Sabtu, 02 Januari 2016

CARA PENUNJUKAN LAFADZ KEPADA MAKNA



KAMIS
JAM Ke-2
Ushul fiqh II
CARA PENUNJUKAN LAFADZ KEPADA MAKNA
( DILALAH )
Kelas C1-ELK
 










Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah : Ushul Fiqh 2
Dosen Pengampu : M Agus Yusrun Nafi’, M,Si

oleh :
M. HARUN MUAFIQ                     111655
NURUL HIDAYATI                          111638
AHMAD SHOFA                             111637


 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI  KUDUS
JURUSAN TARBIYAH / PAI
TAHUN 2013
CARA PENUNJUKAN LAFADZ KEPADA MAKNA
( DILALAH )


I.                   PENDAHULUAN
Dalam  ushul fiqih, setiap istimbat  (pengambilan hukum) dalam syariat islam harus berpijak pada Al-Qur’an dan sunnah nabi dan juga adalah menjadi keharusan bagi seorang ahli hukum (fiqih) untuk mengetahui prosedur penggalian hukum. Untuk kepentingan itu ilmu ushul fiqih telah menetapkan metodologinya.

Cara penggalian hukum dan nash ada dua macam pendekatan, yaitu pendekatan makna dan pendekatan lafal. Pendekatan makna adalah penarikan kesimpulan hukum bukan kepada nash langsung seperti menggunakan qiyas, istihsan, maslahah mursalah dan lain sebagainya. Sedang pendekatan lafal penerapannya membutuhkan beberapa faktor pendukung yang sangat dibutuhkan yaitu penguasaan terhadap makna dari lafal-lafal nash serta konotasinya dari segi umum dan khusus dan mengetahui dalalahnya.

II.                RUMUSAN MASALAH
a.       Apa pengertian Dilalah ?
b.      Bagaimana Pembagian Dilalah ?`










III.             PEMBAHASAN

a.     Pengertian Dilalah
Arti dilalah secara umum adalah memahami sesuatu atas sesuatu. Kata sesuatu yang disebutkan pertama disebut madlul (yang ditunjuk). dalam hubungannya dengan hukum, yang disebut dengan madlul itu adalah “hukum” itu sendiri.[1]
Kata sesuatu yang disebutkan kedua kalinya disebut dalil (yang menjadi petunjuk). Dalam hubungannya dengan hukum, dalil itu disebut dalil hukum.
   Ditinjau dari segi bentuk dalil yang digunakan dalam mengetahui sesuatu, dilalah itu ada dua macam, yaitu dilalah lafdziyah dan dilalah ghairu lafdziyah.[2]
1.     Dilalah lafzhiyyah (petunjuk berbentuk lafadz)
Yaitu dilalah dengan dalil yang digunakan untuk memberi petunjuk kepada sesuatu dalam bentuk lafadz, suara atau kata. Dengan demikian, lafadz, suara dan kata menunjukkan kepada maksud tertentu. Penunjukannya kepada maksud tertentu itu diketahui melalui 3 hal ;
a.     Melalui hal – hal yang bersifat alami yang menunjuk kepada maksud tertentu yang dapat diketahui oleh setiap orang diseluruh alam ini.
b.     Melalui akal. Maksudnya, dengan perantaraan akal pikiran, seseorang dapat mengetahui bahwa suara atau kata yang didengarnya memberi petunjuk kepada maksud tertentu.
c.     Melalui “istilah” yang dipahami dan digunakan bersama untuk maksud tertentu. Penunjukan bentuk ini disebut wadh’iyah secara lengkap bisa disebut dilalah lafdhiyyah wadh’iyyah.
Dari ketiga bentuk dilalah diatas, dilalah bentuk istilah adalah yang paling dominan dibicarakan dalam ushul fiqih.  
Para ahli membagi dilalah wadh’iyyah menjadi tiga bentuk ; [3]
1)      Muthabiqiyyah yaitu bila istilah yang digunakan sebagai dilalah merupakan keseluruhan yang lengkap dan mencakup unsur yang harus ada pada istilah tersebut.
2)      Tadhammuniyah yaitu bila istilah yang digunakan sebagai dilalah merupakan salah satu bagian yang terkandung dalam keutuhan istilah itu. Meskipun hanya menggunakan salah satu unsur saja, namun sudah dapat menunjukkan maksud yang dituju.
3)      Iltizhamiyyah yaitu bila dilalahnya bukan arti atau istilah yang sebenarnya, tetapi merupakan sifat tertentu yang lazim berlaku pada istilah tersebut. Melalui penyebutan sifat yang lazim itu, orang akan mengetahui apa yang dimaksud.
2.     Dilalah Ghairu Lafdziyyah (Dilalah bukan lafadz) [4]
Yaitu dalil yang digunakan bukan dalam bentuk suara, bukan lafadz dan bukan pula dalam bentuk kata. Hal ini berarti bahwa “diam” atau “tidak bersuaranya” sesuatu dapat pula memberi petunjuk kepada sesuatu.
Diamnya sesuatu itu dapat diketahui maksudnya melalui hal – hal sebagai berikut :
a.       Melalui hal – hal yang bersifat alami yang dapat dipahami oleh semua orang dimana saja,
Contohnya: warna pucat pada wajah seseorang menunjukan bahwa ia sedang ketakutan. Hal ini dapat diketahui bahwa secara alamiah tanpa dibuat-buat, bila seseorang berada dalam ketakutan, maka muka nya akan pucat.pucat itu timbul dengan sendirinya dari rasa takut itu.penunjukan seperti ini disbut” thabi’iyah”.
b.      Melalui akal, maksudnya meskipun tidak ada suara atau kata, namun akal dapat mengetahui apa yang terdapat dibalik diamnya sesuatu.
Contohnya: asap yang mengepul dari sesuatu menunjukan ada api didalam nya.meskipun tidak ada petunjuk dalam bentuk suara atau kata, namun seseorang melalui akalnya dapat mengetahui nya, karena menurut pertimbangan akal:dimana ada asap pasti ada api.penunjukan dalam bentuk ini disebut “aqliyyah”.
c.       Melalui kebiasaan dalam menggunakan sesuatu sebagai tanda atau isyarat untuk maksud tertentu.
Contohnya: huruf  H didepan nama seorang muslim menunjukan bahwa orang itu sudah melakukan ibadah haji.penunjukan seperti ini disebut”wadh’iyah”.

