BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam kegiatan keagamaan
dalam pelaksanaan beribadah ada
suatu aturan atau hokum yang harus
ditaati oleh pemeluknya. Hukum ini
berasal dari tuhan yang
tak tidak bisa di bantah kebenarannya. Dalam islam menurut para ulama
hokum ini disebut hokum syara’. Hukum syara’ menurut istilah ulama ahli ushul adalah khithob
(doktrin) syar’I yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf
baik berupa tuntutan, pilihan, atau
ketetapan. Yang dimaksud dengan
menyangkut perbuatan mukallaf
adalah perbuatan yang dilakukan
oleh manusia dewasa yang berakal, sehat
meliputi perbuatan hati seperti firman Allah SWT :
اوفوعد ك
Artinya: “
penuhilah janji”
Adapun doktrin syar’i Allah yang berhubungan dengan menepati janji
dengan tuntutan melaksanakan Nash yang
keluar dari syar’i yang menunjukkan tuntutan, pilihan, atau ketetapan itulah yang disebut hukum syara’ menurut istilah ahlu ushul.
Hukum syara’ menurut istilah
ahli fiqih adalah pengaruh ditimbulkan oleh doktrin syar’i dalam perbuatan mukallah, seperti kewajiban, keharaman, dan
kebolehan. Jadi firman Allah (penuhi janji), maksudnya adalah kewajiban
memenuhi janji. Nash itu sendiri adalah
hokum menurut istilah ahli ushul, sedangkan kewajiban memenuhi adalah
hokum menurut istilah ahli fiqih.
Dari pengertian hukum syara’ menurut istilah ahli ushul dapat
disimpulkan bahwa hukum itu tidak hanya
satu macam. Para ahli ushul memberi istilah pada hukum yang berhubungan dengan
perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan atau pilihan dengan hukum
taklifi, dan hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk ketetapan dengan hukum wadh’i.
Namun dalam kesempatan kali ini pemakalah akan menyampaikan tentang
hukum taklifi.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian hukum taklifi itu?
2.
Apa macam-macam hukum taklifi itu?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Taklifi
Hukum taklifi menurut bahasa adalah hukum pemberi beban,
sedangkan menurut istilah ialah ketentuan Allah SWT yang menuntut mukallaf
(balig dan berakal sehat) untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan
atau bentuk pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan .
Tuntukan Allah untuk melakukan suatu perbuatan, misalnya firman Allah dalam Al
qur’an sutat al baqoroh ayat 110:
(#qßJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4q2¨9$# 4
$tBur (#qãBÏds)è? /ä3Å¡àÿRL{ ô`ÏiB
9öyz çnrßÅgrB yYÏã «!$# 3
¨bÎ) ©!$# $yJÎ/ cqè=yJ÷ès? ×ÅÁt/ ÇÊÊÉÈ
Artnya:“Dan dirikanlah
sholat dan tunaikanlah zakat” (QS. Al Baqaroh:110)
Dan tuntutan Allah SWT untuk meninggalkan suatu perbuatan,
misalnya firman Allah SWT dalam Al Qur’an surat Al Isyro’ ayat 33:
wur (#qè=çFø)s? }§øÿ¨Z9$# ÓÉL©9$# tP§ym ª!$# wÎ) Èd,ysø9$$Î/ 3
`tBur @ÏFè% $YBqè=ôàtB
ôs)sù $uZù=yèy_ ¾ÏmÍhÏ9uqÏ9 $YZ»sÜù=ß xsù Ìó¡ç Îpû È@÷Fs)ø9$# (
¼çm¯RÎ) tb%x.
#YqÝÁZtB ÇÌÌÈ
Artinya: “ Dan janganlah kamu mem bunuh jiwa yang diharamkan
Allah (membunuhnya) melainkan dengan suatu alasan yang benar. (QS. Al Isyra’:
33).
