Sabtu, 02 Januari 2016

HADITS TENTANG SHOLAT



HADITS TENTANG SHOLAT

A.  Pendahuluan
Hadits adalah sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an. Oleh karena itu, kewajiban mengikuti, kembali, dan berpegang teguh pada hadits  merupakan perintah Allah SWT dan juga perintah Nabi Saw, pembawa syari’at yang agung. Sebagian besar ayat-ayat al-Qur’an secara tafshili (rinci) perlu dijelaskan dengan hadits. Namun persoalannya adalah bahwa untuk memahami suatu hadits dengan baik, tidaklah mudah. Untuk itu diperlukan seperangkat metodologi dalam memahaminya.
Dalam memahami hadits, tidak cukup hanya melihat teksnya saja, tetapi perlu melihat konteksnya, khususnya ketika hadits tersebut mempunyai asbabul wurud, meskipun tidak semua hadits memilki asbabul wurud. Dalam semua hal ihwal kaum muslimin semua sudah teratur rapi di dalam sumber hukum yang kedua tersebut selaku sebagai penjelas bagi sumber hukum yang pertama yaitu Al-Quran. Termasuk hal ihwal seorang muslim yang sangat urgen yaitu ibadah shalat. Shalat merupakan ibadah mahdloh yang dilakukan mukallaf dalam rangka menyembah Tuhannya. Bahkan dikatakan, bahwa shalat merupakan ibadah yang pertama kali akan dihitung pada saat hari akhir kelak. Apakah shalatnya baik atau tidak. Maka dengan dalih tersebut shalat merupakan ibadah yang urgen yang harus kita ketahui berikut dengan dasar-dasarnya. Maka dalam makalah ini kami akan membahas tentang hadits yang berkaitan dengan sholat.
B.  Pembahasan
1.    Pengertian sholat
Sholat diambil dari istilah bahasa arab صَلَّى yang mempunyai arti doa. Sedangkan menurut istilah adalah ibadah yang tersusun dari beberapa perkatan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir, diakhiri dengan salam, dan memenuhi beberapa syarat dan rukun yang ditentukan. Sholat merupakan taklif syar’i yang diberikan kepada mukallaf sebagai suatu kewajiban yang harus dilaksanakan.
2.    Hadits yang berkaitan dengan sholat
Hadits yang berkaitan dengan shalat sangat banyak jumlahnya, karena shalat mencakup berbagai macam hal, seperti sunat sebelum shalat, syarat dan rukun shalat, hal-hal yang membatalkan shalat, shalat sunnat dan lain sebagainya. Maka disini pemakalah sedikit memberikan hadits tersebut beserta penjelasan yang diperlukan meski tidak semua aspek yang terkait dengan shalat kami paparkan.
a.    Hadits tentang adzan
1)   Matan dan arti hadits
وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ: إِذَا سَمِعْتُمْ اَلنِّدَاءَ, فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ اَلْمُؤَذِّنُ  )مُتَّفَقٌ عَلَيْه( وَلِلْبُخَارِيِّ: عَنْ مُعَاوِيَةَ.  وَلِمُسْلِمٍ: عَنْ عُمَرَ فِي فَضْلِ اَلْقَوْلِ كَمَا يَقُولُ اَلْمُؤَذِّنُ كَلِمَةً كَلِمَةً, سِوَى اَلْحَيْعَلَتَيْنِ, فَيَقُولُ: "لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاَللَّهِ"[1]
Artinya:  Dari Abu Sa’id al-Khudri RA., beliau berkata: Rasulullah  SAW. bersabda: “Jika kamu mendengar adzan, maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkan oleh juru adzan itu.” (Muttafaq ‘alaih). Al-Bukhari sendiri telah mengemukakan hadits yang serupa melalui Mu’awiyah RA. Menurut riwayat Muslim yang dikemukakan melalui Umar r.a ketika membahas tentang keutamaan mengucapkan seperti apa yang diucapkan oleh muadzin, kalimat demi kalimat selain al-hay’alatain. Jika muadzin membaca al-hay’alatain, maka pendengar hendaklah menyahutnya dengan membaca
لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاَللَّهِ  (Tidak ada kekuatan dan tidak ada daya upaya kecuali dengan pertolongan Allah).
Matan  yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori seperti tertera dalam kitab Shohihnya yaitu
إِذَا سَمِعْتُمْ اَلنِّدَاءَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ اَلْمُؤَذِّنُ[2]  
Artinya: “Jika kamu mendengar adzan, maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkan oleh juru adzan itu.”
Begitu juga Imam Muslim dalam kitab Shahihnya menggunakan redaksi matan  yang sama dengan Imam Bukhari.
2)   Sanad hadits
Dari jalur Imam Bukhori RA. yaitu Bukhori – Abdullah bin Yusuf – Malik – Ibn Sihab – ‘Atha bin Yazid – Abi Sa’id Alhadri – Rosulullah SAW.[3] Sedangkan dari jalur Imam Muslim RA. yaitu Muslim ­– Yahya bin Yahya – Malik – Ibn Sihab – ‘Atho bin Yazid – Rasulullah SAW.[4]
3)   Penjelasan isi hadits
Menjawab adzan yang dilakukan oleh pendengar disebut hikayah al-adzan (meniru bacaan adzan), yaitu dengan cara meniru semua sebutan lafadz adzan kecuali  al-hay’alatain  maka jawaban kedua-dua kalimat adalah membaca kalimat hawqalah yaitu
لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاَللَّهِ  
 Hikmah menjawab adzan yang dilakukan oleh orang yang mendengarnya adalah bersegera datang menuju ke tempat shalat. Ini berarti dia telah memenuhi seruannya dengan ucapan sekaligus perbuatannya, yaitu berwudlu dan berangkat ke masjid untuk mengerjakan shalat berjamaah. Menjawab adzan yang dilakukan oleh orang yang medengarnya tidak semata-mata bertujuan meniru suara adzan yang kemudian menyeru umat manusia mengerjakan shalat, sebaliknya ia bertujuan membangkitkan perasaan. Dengan membaca hawqalah  seseorang telah mengakui kelemahan yang ada pada dirinya sekaligus memohon pertolongan kepada Allah untuk melaksanakan ibadah yang mulia ini. Dengan demikian, orang yang mendengar adzan itu mendapat ganjaran pahala setelah membaca hawqalah yang merupakan respon ke atas ucapan al-hay’alatain yang dikumandangkan oleh juru adzan.
Hukum menjawab adzan ialah sunat, dan dianggap sudah memadai apabila adzan yang dikumandangkan oleh seorang muadzin telah dijawab meskipun di kawasan tersebut ramai orang yang mengumandangkan adzan. Adzan pertama untuk fajar kadzib mesti dijawab, karena Islam telah menyebutnya sebagai adzan dan oleh karenanya, ia sunat untuk dijawab.[5]
4)   Fiqh Hadits
a)    Disyariatkan menjawab adzan yang dikumandangkan muazzin sama ada bagi orang yang dalam keadaan bersuci ataupun berhadas, wanita yang haid maupun yang berjunub, sebab jawaban itu merupakan berzikir kepada Allah dan dibolehkan untuk melakukan zikir. Namun menjawab adzan tidak boleh dilakukan oleh orang yang sedang membuang air dan orang yang sedang bersetubuh.
b)   Hukum menjawab adzan adalah sunat, kerana ulama telah sepakat mengenainya. Kesepakatan inilah yang memalingkan pengertian wajib di dalam perintah yang terkandung di dalam sabda Rasulullah (s.a.w): “Maka ucapkanlah…”
c)    Orang yang mendengar al-hay’alatain hendaklah menjawab dengan al-hawqalatain.
d)   Keutamaan ikhlas di dalam setiap beramal. Amal yang diterima oleh Allah merupakan anugerah yang besar hingga seseorang yang melakukannya akan masuk ke dalam syurga.[6]





