLAAHI WAINNA
ILAIHI ROOJIUUN.” Aku lunglai terduduk disampingnya tapi tak ada lagi
air mata yang keluar. “Bun, Ayah ikhlas melepas bunda, Allah telah
memilihkan jalan terbaik buat kita.”
Selamat Jalan Istriku…… jemput aku dan anak-anak nanti di pintu SurgaNya.
Semoga bermanfaat bagi yang membacanya ….
Salam Terkasih ..
Dari Sahabat Untuk Sahabat …
Semoga bermanfaat bagi yang membacanya ….
Salam Terkasih ..
Dari Sahabat Untuk Sahabat …
… Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci …
Jika Artikel ini bermanfaat, mohon share ke teman-teman Anda dengan klik salah satu media sosial dibawah..