Tuntutan Allah SWT yang mengandung pilihan untuk melakukan
suatu perbuatan atau meninggalkannya
seperti firman Allah SWT dalam surah al -jumu’ah ayat 10:
#sÎ*sù ÏMuÅÒè% äo4qn=¢Á9$# (#rãϱtFR$$sù Îû ÇÚöF{$# (#qäótGö/$#ur `ÏB È@ôÒsù «!$#
(#rãä.ø$#ur ©!$# #ZÏWx. ö/ä3¯=yè©9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÉÈ
Artinya:“ Apabila telah
ditunaiakn shalat, maka bertebaranlah kamu dimuka bumi dan carilah karunia
Allah” (QS. Al jumu’ah, 10)
B. Pembagian hukum taklifi
Hukum taklifi terbagi kedalam lima
bagian, yaitu
1. Wajib
Yaitu khitab syar’I yang menuntut agar dilakukan suatu perbuatan
dengan tuntutan yang pasti, sehingga orang yang melakukan sesuatu
yang wajib akan mendapat pahala dan
menunggalkannya mendapat dosa atau siksa. Seperti kewajiban shalat. Firman Allah SWT:
#sÎ*sù ÞOçFøÒs% no4qn=¢Á9$# (#rãà2ø$$sù ©!$# $VJ»uÏ% #Yqãèè%ur 4n?tãur öNà6Î/qãZã_ 4
#sÎ*sù öNçGYtRù'yJôÛ$# (#qßJÏ%r'sù no4qn=¢Á9$# 4
¨bÎ) no4qn=¢Á9$# ôMtR%x. n?tã úüÏZÏB÷sßJø9$# $Y7»tFÏ. $Y?qè%öq¨B ÇÊÉÌÈ
“….maka
diirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan
waktunya atas orang-orang yang beriman “(Q.S. An-Nisa 103).
Jumhur
fuqaha menyatakan antara wajib dan fardhu, sedangkan ulama’ hanafiyah
membedakan kedua istilah ini. Apabila tuntutan untuk mengerjakan sesuatu
perbuatan itu berdasarkan dalil-dalil
qath’i, baik dari Al-Qur’an maupun Hadits Mutawatir, maka dinamai fardhu, dan apabila berdasarkan dalil-dalil zhanni,
yakni Hadits-hadits ahad, maka disebut wajib.
2. Mandub atau Sunah
Yaitu kitab syar’I yang menuntut agar
dilakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak harus dikerjakan sehingga
orang yang melakukan nadb akan mendapat pahala dan meninggalkannya tidak
mendapatkan dosa.
Contohnya
firman Allah SWT :
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) LäêZt#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù ......4 ÇËÑËÈ
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu saling memperhutangkan dengan suatu
hutang sampai waktu yang ditentukan hendalah kamu menulisnya….”(Q.S.
Al-Baqarah:282)
Menulis dan mecatat hutang itu tidaklah
wajib,walaupun dalam firman tersebut dilukiskan dengan fiil amr, yang pada
umumnya fi’il amr itu mengandung arti wajib, dikarenakan pada perintah tersebut
didapatkan suatu qarinahyang menunjuk pada ketidak wajibannya mencatat
hutang-piutang. Yakni firman Allah SWT :
bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»ydÌsù ×p|Êqç7ø)¨B (
÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ Ïjxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& ÇËÑÌÈ........
“Akan
tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya…” (Q.S.Al-Baqarah:283)
3. Haram
Yaitu khitab syar’i yang menuntut untuk meninggalkan
suatu perbuatan dengan tuntutan yang
tegas. Sehingga orang yang melakukan hal yang haram akan mendapat dosa atau
siksa sedangkan orang yang meninggalkannya mendapat pahala.
Contohnya firman Allah SWT :
ö@è% (#öqs9$yès? ã@ø?r& $tB tP§ym öNà6/u öNà6øn=tæ (
wr& (#qä.Îô³è@ ¾ÏmÎ/ $\«øx© (
....... ÇÊÎÊÈ
“Katakanlah:”Marilah kubacakan apa yang diharamkan
atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan
Dia…”(Q.S. Al-An’am:151).