DAFTAR PUSTAKA
Ibn Hajar Al-Asqolany. Bulughul Marom, (Surabaya Dar Al-Ilmi: tt.)

Abi Abdillah Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari. Matan Bukhari Bihasiyati Sanady (Indonesia. Haramain: tt)

Abi Husain Muslim Bin Hajjaj Ibn Muslim Al-Qusyairi. Jami’us Shahih Juz 2 (Beirut Dar Al-Fikr tt.)

Nor Hasanuddin H.M. Fauzi. Terjemah Ibanatul Ahkam (Kuala Lumpur . Al-Hidayah Publication: 2010)



[1]  Ibn Hajar Al-Asqolany. Bulughul Marom, (Surabaya Dar Al-Ilmi: tt.) Hal 39

[2] Abi Abdillah Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari. Matan Bukhari Bihasiyati Sanady (Indonesia. Haramain: tt) hal 115

[3] Ibid

[4] Abi Husain Muslim Bin Hajjaj Ibn Muslim Al-Qusyairi. Jami’us Shahih Juz 2 (Beirut Dar Al-Fikr tt.) hal 4

[5] Nor Hasanuddin H.M. Fauzi. Terjemah Ibanatul Ahkam (Kuala Lumpur . Al-Hidayah Publication: 2010) hal 247

[6] Ibid. hal 248

Tidak ada komentar:

Posting Komentar