HADITS TENTANG SHOLAT
A. Pendahuluan
Hadits adalah sumber hukum Islam kedua setelah
al-Qur’an. Oleh karena itu, kewajiban mengikuti, kembali, dan berpegang teguh
pada hadits merupakan perintah Allah SWT
dan juga perintah Nabi Saw, pembawa syari’at yang agung. Sebagian besar
ayat-ayat al-Qur’an secara tafshili (rinci) perlu dijelaskan dengan
hadits. Namun persoalannya adalah bahwa untuk memahami suatu hadits dengan
baik, tidaklah mudah. Untuk itu diperlukan seperangkat metodologi dalam
memahaminya.
Dalam memahami hadits, tidak cukup hanya melihat
teksnya saja, tetapi perlu melihat konteksnya, khususnya ketika hadits tersebut
mempunyai asbabul wurud, meskipun tidak semua hadits memilki asbabul
wurud. Dalam semua hal ihwal kaum muslimin semua sudah teratur rapi di
dalam sumber hukum yang kedua tersebut selaku sebagai penjelas bagi sumber
hukum yang pertama yaitu Al-Quran. Termasuk hal ihwal seorang muslim yang
sangat urgen yaitu ibadah shalat. Shalat merupakan ibadah mahdloh yang
dilakukan mukallaf dalam rangka menyembah Tuhannya. Bahkan dikatakan, bahwa
shalat merupakan ibadah yang pertama kali akan dihitung pada saat hari akhir
kelak. Apakah shalatnya baik atau tidak. Maka dengan dalih tersebut shalat
merupakan ibadah yang urgen yang harus kita ketahui berikut dengan
dasar-dasarnya. Maka dalam makalah ini kami akan membahas tentang hadits
yang berkaitan dengan sholat.
B. Pembahasan
1. Pengertian sholat
Sholat diambil dari istilah bahasa arab صَلَّى yang mempunyai arti doa. Sedangkan menurut
istilah adalah ibadah yang tersusun dari beberapa perkatan dan perbuatan yang
dimulai dengan takbir, diakhiri dengan salam, dan memenuhi beberapa syarat dan
rukun yang ditentukan. Sholat merupakan taklif syar’i yang diberikan kepada
mukallaf sebagai suatu kewajiban yang harus dilaksanakan.
2. Hadits yang berkaitan dengan sholat
Hadits yang berkaitan dengan shalat sangat
banyak jumlahnya, karena shalat mencakup berbagai macam hal, seperti sunat
sebelum shalat, syarat dan rukun shalat, hal-hal yang membatalkan shalat,
shalat sunnat dan lain sebagainya. Maka disini pemakalah sedikit memberikan
hadits tersebut beserta penjelasan yang diperlukan meski tidak semua aspek yang
terkait dengan shalat kami paparkan.
a.
Hadits tentang
adzan
1)
Matan dan arti
hadits
وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ: إِذَا سَمِعْتُمْ
اَلنِّدَاءَ, فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ اَلْمُؤَذِّنُ )مُتَّفَقٌ عَلَيْه(
وَلِلْبُخَارِيِّ: عَنْ
مُعَاوِيَةَ. وَلِمُسْلِمٍ: عَنْ عُمَرَ
فِي فَضْلِ اَلْقَوْلِ كَمَا يَقُولُ اَلْمُؤَذِّنُ كَلِمَةً كَلِمَةً, سِوَى
اَلْحَيْعَلَتَيْنِ, فَيَقُولُ: "لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاَللَّهِ"[1]
Artinya: Dari Abu Sa’id al-Khudri RA., beliau
berkata: Rasulullah SAW. bersabda: “Jika
kamu mendengar adzan, maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkan oleh juru
adzan itu.” (Muttafaq ‘alaih). Al-Bukhari sendiri telah mengemukakan hadits
yang serupa melalui Mu’awiyah RA. Menurut riwayat Muslim yang dikemukakan
melalui Umar r.a ketika membahas tentang keutamaan mengucapkan seperti apa yang
diucapkan oleh muadzin, kalimat demi kalimat selain al-hay’alatain. Jika
muadzin membaca al-hay’alatain, maka pendengar hendaklah menyahutnya
dengan membaca
لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا
بِاَللَّهِ (Tidak ada kekuatan dan tidak ada daya upaya
kecuali dengan pertolongan Allah).
Matan yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori seperti
tertera dalam kitab Shohihnya yaitu
إِذَا سَمِعْتُمْ اَلنِّدَاءَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ
اَلْمُؤَذِّنُ[2]
Artinya: “Jika
kamu mendengar adzan, maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkan oleh juru
adzan itu.”
Begitu juga
Imam Muslim dalam kitab Shahihnya menggunakan redaksi matan yang sama dengan Imam Bukhari.
2)
Sanad hadits
Dari jalur Imam Bukhori RA. yaitu Bukhori – Abdullah
bin Yusuf – Malik – Ibn Sihab – ‘Atha bin Yazid – Abi Sa’id Alhadri –
Rosulullah SAW.[3] Sedangkan dari
jalur Imam Muslim RA. yaitu Muslim – Yahya bin Yahya – Malik – Ibn Sihab –
‘Atho bin Yazid – Rasulullah SAW.[4]
3)
Penjelasan isi
hadits
Menjawab adzan yang dilakukan oleh pendengar
disebut hikayah al-adzan (meniru bacaan adzan), yaitu dengan cara meniru
semua sebutan lafadz adzan kecuali al-hay’alatain maka jawaban kedua-dua kalimat adalah membaca
kalimat hawqalah yaitu
لَا
حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاَللَّهِ
Hikmah menjawab
adzan yang dilakukan oleh orang yang mendengarnya adalah bersegera datang
menuju ke tempat shalat. Ini berarti dia telah memenuhi seruannya dengan ucapan
sekaligus perbuatannya, yaitu berwudlu dan berangkat ke masjid untuk
mengerjakan shalat berjamaah. Menjawab adzan yang dilakukan oleh orang yang
medengarnya tidak semata-mata bertujuan meniru suara adzan yang kemudian
menyeru umat manusia mengerjakan shalat, sebaliknya ia bertujuan membangkitkan
perasaan. Dengan membaca hawqalah
seseorang telah mengakui kelemahan yang ada pada dirinya sekaligus
memohon pertolongan kepada Allah untuk melaksanakan ibadah yang mulia ini.
Dengan demikian, orang yang mendengar adzan itu mendapat ganjaran pahala
setelah membaca hawqalah yang merupakan respon ke atas ucapan al-hay’alatain yang
dikumandangkan oleh juru adzan.
Hukum menjawab adzan ialah sunat, dan dianggap
sudah memadai apabila adzan yang dikumandangkan oleh seorang muadzin telah
dijawab meskipun di kawasan tersebut ramai orang yang mengumandangkan adzan.
Adzan pertama untuk fajar kadzib mesti dijawab, karena Islam telah menyebutnya
sebagai adzan dan oleh karenanya, ia sunat untuk dijawab.[5]
4)
Fiqh Hadits
a)
Disyariatkan
menjawab adzan yang dikumandangkan muazzin sama ada bagi orang yang dalam
keadaan bersuci ataupun berhadas, wanita yang haid maupun yang berjunub, sebab
jawaban itu merupakan berzikir kepada Allah dan dibolehkan untuk melakukan
zikir. Namun menjawab adzan tidak boleh dilakukan oleh orang yang sedang membuang
air dan orang yang sedang bersetubuh.
b)
Hukum menjawab
adzan adalah sunat, kerana ulama telah sepakat mengenainya. Kesepakatan inilah
yang memalingkan pengertian wajib di dalam perintah yang terkandung di dalam
sabda Rasulullah (s.a.w): “Maka ucapkanlah…”
c)
Orang yang
mendengar al-hay’alatain hendaklah menjawab dengan al-hawqalatain.
d)
Keutamaan
ikhlas di dalam setiap beramal. Amal yang diterima oleh Allah merupakan
anugerah yang besar hingga seseorang yang melakukannya akan masuk ke dalam syurga.[6]
DAFTAR PUSTAKA
Ibn Hajar Al-Asqolany. Bulughul Marom,
(Surabaya Dar Al-Ilmi: tt.)
Abi Abdillah
Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari. Matan Bukhari Bihasiyati Sanady
(Indonesia. Haramain: tt)
Abi Husain
Muslim Bin Hajjaj Ibn Muslim Al-Qusyairi. Jami’us Shahih Juz 2 (Beirut
Dar Al-Fikr tt.)
Nor Hasanuddin
H.M. Fauzi. Terjemah Ibanatul Ahkam (Kuala Lumpur . Al-Hidayah
Publication: 2010)
[2]
Abi Abdillah Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari. Matan
Bukhari Bihasiyati Sanady (Indonesia. Haramain: tt) hal 115
[3]
Ibid
[4]
Abi Husain Muslim Bin Hajjaj Ibn Muslim
Al-Qusyairi. Jami’us Shahih Juz 2 (Beirut Dar Al-Fikr tt.) hal 4
[5]
Nor Hasanuddin H.M. Fauzi. Terjemah Ibanatul
Ahkam (Kuala Lumpur . Al-Hidayah Publication: 2010) hal 247
Tidak ada komentar:
Posting Komentar