4. Makruh
Yaitu kitab syar’i yang menuntut untuk meninggalkan
perbuatan dengan tuntutan yang tidak tegas agar ditinggalkan. Sehingga orang
yang melaksanakannya tidak mendapat dosa sedangkan orang yang meninggalkannya
mendapat pahala.
Contoh firman Allah SWT :
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w (#qè=t«ó¡n@ ô`tã uä!$uô©r& bÎ) yö6è? öNä3s9 öNä.÷sÝ¡n@ bÎ)ur (#qè=t«ó¡n@ $pk÷]tã t........
ÇÊÉÊÈ
“Hai orang-orang yang
beriman , janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu,
niscaya menyusahkanmu…” (Q,S. Al-Maidah :101).
Larangan menanyakan sesuatu yang membahayakan itu adalah
makruh bukan haram, karena Allah SWT
memerintahkan kepada kita untuk menanyakan kepada para ahli tentang
ha-hal yang belum kita ketahui. Firman Allah SWT :
!$tBur $uZù=yör& ÆÏB y7Î=ö6s% wÎ) Zw%y`Í ûÓÇrqR öNÍkös9Î) 4
(#þqè=t«ó¡sù @÷dr& Ìø.Ïe%!$# bÎ) óOçGYä. w tbqçHs>÷ès? ÇÍÌÈ
“Tanyakanlah kepada para
ahli jika kamu tidak mengerti” (Q,S. An-Nahl :43).
5. Mubah
Yaitu khitab syar’i yang mengandung hak pilihan bagi orang mukallaf
antara mengerjakan atau meninggalkannya. Sehingga orang yang melaksanakannya
maupun orang yang meninggalkannya tidak mendapat pahala atau dosa.
Contohnya firman Allah SWT :
$yJ¯RÎ) tP§ym ãNà6øn=tæ sptGøyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur ÍÌYÏø9$# !$tBur
¨@Ïdé& ¾ÏmÎ/ ÎötóÏ9
«!$# (
Ç`yJsù §äÜôÊ$#
uöxî 8ø$t/
wur 7$tã
Ixsù zNøOÎ)
Ïmøn=tã 4
¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî íOÏm§ ÇÊÐÌÈ
“Tetapi barang siapa dalam keadaan
terpaksa (memakan bangkai, darah dan daging babi), sedang ia tidak
menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya”
(Q.S. Al-Baqarah :173).
C. Hukum-hukum menurut Fuqaha
1. Wajib
Para ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa hokum
wajib itu bisa
dibagi dari berbagai segi , yaitu :
a.
Dilihat dari segi waktu, wajib dibagi atas wajib
muthlaq dan wajib al-mu’aqqot.
Wajib muthlaq
adalah wajib sesuatu yang dituntut syar’I untuk di laksanakan mukallaf tanpa
ditentukan waktunya. Misalnya, kewajiban membayar kafarat sebagai
hukuman bagi orang yang melanggar sumpahnya. Orang yang ber sumpah tanpa
mengaitkan dengan waktu, lalu ia melanggar sumpahnya itu, maka kafarat-nya
boleh dibayar kapan saja.
Adapun wajib
al-m’aqqot adalah kewajiban yang harus dilaksanakan orang mukallaf pada
waktu-waktu tertentu seperti puasa romadhon. Wajib al-mu’aqqat terbagi lagi
dalam tiga macam, yaitu :
1. Wajib muwassa’, yaitu
kewajiban yang ditentukan watunya tetapi waktunya ini cukup lapang sehingga
dalam waktu itu bisa juga dikerjakan amalan yang sejenis misalnya waktu-watu
yang ditentukan untuk melakukan shalat. Jadi ketika seorang mukallaf
mrlakukan shalat dzuhur, ia juga bisa melakukan shalat sunah.
2. Wajib mudhayyaq,
yaitu kewajiban yang waktunya secara khusus dipeuntukkan pada suatu amalan dan
waktuunyaitu tidak bisa digunakan utuk kewajiban lain. Seperti puasa
ramadhan.