Penggunaan tanda atau isyarat, baik dengan huruf atau tanda lainnya, banyak digunakan dalam kehidupan.
Bentuk dilalah yang luas penggunaannya adalah dilalah lafdziyyah karena mengandung maksud yang langsung dan jelas tentang hukum. Bentuk dilalah dengan “diam” dalam dilalah ghairu lafdziyyah juga digunakan dalam penunjukkannya terhadap hukum, tetapi mengundang banyak perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul fiqih.

b.         Pembagian Dilalah
Dalam pandangan ulama’ Syafi’iyyah dan jumhur Ulama’, dilalah itu ada dua macam, yaitu dilalah Mantuq dan mafhum
Mantuq adalah sesuatu (hukum) yang ditunjukkan oleh suatu lafadz dalam tempat pengucapan (tersurat). Jadi mantuq adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafadz di tempat pembicaraan.[5]
Sedangkan mafhum adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pengucapan (tersirat). Jadi mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman yang terdapat pada ucapan tersebut. [6]
Seperti firman Allah SWT;
فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا (الإسراء:23)
"Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan jangan kamu membentak mereka dan ucapkanla hkepada merekaperkataan yang mulia". (Q.S Al-Isra’ ayat 23)
Dalam ayat tersebut terdapat dilalah mantuq dan mafhum. Pengertian mantuq yang tersurat dalam ayat tersebut adalah diharamkannya berkata yang tidak baik kepada orang tua (mendesah, membentak, dan mencaci maki). Sedangkan pengertian mafhum yang tersirat adalah tidak diperbolehkan (haram) menyakiti, memukul atau menyiksa orang tua.

Pembagian Mantuq Dan Mafhum
A. Mantuq
Dalam hasanah ilmu ushul fiqh mantuq terbagi menjadi dua bagian yaitu:
1.      Mantuq Sarih
Menurut Wahbah Zuhaili  yang dimaksud dengan mantuq sharih ialah penunjukkan lafal nash yang jelas secara langsung tercakup dalam ungkapan lafal nash.[7] Manthuq syarih dalam istilah ulama Syafi’iyah ini adalah apa yang di istilahkan dengan dilalah ibarah dalam pengertian ulama Hanafiyah.[8]
2.      Mantuq Ghairu Sarih
Mantuq gairu sharih ialah penunjukkan lafal nash yang tidak jelas. Dan terbagi menjadi dua macam:[9]
a.      Penunjukannya itu dimaksud oleh pembicara
1)      Dilalah iqtidha’
  Dikalangan ulama Hanafiyah disebut dilalah iqtidha’ atau iqtidha’ al-nash. Yaitu suatu dilalah (petunjuk makna lafal nash baru bisa dipahami secara jelas bila ada penambahan kata untuk memperjelas maksud yang terkandung dari suatu teks nash. Contoh :
“Diharamkan atas kamu bangkai, darah dan daging babi…”
Pengertian ayat ini belum jelas. Oleh karena itu diperlukan penjelasan dengan menambah unsur kata dari luar teks. Untuk kasus dalam ayat ini maksudnya “diharamkan memakan atau memanfaatkan darah dan daging babi. Sebab keharaman tanpa hubungan dengan perbuatan manusia tidak ada manfaatnya.
2)      Dilalah ima
Yaitu  Penyertaan sifat dengan hukum dalam bentuk seandainya sifat itu bukan yang menjadi ‘illat untuk hukum tersebut, maka penyertaan itu tidak ada artinya.
Umpamanya sabda Nabi kepada seorang Arab pedesaan yang melaporkan kepada beliau bahwa ia telah menggauli istrinya di siang hari bulan Ramadhan. Nabi bersabda, “Merdekakanlah hamba sahaya”. Jadi perbuatan mencampuri istri di siang hari bulan Ramadhan menjadi illat untuk hukum yang disebutkan.
            b.     Penunjukannya itu tidak dimaksud oleh pembicara
      Hanya terbatas pada satu bentuk yang disebut “dilalah isyarah” dalam pandangan ulama Hanafiyah.

B. Mafhum
Mafhum dibedakan menjadi dua bagian[10], yaitu:
1. Mafhum Muwafaqah, yaitu apabila hukum yang timbulkan sama dengan hukum yang difahamkan oleh bunyi lafadz. Seperti contoh hukum haramnya memukul orang tua sama dengan haramnya membentak orang tua (Q.S. Al-Isra’ ayat 23). Yang mana hukum haram "memukul" merupakan mafhum dari dalil haramnya "membentak".
Mafhum Muwafaqah dibagi menjadi dua bagian:
a). Fahwal Khitab
Yaitu apabila hukum yang dipahamkan lebih utama (berat) daripada yang diucapkan. Seperti "memukul" orang tua haram hukumnya karena merupakan hukum mafhum dari haramnya "membentak" orang tua. Bahkan "memukul" dapat dikatakan lebih tidak diharamkan karena tidak hanya dapat menimbulkan sakit hati, namun lebih dari itu juga dapat menimbulkan luka fisik. [11]
b). Lahnal Khitab
Yaitu apabila hukum yang dipahamkan sama derajatnya daripada dengan yang diucapkan. Seperti contoh "membakar" harta anak yatim hukumnya haram karena merupakan mafhum dari memakan harta anak yatim dengan dhalim, sebagaimana firman Allah SWT:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا [النساء: 10]
"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)". (Q.S. An-Nisa: 10)
Secara tekstual (mantuq) dikatakan bahwa memakan harta anak yatim dengan dzalim hukumnya haram. Kemudian juga muncul hukum haram "membakar" harta anak yatim berdasarkan teori mafhum. Antara "memakan" yang dijelaskan secara mantuq derajatnya sama dengan "membakar" yang dihasilkan dari kefahaman, yaitu sama-sama merusak harta anak yatim.
2. Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian hukum yang dipahami berbeda daripada ucapan (mantuq), baik dalam istbat (menetapkan) maupun nafi (mentiadakan). Seperti firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ. (الجمعة:9)
"Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli". (Al-Jum'ah: 9)
Ayat di atas secara tekstual (mantuq) menerangkan haramnya transaksi jual beli pada saat sudah dikumandangkan shalat jum'at. Dari ayat tersebut pula dapat diambil kefahaman bahwa sebelum dikumandangkan shalat jum'at atau sesudah dilakukanya shalat jum'ah diperbolehkan berjualan. Kefahaman hukum tersebut disebut mafhum mukhalafah. Karena hukum mantuq berbeda denan hukum mafhum.

