Sabtu, 02 Januari 2016

hukum taklifi



BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Dalam  kegiatan  keag
amaan  dalam  pelaksanaan beribadah ada suatu aturan  atau hokum yang harus ditaati oleh pemeluknya. Hukum  ini berasal dari  tuhan  yang  tak tidak bisa di bantah kebenarannya. Dalam islam menurut para ulama hokum ini disebut hokum syara’.  Hokum syara’ menurut  istilah ulama ahli ushul adalah khithob (doktrin) syar’I yang berhubungan dengan perbuatan  mukallaf  baik berupa tuntutan, pilihan, atau  ketetapan. Yang dimaksud dengan  menyangkut  perbuatan  mukallaf  adalah  perbuatan yang dilakukan oleh manusia dewasa yang berakal, sehat  meliputi perbuatan hati seperti firman Allah SWT


Artinya: “ penuhilah  janji”
Adapun doktrin syar’i Allah yang berhubungan dengan menepati janji dengan  tuntutan melaksanakan Nash yang keluar dari syar’i  yang menunjukkan  tuntutan, pilihan, atau ketetapan  itulah yang disebut hukum  syara’ menurut istilah ahlu ushul.
Hukum syara’ menurut  istilah ahli fiqih adalah pengaruh ditimbulkan oleh doktrin syar’i dalam perbuatan  mukallah, seperti kewajiban, keharaman, dan kebolehan. Jadi firman Allah                   (penuhi janji), maksudnya adalah kewajiban memenuhi janji. Nash itu sendiri adalah  hokum menurut istilah ahli ushul, sedangkan kewajiban memenuhi adalah hokum menurut istilah ahli fiqih.
Dari pengertian hukum syara’ menurut istilah ahli ushul dapat disimpulkan bahwa hukum itu tidak  hanya satu macam. Para ahli ushul memberi istilah pada hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf  dalam  bentuk tuntutan atau pilihan dengan  hukum  taklifi, dan hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf  dalam bentuk ketetapan dengan hukum wadh’i.
Namun dalam kesempatan kali ini pemakalah akan menyampaikan tentang hukum taklifi.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian hukum taklifi itu?
2.      Apa macam-macam hukum taklifi itu?









BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hukum  Taklifi
Hukum taklifi menurut bahasa adalah hukum pemberi beban, sedangkan menurut istilah ialah ketentuan Allah SWT yang menuntut mukallaf (balig dan berakal sehat) untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan atau bentuk pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan . Tuntukan Allah untuk melakukan suatu perbuatan, misalnya firman Allah dalam Al qur’an sutat al baqoroh ayat 110:


Artnya:“Dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat” (QS. Al Baqaroh:110)
Dan tuntutan Allah SWT untuk meninggalkan suatu perbuatan, misalnya firman Allah SWT dalam Al Qur’an surat Al Isyro’ ayat 33:


Artinya: “ Dan  janganlah kamu mem bunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan suatu alasan yang benar. (QS. Al Isyra’: 33).
Tuntutan Allah SWT yang mengandung pilihan untuk melakukan suatu perbuatan atau  meninggalkannya seperti firman Allah SWT dalam surah al -jumu’ah ayat 10:


Artinya:“ Apabila telah ditunaiakn shalat, maka bertebaranlah kamu dimuka bumi dan carilah karunia Allah” (QS. Al jumu’ah, 10)

B.     Pembagian  hukum  taklifi

Hukum taklifi terbagi kedalam lima bagian, yaitu
1.      Wajib
Yaitu khitab syar’I yang  menuntut agar dilakukan suatu perbuatan dengan tuntutan  yang  pasti, sehingga orang yang melakukan sesuatu yang wajib akan  mendapat pahala dan  menunggalkannya mendapat dosa atau siksa. Seperti kewajiban  shalat. Firman Allah SWT:


 “….maka diirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman “(Q.S. An-Nisa 103).
Jumhur fuqaha menyatakan antara wajib dan fardhu, sedangkan ulama’ hanafiyah membedakan kedua istilah ini. Apabila tuntutan untuk mengerjakan sesuatu perbuatan  itu berdasarkan dalil-dalil qath’i, baik dari Al-Qur’an maupun Hadits Mutawatir, maka dinamai fardhu, dan apabila berdasarkan dalil-dalil zhanni, yakni Hadits-hadits ahad, maka disebut wajib.  
2.      Mandub atau Sunah
Yaitu kitab syar’I yang menuntut agar dilakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak harus dikerjakan sehingga orang yang melakukan nadb akan mendapat pahala dan meninggalkannya tidak mendapatkan dosa.
Contohnya firman Allah SWT :


“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu saling memperhutangkan dengan suatu hutang sampai waktu yang ditentukan hendalah kamu menulisnya….”(Q.S. Al-Baqarah:282)

Menulis dan mecatat hutang itu tidaklah wajib,walaupun dalam firman tersebut dilukiskan dengan fiil amr, yang pada umumnya fi’il amr itu mengandung arti wajib, dikarenakan pada perintah tersebut didapatkan suatu qarinahyang menunjuk pada ketidak wajibannya mencatat hutang-piutang. Yakni firman Allah SWT:


“Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya…” (Q.S.Al-Baqarah:283)

3.      Haram
     Yaitu khitab syar’i yang menuntut untuk meninggalkan suatu  perbuatan dengan tuntutan yang tegas. Sehingga orang yang melakukan hal yang haram akan mendapat dosa atau siksa sedangkan orang yang meninggalkannya mendapat pahala.