3. Wajib zhu
asy-syibhain, yaitu kewajiban yang mempunyai waktu yang lapa ng tetapi tidak bisa digunakan
untuk amalan sejenis secara berulang-ulang. Misalnya waktu haji itu cukup
lapang dan seseorang bisa melaksanakan beberapa amalan haji pada waktu itu
berkali –kali tetapi yang diperhitungkan syara’ hanya satu amalan saja.
b.
Dilihat dari segi ukuran
yang diwajibkan hokum wajib terbagi
menjadi dua, yaitu :
1. Wajib al-muhaddad,
adalah suatu kewajiban yang ditentukan ukurannya oleh syara’ dengan ukuran
tertentu, misalnya jumlah harta yang wajib dizakatkan dan jumlah rakaat dalam
shalat.
2. Wajib ghiru muaddad, adlah kewajiban yang tidak ditentukan
syara’ ukuran dan jumlahnya. Misalnya penentuan hukuman dalam jarimah ta’zir
(tindak pidana diluar hudud dan qishos ) yang diserahkan kepada para qodhi atau
hakim.
c.
Dilihat dari segi yang
dibebani kewajiban. Hokum syar’i dibagi
pada wajib al-a’ini dan wajib al- kifa’i.
1. Wajib al-a’ni, adalah kewajiban yang ditunjukkan pada setiap
pribadi orang mukallaf. Misalnya kewajiban shalat.
2. Wajib al-kifa’i,
adalah kewajiban yang ditunjukkan kepada seluruh orang mukallaf, tetapi apabila
telah dikerjakan oleh sebagian dari
mereka maka kewajiban itu telah terpenuhi dan orang yag tidak
mengerjakannya tidak dituntut untuk melaksanakannya. Misalnya
pelaksanaan shalat jenazah.
d.
Dilihat dari segi kandungan
perintah, para ulama usul fiqh membagi wajib kepada dua bagian, yaitu :
1. Wajib al-mu’ayyan, adalah kewajiban yang terkait dengan sesuatu
yang diperintahkan, seperti shalat, puasa dan harga barang dalam jual beli.
2. Wajib al-mukhayyar, adalah suatu
kewajiban tertentu yang bisa dipilih orang mukallaf. Misalnya firman
Allah SWT dalam surat al –maidah:89.
w ãNä.äÏ{#xsã ª!$# Èqøó¯=9$$Î/ þÎû öNä3ÏZ»yJ÷r& `Å3»s9ur Nà2äÏ{#xsã $yJÎ/ ãN?¤)tã z`»yJ÷F{$# (
ÿ¼çmè?t»¤ÿs3sù ãP$yèôÛÎ) Íou|³tã tûüÅ3»|¡tB ô`ÏB ÅÝy÷rr& $tB tbqßJÏèôÜè? öNä3Î=÷dr& ÷rr& óOßgè?uqó¡Ï. ÷rr& ãÌøtrB 7pt6s%u (
`yJsù óO©9 ôÅgs ãP$uÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$r& 4
y7Ï9ºs äot»¤ÿx. öNä3ÏY»yJ÷r& #sÎ) óOçFøÿn=ym 4
(#þqÝàxÿôm$#ur öNä3oY»yJ÷r& 4
y7Ï9ºxx. ßûÎiüt7ã ª!$# öNä3s9 ¾ÏmÏG»t#uä ÷/ä3ª=yès9 tbrãä3ô±n@ ÇÑÒÈ
Ayat di atas mengemukakan kafarat sumpah
itu terdiri atas memberi makan fakir
miskin, member pakaian kepada mereka atau memerdekakan budak, dan barang siapa
yang tidak mampu maka berpuasalah tiga hari.
2. Mandub
Para ulama usul fiqh membagi
mandhub menjadi tiga macam, yaitu :
a. Sunnah al-muqaddah,
yaitu pekerjaan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila di
tinggalkan tidak mendapatkan dosa, tetapi yang meninggalkannya mendapat celaan.
Misalnya shalat-shalat sunnah yang mengiringi sholat lima waktu(rawatib),
b. Sunnah ghairu
muqaddah, yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan jika
ditinggalkan tidak mendapat dosa serta tidak mendapatkan celaan dari syar’i.
misalnya bersedekah, shalat dhuha dan puasa pada hari senin dan kamis.
c. Sunnah al-zaidah,yaitu suatu pejerjaan untuk mengikuti
rasulullah SAW. Sehingga apabila dikerjakan mendapat pahalam jika ditinggalkan
tidak mendapat dosa dan tidak mendapat celaan. Amalan seperti adalah berupa
sikap dan tindak-tanduk Rasulullah sebagai manusia biasa. Seperti cara tidur ,
cara makan atau cara berpakaian.
3. Haram
Haram kedalam dua bagian, yaitu :
a. Haram lidzatih yang
mempunyai sesuatu yang ditetepkan oleh syar’I
keharaman melakukannya sejak semula dikarenakan ia mengandung kemafsadatan dan
kemudharatan.
b. Haram lighairihyang me,punyai arti sesuatu yang ditetapkan oleh
syar’i keharamannya tetapi ada sesuatu yang mengakibatkan keharamannya. Seperti
sholat dengan pakaian acak-acakan, jual beli dengan menipu, mentalaj istri
diwaktu haid.
4. Makruh
Ulama hanafiyah membagi makruh
kedalam dua bentuk, yaitu :
a. Makruh tanzih, yaitu sesuatu yang dituntut syar’I untuk
ditinggalkan tetapi dengan tuntutan yang tidak pasti. Misalnya memakan daging
kuda.
b. Makruh takhrim ,
yaitu tuntutan syar’I untuk meninggalkan suatu perbuatan dan tuntutan itu mulai
cara yang pasti tetapi didasarkan kepada dalil yang zhanni. Seperti
larangan memakai sutra dan perhiasa emas bagi kaum laki-laki.
5. Mubah
Imam abi isyaq asyyathibi mengemukakan
pembagian mubah dari segi setatusnya yang bersifat juz’I dan kulli.
a.
Mubah bi al juz’I al-mathlub bi al-kulli ‘ala jihat ar-rujub. Yaitu
hokum mubah yang secara parcial bisa berubah menjadi wajib apabila dilihat dari
keseluruhan atau kepentingan ummat secara keseluruhan. Misalnya makan, minum
dan berpakaian.
b.
Mubah bi al-juz’I al-mathlub bi
al-kulli ‘ala jihat al-al mandub. Yaitu hokum mubah secara juz’I berubah
menjadi mandub apabila dilihat dari segi kulli. Misalnya dalam masalah makan
dan minum melebihi kebutuhan.
c.
Mubah bi al-juz’I al-muharramah bi
al-kulli. Artinya mubah yang secara juz’I diharamkan apabila dilihat dari segi
kulli. Misalnya mencela anak dan senantiasa makan dengan makanan yang lezat-lezat.
d.
Mubah bi al-juz’I al-makruh bi
al-kulli. Yaitu hokum mubah bisa berubah menjadi makruh apabila dilihat dari
akibat negative perbuatan itu secara kulli. Seperti bernyanyi.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Hukum taklifi merupakan bagian dari hukum syara’ (ketentuan
Allah SWT) yang menuntut mukallaf (balig, berakal sehat) untuk melakukan atau
meninggalkan perbuatan atau berbentuk pilihan untuk melakukan atau tidak
melakukan suatu perbuatan. Hokum taklifi dibagi menjadi 5, yaitu: wajib,
sunnah, haram, makruh dan mubah.
B.
Saran-saran
Demikian makalah ini kami sampaikan. Kami sadari bahwa
makalah ini jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu kami kritik dan saran-saran yang membangun kami
harapkan guna melengkapi kekurangan isi maupun penulisan agar makalah ini bisa
menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Hasbiyallah.
2009. Ilmu ushul fiqh. Bandung : CV. Insane mandiri
Khallaf,
Abdul Wahab. 2003. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Amani
Syafe’I,
Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: CV. Pustaka
Razak, Nasruddin. 1989.
Dienul Islam. Bandung : PT. Al-Ma’arif
Syamsuri. 2007. Pendidikan
Agama Islam untuk SMA kelas X. Jakarta: Erlangga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar