SYARAT RUKUN
NIKAH
Disusun Guna
Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah :
Hadis II (Ahkami)
Dosen Pengampu
: Moh. Dzofir, M.Ag
Disusun
oleh :
Muhammad Nur Faiq 111632
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH / PAI
TAHUN 2014
A.
TEKS HADIST
حَدَّثَنَا
وَكِيعٌ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ عَنْ إِسْرَائِيلَ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ
عَنْ أَبِيهِ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيّ .
( مسند أحمد - ج 40 / ص 14)
Dari Waki’dan Abdurrahman dari Isro’il dari Abi Ishaq dari ayahnya berkata : Rosulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak sah nikah kecuali dengan wali."
B. TAKHRIJ HADITS
Hadits
dari kajian ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Waki’dan Abdurrahman dari
Isro’il dari Abi Ishaq dari ayahnya. Hadits tersebut dinilai shahîh oleh Ibn
al-Madiniy dan at-Turmudziy serta Ibn Hibban yang menganggapnya memiliki ‘illat
(cacat), yaitu al-Irsal (terputusnya mata rantai jalur transmisinya setelah
seorang dari Tabi’in, seperti bila seorang Tabi’i berkata, “Rasulullah
bersabda, demikian…”).
Hadis ini
dikatakan Mursal melihat riwayat dari syu’bah dan al Tsauri yang meriwayatkan
mursal dari Abi Ishaq.[1] Namun
sebagaimana ditegaskan oleh imam Bukhori, hadis ini adalah Muttasil. Hal ini
disepakati pula oleh beberapa ahli hadis seperti Ibn al-Madini, al-Tirmidhi,
‘Abdurrahman bin Mahdi, al-Hakim, al-Daruqthni dan lain-lain. [2]
Menurut
ibnu Katsir, hadis ini dikeluarkan oleh Abu Daud, at-Turmudziy, ath-Thahawiy,
Ibn Hibban, ad-Daruquthniy, al-Hâkim, al-Baihaqiy dan selain mereka dari
Isroil, Abu ‘Awanah, Syarik Al Qadli, Qais bin Robi’ yunus bin abi Ishaq,
Zuhair bi Mu’awiyah yang semuanya dari Abi Ishaq. Hadits ini dinilai shahîh
oleh Ibn al-Madiniy, Ahmad, Ibn Ma’in, at-Turmudziy, adz-Dzuhliy, Ibn Hibban
dan al-Hâkim serta disetujui oleh Imam adz-Dzahabiy. AlHafidl Al Dliya
menegaskan bahwa semua Rowi hadis ini adalah Tsiqoh. [3]Dan
bahkan” Al-Hâkim menyebutkan 30 orang shahabat yang semuanya meriwayatkannya. [4]
C. KANDUNGAN HADITS
Rukun dan syarat adalah
sesuatu bila ditinggalkan akan menyebabkan sesuatu itu tidak syah. Di
dalam rukun dan syarat pernikahan terdapat beberapa pendapat, yaitu sebagai
contoh menurut Abdullah Al-Jaziri dalam bukunya Fiqh ‘Ala Madzahib
Al-‘arba’ah menyebutkan yang termasuk rukun adalah Al-ijab
dan Al-qabul dimana tidak ada nikah tanpa keduanya.[5]
Menurut Sayyid Sabiq juga menyimpulkan menurut fuqoha’, rukun nikah
terdiri dari Al-ijab dan Al-qabul sedangkan yang lain termasuk ke
dalam syarat.
Menurut Hanafiyah, rukun
nikah terdiri dari syarat-syarat yang terkadang dalam Sighat, berhubungan dengan dua calon
mempelai dan berhubugan dengan kesaksian. Menurut Syafiiyyah meliht
syarat perkawinan itu ada kalanya menyangkut Sighat, wali, calon
suami-istri dan juga Syuhud. Menurut Malikiyah, rukun nikah ada
5: wali, mahar, calon suami-istri, dan Sighat. Jelaslah para ulama tidak
saja membedakan dalam menggunakan kata rukun dan syarat tetapi juga berbeda
dalam detailnya. Malikiyah tidak menetapkan saksi sebagai rukun,
sedangkn syafi’i menjadikan 2 orang saksi menjadi rukun.
Menurut jumhur ulama rukun
perkawinan ada 5, dan masing-masing rukun itu mempunyai syarat tertentu. Syarat dan rukun adalah :
1.
shighat (ijab-kabul)
2. kedua
calon mempelai
3.
wali
4.
saksi
Di dalam Kompilasi Hukum
Islam pasal 14 menyatakan bahwa untuk melaksanakan perkawinan harus ada : (1)
Calon suami, (2) Calon istri, (3) Wali nikah, (4) Dua saksi, (5) Ijab dan
Qobul.[6]
1. Shighat (Ijab-Qabul)
Pengertian akad nikah
menurut KHI dalam pasal 1 bagian c akad nikah ialah: rangkaian ijab yang
diucapkan oleh wali dan Kabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya
disaksikan oleh 2 orang saksi.
Di dalam fiqh ‘ala mazahibul
‘arba’ah syarat Ijab-Qabul adalah:
- Jika dengan lafadz yang khusus seperti ankahtuka atau zawwajtuka
- Jika pengucapan Ijab-Qabul pada satu majlis
- Jika tidak bertentangan antara ijab dan Qobul. Contohnya ketika seorang wali mengatakan saya nikahkan kamu dengan anak perempuanku dengan mas kawin seperangkat alat shalat dibayar tunai, lalu calon suami menjawab saya terima nikahnya tapi saya tidak menyetujui mas kawin tersebut.
- Tidak boleh lafadz Ijab-Qabul terbatas waktu. Kalau lafadz Ijab-Qabul terbatas waktu maka hukumnya menjdi nikah mut’ah.[7]
. Boleh dengan maknanya bagi
orang selain Arab/‘ajam.
Boleh menggunakan selain
bahasa Arab asal bisa dipahami oleh kedua belah pihak.
Syarat bentuk kalimat ijab
dan Qabul: para fuqaha’ telah mensyaratkan harus dalam bentuk madzi (lampau)
bagi kedua belah pihak. Atau salah satunya dengan bentuk madhi,
sedangkan lainnya berbentuk mustaqbal (yang datang). Contoh untuk bentuk
pertama adalah si wali mengatakan, Uzawwajtuka ibnatii (aku nikahkan
kamu dengan putriku), sebagai bentuk madhi. Lalu si mempelai laki-laki
menjawab, Qabiltu (aku terima), sebagi bentuk madhi juga.
Sedangkan contoh bagi bentuk kedua adalah si wali mengatakan: Uzawwijuka
ibnatii (aku akan menikahkanmu dengan putriku), sebagai bentuk mustakbal.
Lalu si mempeli laki-laki menjawab: Qabiltu (aku terima nikahnya),
sebagai bentuk madhi.[8]
Mereka mensyaratkan hal
itu, karena adanya persetujuan dari kedua belah pihak merupakan rukun yang
sebenarnya bagi akad nikah. Sedangkan Ijab dan Qabul hanya merupakan
manifestasi dari persetujuan tersebut. Dengan kata lain kedua belah pihak harus
memperlihatkan secara jelas adanya persetujuan dan kesepakatan tersebut pada
waktu akad nikah berlangsung. Adapun bentuk kalimat yang dipakai menurut syari’at
bagi sebuah akad nikah adalah bentuk madhi. Yang demikian itu, juga
karena adanya persetujuan dari kedua belah pihak yang bersifat pasti dan tidak
mengandung persetujuan lain.
Di lain pihak, bentuk mustaqbal
tidak menunjukkan secara pasti persetujuan antara kedua belah pihak tersebut
pada saat percakapan berlangsung. Sehinggaa, jika salah seorang di antaranya
mengatakan : Uzawwajtuka ibnatii (aku nikahkan kamu dengan putriku).
Lalu pihak yang lain menjawab : Aqbalu nikahaha (aku akan menerima
nikahnya). Maka, bentuk tersebut tidak dapat mensahkan akad nikah. Karena,
kalimat yang dikemukakan mengandung pengertian yang bersifat janji, sedangkan
perjanjian nikah untuk masa mendatang belum disebut sebagai akad pada saat itu.
Seandainya mempelai
laki-laki mengatakan zawwijnii ibnataka (nikahkan aku dengan putrimu),
lalu si wali mengatakan : Zawwajtuha laka (aku telah menikahkannya
untuk kamu). Maka dengan demikian akad nikah pada saat itu telah terlaksana.
Karena, kata Zawwijnii (nikahkan aku) menunjukkan arti perwakilan dan akad
nikah itu dibenarkan jika diwakili oleh salah satu dari kedua belah pihak.
Menurut Kompilasi Hukum Islam :
pasal 27 :
1.
Ijab dan Qabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan
tidak berselang waktu.
pasal 28 :
1)
Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang
bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan pada orang lain.
Pasal 29 :
(1) Yang berhak
mengucapkan Qabul ialah calon mempelai pria secara pribadi.
(2) Dalam hal-hal tertentu ucapan
Qabul nikah dapat dilakukan pada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria
memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah
itu adalah untuk mempelai pria.[9]
2. Sifat-sifat/ syarat calon
kedua mempelai yang baik
Sifat-sifat calon mempelai
yang baik seperti yang digambarkan oleh nabi Muhammad ialah
تنكح المراءة
لاربع لمالها ولحسبها وجمالها ولدينها
“Nikahilah seorang wanita yang
mempunyai ciri-ciri empat dari hartanya, dari keturunannya , dari dari
kecantikannya, dari agamanya. Diriwayatkan oleh Bukhari“.
Untuk syarat seorang
laki-laki sama dengan sifat yang dimiliki oleh seorang wanita tinggal
kebalikanya.
Syarat-syarat calon suami
lainnya adalah:
- Tidak dalam keadaan ihrom, meskipun diwakilkan.
- Kehendak sendiri
- Mengetahui nama, nasab, orang, serta keberadaan wanita yang akan dinikahi.
- Jelas laki-laki
Syarat-syarat calon istri:
- Tidak dalam keadaan ihrom
- Tidak bersuami
- Tidak dalam keadaan iddah (masa penantian)
- Wanita.[10]
3. Wali
Wali adalah rukun dari beberapa rukun pernikahan yang
lima, dan tidak syah nikah tanpa wali laki-laki.
Dalam KHI pasal 19 menyatakan
wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon
mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.
Dalam hadis nabi :
لا نكاح الا
بولي وشاهدي عدل وما كان من نكاح غير ذالك فهو باطل
Yang artinya: Tidak ada pernikahan kecuali dengan
wali dan dua saksi yang adil. Jika ada pernikahan tanpa itu maka pernikahan itu
dianggap batal. (HR. Ibnu Hiban)
Syarat-syarat wali :
1.
Islam
2.
Sudah baligh
3.
Berakal sehat
4.
Merdeka
5.
Laki-laki
6.
Adil
7.
Sedang tidak melakukan ihram
yang diprioritaskan menjadi wali:
1.
Bapak.
2.
Kakek dari jalur Bapak
3. Saudara
laki-laki kandung
4.
Saudara laki-laki tunggal bapak
5.
Kemenakan laki-laki (anak laki-lakinya saudara laki-laki sekandung)
6.
Kemenakan laki-laki (anak laki-laki saudara laki-laki bapak)
7.
Paman dari jalur bapak
8. Sepupu
laki-laki anak paman
9.
Hakim bila sudah tidak ada wali –wali tersebut dari jalur nasab.
Bila sudah benar-benar
tidak ditemui seorang kerabat atau yang dimaksud adalah wali di atas maka
alternatif berdasarkan hadis Nabi adalah pemerintah atau hakim kalau dalam
masyarakat kita adalah naib.
Wali dapat di pindah oleh hakim
bila:
1.
Jika terjadi pertentangan antar wali.
2.
Jika tidak adanya wali, ketidak adanya di sini yang dimaksud adalah
benar-benar tidak ada satu kerabat pun, atau karena jauhnya tempat sang wali
sedangkan wanita sudah mendapatkan suami yang kufu’.
Wali nikah terdiri dari: wali
nasab dan wali hakim.
Pada pasal 21 dibahas
empat kelompok wali nasab yang pembahasanya sama dengan fikih Islam seperti pertama,
kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas. Kedua, kelompok kerabat
saudara laki-laki saudara kandung, seayah dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga,
kelompok kerbat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan
keturunan laki-laki mereka. Kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara
laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.
Menyangkut dengan wali hakim
dinyatakan pada pasal 23 yang berbunyi:
- Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadiri atau tidak diketahui tempat tinggal atau ghaibnya atau ‘adhalnya atau enggan.
- Dalam hal wali ‘adhal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan agama tentang wali tersebut.[11]
4. Saksi
Imam Abu Hanifah, Imam
Syafii, dan Imam Malik bersepakat bahwa saksi termasuk syarat dari beberapa
syarat syahnya nikah. Dan ulama’ jumhur berpendapat bahwa pernikahan
tidak dilakukan kecuali dengan jelas dalam pengucapan ijab dan qabul, dan tidak
boleh dilaksanakan kecuali dengan saksi-saksi hadir langsung dalam pernikahan
agar mengumumkan atau memberitahukan kepada orang-orang.
Dalam hadis yang diriwayatkan
oleh Abdullah bin Abbas dari nabi SAW bersabda:
لا نكاح الا
بشاهدي عدل وولي مرشد
Dan sahabat tidak berselisih
faham tentang hal itu.
Syarat-syarat saksi : Islam,
Baligh, Berakal, mendengarkan langsung perkataan Ijab-Qabul, dua orang
laki-laki dan yang terpenting adil.
Abu Hanifah berpendapat bahwa
jika pernikahan dihadiri oleh dua saksi yang fasik tidak apa-apa karena maksud
saksi di sini adalah untuk pengumuman. Untuk Imam Syafii mempunyi pendapat
bahwa saksi mengandung dua arti, yaitu pengumuman dan penerimaan jadi
disyaratkan saksi yang adil.
Dalam KHI pasal 24 ayat 2:
setiap perkawinan harus disaksikan 2 orang saksi.
Dalam hal kesaksian seorang
wanita, Syafiiyyah dan Hanabilah mensyaratkan dalam kesaksian adalah seorang
laki-laki. Jika pernikahan saksinya adalah seorang laki-laki dan dua orang
wanita maka tidak syah pernikahan itu berdasarkan hadis Nabi SAW:
ان لا يجوز
شهادة النساء في الحدود, ولا في النكاح, ولا في الطلاق.
Yang artinya tidak
diperbolehkan kesaksian seorang wanita dalam hukuman, pernikahan dan dalam
percerian.
Tetapi Hanafiyah tidak
mensyaratkan hal itu, dan berpendapat bahwa saksi adalah dua orang laki-laki
atau dengan satu orang laki-laki dan dua orang wanita. Berdasarkan surat al
Baqarah ayat 282:
وشتشهدوا شهيدين
من رجالكم فاءن لم يكونا رجلين فرجل وامراتان ممن ترضون من الشهداء.
Artinya :
Persaksian dengan dua orang saksi
dari orang-orang lelaki di antaramu, jika tidak ada dua orang lelaki, maka
(boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu
ridhai.
KHI menyatakan Dalam pasal 24
ayat 1: saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Salam,
Ibanah al ahkam
Abdurrahman
Al-Jaziri, Fiqh
‘Ala Madzahib Al-‘Arba’ah (Mesir: al-Maktab Attijariyyati al-Qubro)
UU RI nomor 1
tahun 1974 Tentang
Perkawianan dan Kompilasi Hukum Islam (Bandung : Citra Umbara)
Al-Jaziri, Fiqh
A’la Madzahib Al-Arba’ah
Syaikh Kamil
Muhammad ‘Uwaidah, Fiqh Wanita, terj. Abdul Ghoffar
(Jakarta, Pustaka al- Kautsar)
EM. Yusmar, Wanita
dan Nikah Menurut Urgensinya (Kediri: Pustaka ‘Azm)
Nuruddin
dan Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia
(Jakarta: Prenada Media)
[1]
Ahmad Al Asqalani, Subul As salam,Dahlan,Bandung, hal. 117
[2]
Abdul Salam, Ibanah al ahkam, Hal 259
[3]
Ahmad Al Asqalani, op.cit, h.117
[4]
Abdul Salam, op.cit hal. 259
[5]
Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh ‘Ala Madzahib Al-‘Arba’ah
(Mesir: al-Maktab Attijariyyati al-Qubro), 20
[6] UU
RI nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawianan dan Kompilasi Hukum
Islam (Bandung : Citra Umbara), 232
[7]
Al-Jaziri, Fiqh A’la Madzahib Al-Arba’ah, 27
[8]
Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqh Wanita, terj. Abdul
Ghoffar (Jakarta, Pustaka al- Kautsar), 404
[9]
Ibid, 236.
[10]
EM. Yusmar, Wanita dan Nikah Menurut Urgensinya
(Kediri: Pustaka ‘Azm), 16
[11]
Nuruddin dan Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia
(Jakarta: Prenada Media), 73
Tidak ada komentar:
Posting Komentar