Contohnya firman Allah SWT :

 “Katakanlah:”Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia…”(Q.S. Al-An’am:151).



4.      Makruh
Yaitu kitab syar’i yang menuntut untuk meninggalkan perbuatan dengan tuntutan yang tidak tegas agar ditinggalkan. Sehingga orang yang melaksanakannya tidak mendapat dosa sedangkan orang yang meninggalkannya mendapat pahala.
Contoh firman Allah SWT :



“Hai orang-orang yang beriman , janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkanmu…” (Q,S. Al-Maidah :101).
Larangan menanyakan sesuatu yang membahayakan itu adalah makruh bukan haram, karena Allah SWT  memerintahkan kepada kita untuk menanyakan kepada para ahli tentang ha-hal yang belum kita ketahui. Firman Allah SWT:



“Tanyakanlah kepada para ahli jika kamu tidak mengerti” (Q,S. An-Nahl :43).

5.      Mubah
Yaitu khitab syar’i yang mengandung hak pilihan bagi orang mukallaf antara mengerjakan atau meninggalkannya. Sehingga orang yang melaksanakannya maupun orang yang meninggalkannya tidak mendapat pahala atau dosa.
Contohnya firman Allah SWT :

“Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakan bangkai, darah dan daging babi), sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya” (Q.S. Al-Baqarah :173).

C.    Hukum-hukum menurut Fuqaha
1.      Wajib
     Para ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa hokum wajib itu bisa                      dibagi dari berbagai segi , yaitu:
a.       Dilihat dari segi waktu, wajib dibagi atas wajib muthlaq dan wajib al-mu’aqqot.
 Wajib muthlaq adalah wajib sesuatu yang dituntut syar’I untuk di laksanakan mukallaf tanpa ditentukan waktunya. Misalnya, kewajiban membayar kafarat sebagai hukuman bagi orang yang melanggar sumpahnya. Orang yang ber sumpah tanpa mengaitkan dengan waktu, lalu ia melanggar sumpahnya itu, maka kafarat-nya boleh dibayar kapan saja.

Adapun wajib al-m’aqqot adalah kewajiban yang harus dilaksanakan orang mukallaf pada waktu-waktu tertentu seperti puasa romadhon. Wajib al-mu’aqqat terbagi lagi dalam tiga macam, yaitu :
1.      Wajib muwassa’, yaitu kewajiban yang ditentukan watunya tetapi waktunya ini cukup lapang sehingga dalam waktu itu bisa juga dikerjakan amalan yang sejenis misalnya waktu-watu yang ditentukan untuk melakukan shalat. Jadi ketika seorang mukallaf mrlakukan shalat dzuhur, ia juga bisa melakukan shalat sunah.
2.    Wajib mudhayyaq, yaitu kewajiban yang waktunya secara khusus dipeuntukkan pada suatu amalan dan waktuunyaitu tidak bisa digunakan utuk kewajiban lain. Seperti puasa ramadhan.
3.    Wajib zhu asy-syibhain, yaitu kewajiban yang mempunyai waktu  yang lapa ng tetapi tidak bisa digunakan untuk amalan sejenis secara berulang-ulang. Misalnya waktu haji itu cukup lapang dan seseorang bisa melaksanakan beberapa amalan haji pada waktu itu berkali –kali tetapi yang diperhitungkan syara’ hanya satu amalan saja.

b.      Dilihat dari segi ukuran yang diwajibkan  hokum wajib terbagi menjadi dua, yaitu:
1)   Wajib al-muhaddad, adalah suatu kewajiban yang ditentukan ukurannya oleh syara’ dengan ukuran tertentu, misalnya jumlah harta yang wajib dizakatkan dan jumlah rakaat dalam shalat.
2)   Wajib ghiru muaddad, adlah kewajiban yang tidak ditentukan syara’ ukuran dan jumlahnya. Misalnya penentuan hukuman dalam jarimah ta’zir (tindak pidana diluar hudud dan qishos ) yang diserahkan kepada para qodhi atau hakim

c.       Dilihat dari segi yang dibebani kewajiban. Hokum syar’i  dibagi pada wajib al-a’ini dan wajib al- kifa’i.

