KAMIS
JAM
Ke-2
Ushul
fiqh II
CARA
PENUNJUKAN LAFADZ KEPADA MAKNA
(
DILALAH )
Kelas C1-ELK
Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah : Ushul Fiqh 2
Dosen Pengampu : M Agus Yusrun Nafi’, M,Si
oleh :
M. HARUN MUAFIQ 111655
NURUL HIDAYATI 111638
AHMAD SHOFA 111637
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH / PAI
TAHUN 2013
CARA
PENUNJUKAN LAFADZ KEPADA MAKNA
(
DILALAH )
I.
PENDAHULUAN
Dalam ushul
fiqih, setiap istimbat (pengambilan
hukum) dalam syariat islam harus berpijak pada Al-Qur’an dan sunnah nabi dan
juga adalah menjadi keharusan bagi seorang ahli hukum (fiqih) untuk mengetahui
prosedur penggalian hukum. Untuk kepentingan itu ilmu ushul fiqih telah
menetapkan metodologinya.
Cara penggalian hukum dan nash ada dua macam
pendekatan, yaitu pendekatan makna dan pendekatan lafal. Pendekatan makna
adalah penarikan kesimpulan hukum bukan kepada nash langsung seperti
menggunakan qiyas, istihsan, maslahah mursalah dan lain sebagainya. Sedang
pendekatan lafal penerapannya membutuhkan beberapa faktor pendukung yang sangat
dibutuhkan yaitu penguasaan terhadap makna dari lafal-lafal nash serta
konotasinya dari segi umum dan khusus dan mengetahui dalalahnya.
II.
RUMUSAN MASALAH
a.
Apa pengertian Dilalah ?
b.
Bagaimana Pembagian Dilalah ?`
III.
PEMBAHASAN
a. Pengertian Dilalah
Arti dilalah secara umum adalah memahami sesuatu atas
sesuatu. Kata sesuatu yang disebutkan pertama disebut madlul (yang ditunjuk).
dalam hubungannya dengan hukum, yang disebut dengan madlul itu adalah “hukum”
itu sendiri.[1]
Kata
sesuatu yang disebutkan kedua
kalinya disebut dalil (yang menjadi petunjuk). Dalam hubungannya dengan hukum,
dalil itu disebut dalil hukum.
Ditinjau dari segi bentuk
dalil yang digunakan dalam mengetahui sesuatu, dilalah itu ada dua macam, yaitu
dilalah lafdziyah dan dilalah ghairu lafdziyah.[2]
1. Dilalah lafzhiyyah (petunjuk
berbentuk lafadz)
Yaitu dilalah dengan dalil yang
digunakan untuk memberi petunjuk kepada sesuatu dalam bentuk lafadz, suara atau
kata. Dengan demikian, lafadz, suara dan kata menunjukkan kepada maksud
tertentu. Penunjukannya kepada maksud tertentu itu diketahui melalui 3 hal ;
a. Melalui hal – hal yang bersifat alami yang menunjuk kepada
maksud tertentu yang dapat diketahui oleh setiap orang diseluruh alam ini.
b. Melalui akal. Maksudnya, dengan perantaraan akal pikiran,
seseorang dapat mengetahui bahwa suara atau kata yang didengarnya memberi
petunjuk kepada maksud tertentu.
c. Melalui “istilah” yang dipahami dan digunakan bersama untuk maksud
tertentu. Penunjukan bentuk ini disebut wadh’iyah secara lengkap bisa disebut
dilalah lafdhiyyah wadh’iyyah.
Dari ketiga bentuk dilalah
diatas, dilalah bentuk istilah adalah yang paling dominan dibicarakan dalam
ushul fiqih.
1)
Muthabiqiyyah yaitu bila istilah yang digunakan sebagai dilalah
merupakan keseluruhan yang lengkap dan mencakup unsur yang harus ada pada
istilah tersebut.
2)
Tadhammuniyah yaitu bila istilah yang digunakan sebagai dilalah merupakan
salah satu bagian yang terkandung dalam keutuhan istilah itu. Meskipun hanya
menggunakan salah satu unsur saja, namun sudah dapat menunjukkan maksud yang
dituju.
3)
Iltizhamiyyah yaitu bila dilalahnya bukan arti atau istilah yang sebenarnya,
tetapi merupakan sifat tertentu yang lazim berlaku pada istilah tersebut.
Melalui penyebutan sifat yang lazim itu, orang akan mengetahui apa yang
dimaksud.
Yaitu dalil yang digunakan bukan
dalam bentuk suara, bukan lafadz dan bukan pula dalam bentuk kata. Hal ini
berarti bahwa “diam” atau “tidak bersuaranya” sesuatu dapat pula memberi
petunjuk kepada sesuatu.
Diamnya sesuatu itu dapat
diketahui maksudnya melalui hal – hal sebagai berikut :
a.
Melalui hal – hal yang bersifat
alami yang dapat dipahami oleh semua orang dimana saja,
Contohnya: warna pucat pada wajah
seseorang menunjukan bahwa ia sedang ketakutan. Hal ini dapat diketahui bahwa
secara alamiah tanpa dibuat-buat, bila seseorang berada dalam ketakutan, maka
muka nya akan pucat.pucat itu timbul dengan sendirinya dari rasa takut
itu.penunjukan seperti ini disbut” thabi’iyah”.
b.
Melalui akal, maksudnya meskipun
tidak ada suara atau kata, namun akal dapat mengetahui apa yang terdapat
dibalik diamnya sesuatu.
Contohnya: asap yang mengepul
dari sesuatu menunjukan ada api didalam nya.meskipun tidak ada petunjuk dalam
bentuk suara atau kata, namun seseorang melalui akalnya dapat mengetahui nya,
karena menurut pertimbangan akal:dimana ada asap pasti ada api.penunjukan dalam
bentuk ini disebut “aqliyyah”.
c.
Melalui kebiasaan dalam
menggunakan sesuatu sebagai tanda atau isyarat untuk maksud tertentu.
Contohnya: huruf H didepan nama seorang muslim menunjukan bahwa
orang itu sudah melakukan ibadah haji.penunjukan seperti ini
disebut”wadh’iyah”.
Penggunaan tanda atau isyarat,
baik dengan huruf atau tanda lainnya, banyak digunakan dalam kehidupan.
Bentuk dilalah yang luas
penggunaannya adalah dilalah lafdziyyah karena mengandung maksud yang langsung
dan jelas tentang hukum. Bentuk dilalah dengan “diam” dalam dilalah ghairu
lafdziyyah juga digunakan dalam penunjukkannya terhadap hukum, tetapi
mengundang banyak perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul fiqih.
b. Pembagian Dilalah
Dalam
pandangan ulama’ Syafi’iyyah dan jumhur Ulama’, dilalah itu ada dua macam,
yaitu dilalah Mantuq dan mafhum
Mantuq adalah sesuatu
(hukum) yang ditunjukkan oleh suatu lafadz dalam tempat pengucapan (tersurat).
Jadi mantuq adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafadz di tempat
pembicaraan.[5]
Sedangkan mafhum adalah
sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pengucapan
(tersirat). Jadi mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafadz
tidak dalam tempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman yang terdapat pada ucapan
tersebut. [6]
Seperti firman Allah SWT;
فَلاَ تَقُلْ
لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا (الإسراء:23)
"Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan jangan kamu membentak mereka dan ucapkanla hkepada
merekaperkataan yang mulia". (Q.S Al-Isra’ ayat 23)
Dalam ayat tersebut
terdapat dilalah mantuq dan mafhum. Pengertian mantuq yang tersurat dalam ayat
tersebut adalah diharamkannya berkata yang tidak baik kepada orang tua
(mendesah, membentak, dan mencaci maki). Sedangkan pengertian mafhum yang
tersirat adalah tidak diperbolehkan (haram) menyakiti, memukul atau menyiksa
orang tua.
Pembagian
Mantuq Dan Mafhum
A. Mantuq
Dalam hasanah ilmu ushul fiqh mantuq terbagi menjadi dua bagian yaitu:
1. Mantuq Sarih
Menurut
Wahbah Zuhaili yang dimaksud dengan mantuq sharih ialah penunjukkan lafal
nash yang jelas secara langsung tercakup dalam ungkapan lafal nash.[7]
Manthuq syarih dalam istilah ulama Syafi’iyah ini adalah apa yang di
istilahkan dengan dilalah ibarah dalam pengertian ulama Hanafiyah.[8]
2. Mantuq Ghairu Sarih
Mantuq
gairu sharih ialah penunjukkan lafal nash yang tidak jelas. Dan terbagi menjadi
dua macam:[9]
a.
Penunjukannya itu dimaksud oleh
pembicara
1) Dilalah iqtidha’
Dikalangan ulama
Hanafiyah disebut dilalah iqtidha’ atau iqtidha’ al-nash. Yaitu suatu dilalah
(petunjuk makna lafal nash baru bisa dipahami secara jelas bila ada penambahan
kata untuk memperjelas maksud yang terkandung dari suatu teks nash. Contoh :
“Diharamkan
atas kamu bangkai, darah dan daging babi…”
Pengertian ayat ini
belum jelas. Oleh karena itu diperlukan penjelasan dengan menambah unsur kata
dari luar teks. Untuk kasus dalam ayat ini maksudnya “diharamkan memakan atau memanfaatkan
darah dan daging babi. Sebab keharaman tanpa hubungan dengan perbuatan manusia
tidak ada manfaatnya.
2) Dilalah ima
Yaitu
Penyertaan sifat dengan hukum dalam
bentuk seandainya sifat itu bukan yang menjadi ‘illat untuk hukum tersebut, maka
penyertaan itu tidak ada artinya.
Umpamanya
sabda Nabi kepada seorang Arab pedesaan yang melaporkan kepada beliau bahwa ia
telah menggauli istrinya di siang hari bulan Ramadhan. Nabi bersabda, “Merdekakanlah hamba sahaya”. Jadi
perbuatan mencampuri istri di siang hari bulan Ramadhan menjadi illat untuk
hukum yang disebutkan.
b. Penunjukannya itu tidak dimaksud
oleh pembicara
Hanya
terbatas pada satu bentuk yang disebut “dilalah isyarah” dalam pandangan ulama
Hanafiyah.
B. Mafhum
1. Mafhum Muwafaqah, yaitu apabila hukum yang timbulkan sama dengan
hukum yang difahamkan oleh bunyi lafadz. Seperti contoh hukum haramnya memukul orang tua
sama dengan haramnya membentak orang tua (Q.S. Al-Isra’ ayat 23). Yang mana
hukum haram "memukul" merupakan mafhum dari dalil haramnya
"membentak".
Mafhum
Muwafaqah dibagi menjadi dua bagian:
a).
Fahwal Khitab
Yaitu apabila
hukum yang dipahamkan lebih utama (berat) daripada yang diucapkan. Seperti
"memukul" orang tua haram hukumnya karena merupakan hukum mafhum dari
haramnya "membentak" orang tua. Bahkan "memukul" dapat
dikatakan lebih tidak diharamkan karena tidak hanya dapat menimbulkan sakit
hati, namun lebih dari itu juga dapat menimbulkan luka fisik. [11]
b).
Lahnal Khitab
Yaitu apabila
hukum yang dipahamkan sama derajatnya daripada dengan yang diucapkan. Seperti
contoh "membakar" harta anak yatim hukumnya haram karena merupakan
mafhum dari memakan harta anak yatim dengan dhalim, sebagaimana firman Allah
SWT:
إِنَّ
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي
بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا [النساء: 10]
"Sesungguhnya orang-orang yang memakan
harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh
perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)". (Q.S. An-Nisa:
10)
Secara tekstual (mantuq) dikatakan bahwa
memakan harta anak yatim dengan dzalim hukumnya haram. Kemudian juga muncul
hukum haram "membakar" harta anak yatim berdasarkan teori mafhum. Antara
"memakan" yang dijelaskan secara mantuq derajatnya sama dengan
"membakar" yang dihasilkan dari kefahaman, yaitu sama-sama merusak
harta anak yatim.
2. Mafhum
Mukhalafah,
yaitu pengertian hukum yang dipahami berbeda daripada ucapan (mantuq), baik
dalam istbat (menetapkan) maupun nafi (mentiadakan). Seperti
firman Allah SWT:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ
فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ. (الجمعة:9)
"Hai orang-orang yang beriman, apabila
diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat
Allah dan tinggalkanlah jual beli". (Al-Jum'ah: 9)
Ayat
di atas secara tekstual (mantuq) menerangkan haramnya transaksi jual beli pada
saat sudah dikumandangkan shalat jum'at. Dari ayat tersebut pula dapat diambil
kefahaman bahwa sebelum dikumandangkan shalat jum'at atau sesudah dilakukanya
shalat jum'ah diperbolehkan berjualan. Kefahaman hukum tersebut disebut mafhum
mukhalafah. Karena hukum mantuq berbeda denan hukum mafhum.
Syarat-Syarat Hujjah
Dengan Mafhum Mukhalafah
Karena mafhum
mukhalafah adalah proses hukum yang bertentangan dengan hukum mantuq, maka
diperlukan beberapa syarat agar hukum yang ditelorkan menjadi shahih. Untuk
syahnya mafhum mukhalafah diperlukan beberapa syarat yaitu : [12]
1.
Mafhum Mukhalafah harus tidak berlawanan dengan
dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq maupun mafhum muwafaqah. Contoh yang
berlawanan dengan dalil mantuq:
وَلاَ
تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاق [الإسراء :31]
“Jangan kamu bunuh
anak-anakmu karena takut kemiskinan”. (Q.S. Isra’
ayat 31).
Ayat
tersebut di atas secara tekstual menerangkan haramnya membunuh anak karena
"takut muskin". Mafhum mukhalafah-nya berarti "membunuh anak
tidak karena takut miskin". Dalam hal ini mengambil hukum dari mafhum
mukhalafah tidak diperbolehkan sebab bertentangan dengan dalil mantuq yang lain
yaitu;
وَلَا
تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَ بِالْحَقِّ. [الإسراء
:33]
“Jangan kamu membunuh
manusia yang dilarang Allah kecuali dengan kebenaran". (QS. Isra’:33)”
Berdasarkan
dalil mantuq di atas, baik takut miskin (mantuq) maupun tidak takut miskin
(mafhum) tetap tidak boleh dijadikan alasan membunuh anak.
Contoh
mafhum mukhalafah yang berlawanan dengan mafhum muwafaqah:
فَلاَ تَقُلْ
لَهُمَا أُفٍّ. (الإسراء:23)
"Maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”.(Q.S Al-Isra’ ayat 23)
Berdasarkan
ayat di atas secara mantuq disebutkan tidak boleh berkata-kata kasar terhadap
orang tua. Apa bila difahami dengan mafhum mukhalafah berarti selain
berkata-kata kasar seperti memukul diperbolehkan. Pemahaman terbalik (mafhum mukhalafah) seperti ini tidak
dibenarkan karena bertentangan mafhum muwafaqahnya, yaitu "tidak boleh
memukul".
2.
Yang disebutkan (manthuq) bukan suatu hal yang
biasanya terjadi. Seperti contoh;
وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ
نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ. (النساء. 23)
"Dan
anak-anak (tiri) istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu
campuri". (QS. An-Nisa':23)
Secara tersurat (mantuq) ayat di atas menerangkan
bahwa anak tiri yang ikut dipelihara bersama tidak boleh dinikah. Itu berarti
dapat difahami secara berbeda (mukhalafah) bahwa "anak tiri yang tidak
dipelihara bersama boleh dinikahi". Pemahaman berbeda seperti ini tidak
diperbolehkan sebab Allah mengatakan "yang kamu pelihara" hanya
berlaku pada umumnya dimana anak tiri biasanya dipelihara ayah tiri karena
mengikuti ibunya..
3.
Lafadz yang disebutkan (manthuq) bukan
dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan atau sekedar merangsang keinginan
seseorang untuk berbuat sesuatu.[13]
Seperti contoh;
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ.
(رواه البحارى)
“Seorang muslim
ialah orang yang mana muslim lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya".
(HR. Bukhari)
Secara tersurat bahwa seorang muslim tidak
diperbolehkan menyakiti "muslim" lainnya baik dengan lisan maupun
tanganya. Dari mantuq tersebut tidak diperbolehkan mengambil hukum berdasarkan
kefahaman berbeda (mafhum mukhalafah) yaitu "diperbolehkan mengganggu
orang bukan muslim". Sebab perkataan "muslimun" hanya sebagai
penguat bahwa sesama orang muslim seharusnya lebih manjalin kerukunan.
4.
Dalil yang di sebutkan harus berdiri sendiri,
disebutkan terpisah dan tidak mengikuti dalil
lain. [14] Seperti contoh firman Allah dalam
Al-Baqarah;187:
“Janganlah
kamu campuri mereka (isteri-isterimu) padahal kamu sedang beritikaf di mesjid”.
(Q.S Al-Baqarah
ayat 187)
Dalil
di atas tidak boleh dipahamkan, kalau tidak beritikaf dimasjid, boleh
mencampuri istrinya. Sebab dia dalam keadaan berpuasa, baik dalam keadaan
iktikaf atau tidak tetap tidak diperbolehkan mencampuri istrinya.
5.
Tidak ada dalil khusus dalam obyek hukum yang
difahami dengan mafhum mukholafah. Jika terdapat dalil khusus, maka mafhum
mukholafah tersebut tidak dapat digunakan.[15]
Seperti firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ
وَالْأُنْثَى بِالْأُنْثَى
Artinya
: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba, dan wanita dengan wanita ( QS. Al-Baqoroh :2 )
Dengan
menggunakan mafhum mukholafah ayat ini menunjukkan bahwa seorang laki-laki
tidak dibunuh (qishas) lantaran menbunuh perempuan. Namun ada nash lain yang
menyatakan seorang laki-laki dibunuh (qishas) lantaran menbunuh perempuan,
yaitu pada surat al-Maidah : 45 yang berbunyi :
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا
أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ
بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ
Artinya : Dan Kami telah tetapkan
terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa,
mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan
gigi, dan luka luka (pun) ada qisasnya.
IV.
KESIMPULAN
1.
dilalah secara umum adalah
memahami sesuatu atas sesuatu. dilalah itu ada dua macam, yaitu dilalah
lafdziyah dan dilalah ghairu lafdziyah.
2.
Dalam
pandangan ulama’ Syafi’iyyah dan jumhur Ulama’, dilalah itu ada dua macam,
yaitu dilalah Mantuq dan mafhum.
Mantuq adalah sesuatu (hukum) yang ditunjukkan oleh suatu lafadz dalam tempat
pengucapan (tersurat). Sedangkan mafhum adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh
suatu lafadz tidak dalam tempat pengucapan (tersirat).
DAFTAR PUSTAKA
1.
Al-Qur’an
dan terjemahnya.
2.
Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqih (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2009)
3.
Tajudien
Abdul Wahhab As-Subkhi, Matn Jam'il jawami'. Juz: I,
4.
Wahbah
Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islam,
Jilid I, Damaskus ; Dar al-Fikr, 1986),
5.
Muhammad
Abu zahrah, ushul fiqh, pustaka firdaus, Jakarta.
6.
Muhammad
Al-Mahalli, Khasiyah al-banani, dar al-fikr, Beirut,
TAMBAHAN
Macam-macam
mafhum mukhalafah[16]
1. Mafhum
Shifat
yaitu penunjukan suatu lafaz yang menggunakan suatu sifat
terhadap hukum yang berlaweanan pada sesuatu yang tidak disebutkan bila sifat
itu tidak ada.
Contoh
:
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ
الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ [النساء/25]
” Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup
perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini
wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki” (Q.S. An-Nisa
ayat 25)
Mafhum mukholafah shifat disana adalah tidak
boleh menikah dengan hamba sahaya yang tidak mukmin
2. Mafhum
Syarat
yaitu penunjukan suatu lafaz yang pada lafaz itu berlaku
hukum yang dikaitkan pada suatu syaratterhadap kebalikan hukum pada sesuatu
yang yang tidak disebutkan bila syarat itu tidak disebutkan
contoh
:
وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى
يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ [الطلاق/6]
Dan
jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka
berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin
Mafhum Syarat dari ayat tersebut adalah tidak wajib member
nafkah pada istri yang ditalaq bain apabila tidak hamil
3. Mafhum
’adad
yaitu
penunjukan suatu lafaz yang menjelaskan berlakunya hukum dengan bilangan
tertentu, terhadap hukum kebalikannya untuk bilangan lain yang ditentukan itu.
contoh
:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ
شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً [النور/4]
Dan
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera,
(Q.S. An-Nur ayat 4)
Mafhum Adad ayat diatas adalah tidak sahnya pukulan jika kurang dari 80 pukulan
4. Mafhum
ghayah
yaitu penunjukan suatu lafaz yang pada lafaz itu ada hukum
yang dibatasi dengan limit waktu untuk tidak berlakunya hukum tersebut bila
limit waktu sudah berlalu.
Contoh
:
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ
زَوْجًا غَيْرَهُ [البقرة/230]
Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang
kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan
suami yang lain.( Q.S. Albaqoroh, 230 )
Mafhum ghoyah aayat diatas adalah halal mengawini istri yang
telah ditalak tiga jika sudah menikah dengan orang lain dan dicerai.
6. Mafhum
Laqaab
yaitu penunjukan suatu lafaz yang menjelaskan berlakunyaq
hukum untuk suatu nama atau sebutan tertentu atas tidak berlakunya hukum itu
untuk orang lain.
Contoh :
Muhammad itu Utusan Allah
Mafhum laqab dari kata diatas adalah tidak berlakunya
kerosulan pada selain Muhammad
[1]
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2009) hlm, 126
[2]
Ibid, hal. 126-127
[3]
Ibid, hal. 128
[4]
Ibid, hlm. 128 - 129
[5]
Tajudien Abdul Wahhab As-Subkhi, Matn Jam'il jawami'. Juz: I, Hal: 235.
[6]
Ibid, hal. 240
[7]
Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islam,
Jilid I, Damaskus ; Dar al-Fikr, 1986), h. 360
[8]
Amir Syarifuddin, op.cit, h. 145
[9]
ibid
[10]
Tajudien Abdul Wahhab As-Subkhi,op.cit, hal. 241
[11]
Ibid, hal. 241
[12]
Ibid, Hal: 246
[13]
Amir Syarifuddin.op.cit. 156
[14]
ibid.hal 157
[15] Muhammad Abu zahrah, ushul fiqh, pustaka
firdaus, Jakarta. hal. 227
[16]
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2009) hlm, 149-152
Tidak ada komentar:
Posting Komentar