Syarat-Syarat Hujjah Dengan Mafhum Mukhalafah
Karena mafhum mukhalafah adalah proses hukum yang bertentangan dengan hukum mantuq, maka diperlukan beberapa syarat agar hukum yang ditelorkan menjadi shahih. Untuk syahnya mafhum mukhalafah diperlukan beberapa syarat yaitu : [12]
1.      Mafhum Mukhalafah harus tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq maupun mafhum muwafaqah. Contoh yang berlawanan dengan dalil mantuq:
وَلاَ تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاق [الإسراء :31]
“Jangan kamu bunuh anak-anakmu karena takut kemiskin­an”. (Q.S. Isra’ ayat 31).
     Ayat tersebut di atas secara tekstual menerangkan haramnya membunuh anak karena "takut muskin". Mafhum mukhalafah-nya berarti "membunuh anak tidak karena takut miskin". Dalam hal ini mengambil hukum dari mafhum mukhalafah tidak diperbolehkan sebab bertentangan dengan dalil mantuq yang lain yaitu;
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَ بِالْحَقِّ. [الإسراء :33]
“Jangan kamu membunuh manusia yang dilarang Allah kecuali dengan kebenaran". (QS. Isra’:33)”
     Berdasarkan dalil mantuq di atas, baik takut miskin (mantuq) maupun tidak takut miskin (mafhum) tetap tidak boleh dijadikan alasan membunuh anak.
     Contoh mafhum mukhalafah yang berlawanan dengan mafhum muwafaqah:
فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ. (الإسراء:23)
"Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”.(Q.S Al-Isra’ ayat 23)
     Berdasarkan ayat di atas secara mantuq disebutkan tidak boleh berkata-kata kasar terhadap orang tua. Apa bila difahami dengan mafhum mukhalafah berarti selain berkata-kata kasar seperti memukul diperbolehkan. Pemahaman terbalik (mafhum mukhalafah) seperti ini tidak dibenarkan karena bertentangan mafhum muwafaqahnya, yaitu "tidak boleh memukul".
2.        Yang disebutkan (manthuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi. Seperti contoh;
وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ. (النساء. 23)
"Dan anak-anak (tiri) istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri". (QS. An-Nisa':23)
Secara tersurat (mantuq) ayat di atas menerangkan bahwa anak tiri yang ikut dipelihara bersama tidak boleh dinikah. Itu berarti dapat difahami secara berbeda (mukhalafah) bahwa "anak tiri yang tidak dipelihara bersama boleh dinikahi". Pemahaman berbeda seperti ini tidak diperbolehkan sebab Allah mengatakan "yang kamu pelihara" hanya berlaku pada umumnya dimana anak tiri biasanya dipelihara ayah tiri karena mengikuti ibunya..
3.        Lafadz yang disebutkan (manthuq) bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan atau sekedar merangsang keinginan seseorang untuk berbuat sesuatu.[13] Seperti contoh;
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ. (رواه البحارى)
“Seorang muslim ialah orang yang mana muslim lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya". (HR. Bukhari)
Secara tersurat bahwa seorang muslim tidak diperbolehkan menyakiti "muslim" lainnya baik dengan lisan maupun tanganya. Dari mantuq tersebut tidak diperbolehkan mengambil hukum berdasarkan kefahaman berbeda (mafhum mukhalafah) yaitu "diperbolehkan mengganggu orang bukan muslim". Sebab perkataan "muslimun" hanya sebagai penguat bahwa sesama orang muslim seharusnya lebih manjalin kerukunan.
4.      Dalil yang di sebutkan harus berdiri sendiri, disebutkan terpisah dan  tidak mengikuti dalil lain. [14]  Seperti contoh firman Allah dalam Al-Baqarah;187:
“Janganlah kamu campuri mereka (isteri-isterimu) padahal kamu sedang beritikaf di mesjid”. (Q.S Al-Baqarah ayat 187)
            Dalil di atas tidak boleh dipahamkan, kalau tidak beritikaf dimasjid, boleh mencampuri istrinya. Sebab dia dalam keadaan berpuasa, baik dalam keadaan iktikaf atau tidak tetap tidak diperbolehkan mencampuri istrinya.
5.      Tidak ada dalil khusus dalam obyek hukum yang difahami dengan mafhum mukholafah. Jika terdapat dalil khusus, maka mafhum mukholafah tersebut tidak dapat digunakan.[15] Seperti firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَى بِالْأُنْثَى
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita ( QS. Al-Baqoroh :2 )
  Dengan menggunakan mafhum mukholafah ayat ini menunjukkan bahwa seorang laki-laki tidak dibunuh (qishas) lantaran menbunuh perempuan. Namun ada nash lain yang menyatakan seorang laki-laki dibunuh (qishas) lantaran menbunuh perempuan, yaitu pada surat al-Maidah : 45 yang berbunyi :
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ
Artinya : Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qisasnya.


IV.             KESIMPULAN
1.      dilalah secara umum adalah memahami sesuatu atas sesuatu. dilalah itu ada dua macam, yaitu dilalah lafdziyah dan dilalah ghairu lafdziyah.
2.      Dalam pandangan ulama’ Syafi’iyyah dan jumhur Ulama’, dilalah itu ada dua macam, yaitu dilalah Mantuq dan mafhum. Mantuq adalah sesuatu (hukum) yang ditunjukkan oleh suatu lafadz dalam tempat pengucapan (tersurat). Sedangkan mafhum adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pengucapan (tersirat).




DAFTAR PUSTAKA
1.      Al-Qur’an dan terjemahnya.
2.      Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009)
3.      Tajudien Abdul Wahhab As-Subkhi, Matn Jam'il jawami'. Juz: I,
4.      Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islam, Jilid I, Damaskus ; Dar al-Fikr, 1986),
5.      Muhammad Abu zahrah, ushul fiqh, pustaka firdaus, Jakarta.  
6.       Muhammad Al-Mahalli, Khasiyah al-banani, dar al-fikr, Beirut,





TAMBAHAN

Macam-macam mafhum mukhalafah[16]
1. Mafhum Shifat
yaitu penunjukan suatu lafaz yang menggunakan suatu sifat terhadap hukum yang berlaweanan pada sesuatu yang tidak disebutkan bila sifat itu tidak ada.
Contoh :
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ  [النساء/25]
Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki (Q.S. An-Nisa ayat 25)
Mafhum mukholafah shifat disana adalah tidak boleh menikah dengan hamba sahaya yang tidak mukmin
2. Mafhum Syarat
yaitu penunjukan suatu lafaz yang pada lafaz itu berlaku hukum yang dikaitkan pada suatu syaratterhadap kebalikan hukum pada sesuatu yang yang tidak disebutkan bila syarat itu tidak disebutkan
contoh :
وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ [الطلاق/6]
Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin
Mafhum Syarat dari ayat tersebut adalah tidak wajib member nafkah pada istri yang ditalaq bain apabila tidak hamil
3. Mafhum ’adad
yaitu penunjukan suatu lafaz yang menjelaskan berlakunya hukum dengan bilangan tertentu, terhadap hukum kebalikannya untuk bilangan lain yang ditentukan itu.
contoh :

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً [النور/4]
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, (Q.S. An-Nur ayat 4)
Mafhum Adad ayat diatas adalah tidak  sahnya pukulan jika kurang dari 80 pukulan
4. Mafhum ghayah
yaitu penunjukan suatu lafaz yang pada lafaz itu ada hukum yang dibatasi dengan limit waktu untuk tidak berlakunya hukum tersebut bila limit waktu sudah berlalu.
Contoh :
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ  [البقرة/230]
Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.( Q.S. Albaqoroh, 230 )
Mafhum ghoyah aayat diatas adalah halal mengawini istri yang telah ditalak tiga jika sudah menikah dengan orang lain dan dicerai.
6. Mafhum Laqaab
yaitu penunjukan suatu lafaz yang menjelaskan berlakunyaq hukum untuk suatu nama atau sebutan tertentu atas tidak berlakunya hukum itu untuk orang lain.
Contoh :
Muhammad itu Utusan Allah
Mafhum laqab dari kata diatas adalah tidak berlakunya kerosulan pada selain Muhammad



[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009) hlm, 126
[2] Ibid, hal. 126-127
[3] Ibid, hal. 128
[4] Ibid, hlm. 128 - 129
[5] Tajudien Abdul Wahhab As-Subkhi, Matn Jam'il jawami'. Juz: I, Hal: 235.
[6] Ibid, hal. 240
[7] Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islam, Jilid I, Damaskus ; Dar al-Fikr, 1986), h. 360
[8] Amir Syarifuddin, op.cit, h. 145
[9] ibid
[10] Tajudien Abdul Wahhab As-Subkhi,op.cit, hal. 241
[11] Ibid, hal. 241
[12] Ibid, Hal: 246
[13] Amir Syarifuddin.op.cit. 156
[14] ibid.hal 157
[15]  Muhammad Abu zahrah, ushul fiqh, pustaka firdaus, Jakarta. hal. 227
[16] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009) hlm, 149-152

Tidak ada komentar:

Posting Komentar