1)   Wajib al-a’ni, adalah kewajiban yang ditunjukkan pada setiap pribadi orang mukallaf. Misalnya kewajiban shalat.
2)   Wajib al-kifa’i, adalah kewajiban yang ditunjukkan kepada seluruh orang mukallaf, tetapi apabila telah dikerjakan oleh sebagian dari  mereka maka kewajiban itu telah terpenuhi dan orang yag tidak mengerjakannya tidak dituntut untuk melaksanakannya. Misalnya pelaksanaan shalat jenazah.


d.      Dilihat dari segi kandungan perintah, para ulama usul fiqh membagi wajib kepada dua bagian, yaitu :
1) Wajib al-mu’ayyan, adalah kewajiban yang terkait dengan sesuatu yang diperintahkan, seperti shalat, puasa dan harga barang dalam jual beli.
2. Wajib al-mukhayyar, adalah suatu  kewajiban tertentu yang bisa dipilih orang mukallaf. Misalnya firman Allah SWT  dalam surat al –maidah:89
Mengemukakan bahwa kafarat sumpah itu terdiri atas member  makan fakir miskin, member pakaian kepada mereka atau memerdekakan budak.
2.      Mandhub
Para ulama usul fiqh membagi mandhub menjadi tiga macam, yaitu:
a.    Sunnah al-muqaddah, yaitu pekerjaan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila di tinggalkan tidak mendapatkan dosa, tetapi yang meninggalkannya mendapat celaan. Misalnya shalat-shalat sunnah yang mengiringi sholat lima waktu(rawatib),
b.    Sunnah ghairu muqaddah, yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak mendapat dosa serta tidak mendapatkan celaan dari syar’i. misalnya bersedekah, shalat dhuha dan puasa pada hari senin dan kamis.
c.    Sunnah al-zaidah,yaitu suatu pejerjaan untuk mengikuti rasulullah SAW. Sehingga apabila dikerjakan mendapat pahalam jika ditinggalkan tidak mendapat dosa dan tidak mendapat celaan. Amalan seperti adalah berupa sikap dan tindak-tanduk Rasulullah sebagai manusia biasa. Seperti cara tidur , cara makan atau cara berpakaian.

3.      Haram
            Haram kedalam dua bagian, yaitu:
a.    Haram lidzatih yang mempunyai sesuatu yang ditetepkan oleh  syar’I keharaman melakukannya sejak semula dikarenakan ia mengandung kemafsadatan dan kemudharatan.
b.    Haram lighairihyang me,punyai arti sesuatu yang ditetapkan oleh syar’i keharamannya tetapi ada sesuatu yang mengakibatkan keharamannya. Seperti sholat dengan pakaian acak-acakan, jual beli dengan menipu, mentalaj istri diwaktu haid.

4.      Makruh
Ulama hanafiyah membagi makruh kedalam dua bentuk, yaitu:
a.    Makruh tanzih, yaitu sesuatu yang dituntut syar’I untuk ditinggalkan tetapi dengan tuntutan yang tidak pasti. Misalnya memakan daging kuda.
b.    Makruh takhrim , yaitu tuntutan syar’I untuk meninggalkan suatu perbuatan dan tuntutan itu mulai cara yang pasti tetapi didasarkan kepada dalil yang zhanni. Seperti larangan memakai sutra dan perhiasa emas bagi kaum laki-laki.
5.      Mubah
Imam abi isyaq asyyathibi mengemukakan pembagian mubah dari segi setatusnya yang bersifat juz’I dan kulli.
a.       Mubah bi al juz’I al-mathlub bi al-kulli ‘ala jihat ar-rujub. Yaitu hokum mubah yang secara parcial bisa berubah menjadi wajib apabila dilihat dari keseluruhan atau kepentingan ummat secara keseluruhan. Misalnya makan, minum dan berpakaian.
b.      Mubah bi al-juz’I al-mathlub bi al-kulli ‘ala jihat al-al mandub. Yaitu hokum mubah secara juz’I berubah menjadi mandub apabila dilihat dari segi kulli. Misalnya dalam masalah makan dan minum melebihi kebutuhan.
c.       Mubah bi al-juz’I al-muharramah bi al-kulli. Artinya mubah yang secara juz’I diharamkan apabila dilihat dari segi kulli. Misalnya mencela anak dan senantiasa makan dengan makanan yang lezat-lezat.
d.      Mubah bi al-juz’I al-makruh bi al-kulli. Yaitu hokum mubah bisa berubah menjadi makruh apabila dilihat dari akibat negative perbuatan itu secara kulli. Seperti bernyanyi.






















BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
Hukum taklifi merupakan bagian dari hukum syara’ (ketentuan Allah SWT) yang menuntut mukallaf (balig, berakal sehat) untuk melakukan atau meninggalkan perbuatan atau berbentuk pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan. Hokum taklifi dibagi menjadi 5, yaitu: wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.

B.     Saran-saran
Demikian makalah ini kami sampaikan. Kami sadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu kami  kritik dan saran-saran yang membangun kami harapkan guna melengkapi kekurangan isi maupun penulisan agar makalah ini bisa menjadi lebih baik.


DAFTAR PUSTAKA

Hasbiyallah. 2009. Ilmu ushul fiqh. Bandung : CV. Insane mandiri
Khallaf, Abdul Wahab. 2003. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Amani
Syafe’I, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: CV. Pustaka
                                                                                                       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar