Hadits Tentang Minuman Yang Haram
DiSusun Guna Memenuhi Tugas Semester
Mata Kuliah : Tafsir
Ahkami
Dosen Pengampu :Bapak Moh Dzofir,
M. Ag.
Disusun
Oleh :
Nurul Hidayati 111638
PROGRAM
STUDI S1 PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
JURUSAN
TARBIYAH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TAHUN
2014
Hadits Tentang Minuman Yang Haram
1.
Teks Hadist
أَخْبَرَنَا
مُحَمَّدُ أنَا ابْنُ وَهْبٍ قَالَ أَخْبَرَنِي ابْنُ لَهِيعَةَ عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ هُبَيْرَةَ عَنْ أَبِي هُبَيْرَةَ الْكَحْلَانِيِّ عَنْ مَوْلَى
لِعَبْدِ اللَّهِ بْن عَمْرٍو عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ
أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَيْهِمْ ذَاتَ
يَوْمٍ وَهُمْ فِي الْمَسْجِدِ فَقَالَ إِنَّ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ حَرَّمَ
عَلَيَّ الْخَمْرَ والْمَيْسِرَ وَالْكُوبَةَ والْقِنِّينَ وَالْكُوبَةُ الطَّبْلُ
2.
Terjemah Hadist
Telah
mengabarkan kepada kami Muhammad yang berkata telah mengabarkan kepada kami
Ibnu Wahb kepadaku Ibnu Lahii’ah dari ‘Abdullah bin Hubairah dari Abu Hubairah
Al Kahlaaniy dari Maula ‘Abdullah bin ‘Amru dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Ash
bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] keluar menemui mereka pada
suatu hari dan mereka ada di dalam masjid, maka Beliau berkata “sesungguhnya
Rabb-ku ‘azza wajalla telah mengharamkan khamar, judi, Al Kuubah dan Al
Qinniin, Al Kuubah adalah gendang.[1]
3.
Takhrij Hadits
Muhammad - Ibnu
Wahb - Ibnu
Lahii’ah - ‘Abdullah
bin Hubairah -Abu
Hubairah Al Kahlaaniy - Maula ‘Abdullah bin ‘Amru - ‘Abdullah bin ‘Amru
bin ‘Ash- Rasulullah SAW.
4.
Ati Kata dan Kandungan Hadits
Hadits ini
menunjukkan bahwa minum khamar hukumnya adalah haram.
Kata haram berasal dari bahasa Arab ( ح ݛ ݦ) Yang berarti larangan
(dilarang oleh agama). Termasuk di antara luas dan fasilitas dalam syari'at
Islam, Allah-Subhanahu wa Ta'ala-menghalalkan semua makanan yang mengandung
maslahat dan manfaat, baik yang kembali kepada ruh maupun jasad, baik kepada
individu maupun masyarakat. Demikian pula sebaliknya Allah mengharamkan
semua makanan yang memudhorotkan atau yang mudhorotnya lebih besar dari
manfaatnya. Hal ini tidak lain untuk menjaga kesucian dan kebaikan hati,
akal, ruh, dan jasad, yang mana baik atau buruknya keempat hal ini sangat
ditentukan-setelah hidayah dari Allah-dengan makanan yang masuk ke dalam tubuh
manusia yang kemudian akan berubah menjadi darah dan daging sebagai unsur
penyusun hati dan jasadnya.
Selain itu Islam mengharamkan semua benda yang
dapat menghilangkan kesadaran, membuat tidak berdaya, serta membahayakan jiwa
dan raga. Adapun makanan dari jenis daging binatang, masalah inilah yang banyak
diperselisihkan oleh berbagai agama dan golongan.[2]
Yang dimaksud
khamar tidak terbatas terbuat dari perasan anggur saja, sebagaimana makna urfi
tetapi mencakup semua yang bisa menutupi akal dan memabukkannya.[3]
minum khamr (Syurb khamr) diambil dari kata (بش ), yang artinya minum. Dan kata minum /
khamr (رومخا),
yang artinya arak atau minuman keras. Sedang minum khamr (syurb khamr) menurut
istilah adalah memasukkan minuman yang memabukkan ke mulut lalu ditelan masuk
ke perut melalui kerongkongan, meskipun bercampur dengan makanan lain yang
halal. Sedang orang yang meminum arak dinamakan (شاربي
الخمور), yang artinya peminum.[4]
Khamr berasal dari kata yang berarti menutupi. Di sebut sebagai
khamr, karena sifatnya bisa menutupi akal Sedangkan menurut pengertian urfi
pada masa itu, khamr adalah apa yang bisa menutupi akal yang terbuat dari
perasan anggur.
umhurul ulama menyatakan bahwa khamr itu najis[5].
Kesimpulan itu diambil dari kata rijsun yang berarti kotoran dan najis. Memang,
argumentasi ini dibantah oleh sebagian fuqaha yang mengatakan bahwa kata rijsun
pada ayat tersebut najis secara maknawi karena kata rijsun tidak hanya khabar
bagi khamr, tetapi juga athaf-nya, yakni berjudi, berhala, dan undian nasib,
yang kesemuanya secara pasti tidak disifati dengan najis dzatiy, seperti firman
Allah SWT:
Maka jauhilah berhala-berhala yang najis itu (Al Hajj 30).
Arti berhala sebagai sesuatu yang najis itu pada ayat tersebut
adalah najis maknawi, bukan najis dzatiy. Contoh lain najis maknawi terdapat
pada surat At Taubah 28:
Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis (At Taubah 28).
Yang dimaksud dengan najis pada ayat ini bukanlah najis dzat
(tubuh) mereka, tetapi aqidah yang mereka peluk berupa aqidah syirik yang
seharusnya dijauhi, sebagaimana yang dipahami oleh jumhurul fuqaha’. Sehingga
menurut mereka, kata rijsun dalam surat Al Maidah 90 tersebut, adalah najis
secara maknawi. Pandangan tersebut –menurut mereka– diperkuat oleh bunyi
selanjutnya dengan kata (dari perbuatan syetan). Itu berarti, maksud najis itu
adalah secara maknawi (Fiqhu Sunnah I hal 28). Hanya saja, pendapat jumhur itu
dikuatkan oleh hadits Nabi SAW
“Sesungguhnya kami berada di negeri para ahli kitab, mereka makan
babi dan minum khamr, apakah yang harus kami lakukan terhadap bejana-bejana dan
periuk-periuk mereka? Rasulullah SAW menjawab,”Apabila kamu tidak menemukan lainnya,
maka cucilah dengan dengan air, lalu memasaklah di dalamnya, dan minumlah” (HR
Ahmad dan Abu Daud).
Perintah
untuk mencuci pada bejana yang menjadi wadah khamr dan periuk yang menjadi
wadah daging babi, menunjukkan bahwa kedua benda tersebut tidak suci. Sebab,
apabila suci dan tidak najis, tentu tidak akan diperintahkan untuk mencucinya
dengan air.
Unsur-Unsur Jarimah Syurb Khamr
Ada dua unsur dalam jarimah syurb khamr. Yaitu minum-minuman yang
memabukkan dan ada itikad jahat.
Yang
dimaksud dengan ada niat jahat adalah sudah tau bahwa meminum khamr itu haram,
tetapi tetap saja dia minum. Oleh karena itu, tidak dikenai sanksi orang yang
meminum khamr atau meminum minuman yang memabukkan sedang dia tidak tahu bahwa
yang dia minum itu adalah minuman yang memabukkan atau tidak tahu bahwa minuman
itu haram, juga dibawah paksaan.[6]
Hukuman
Untuk Peminum Khamr
Al-qur’an tidak menegaskan hukuman apa bagi
peminum khamr, namun sanksi dalam kasus ini didasarkan pada hadits Rasulullah
saw yakni sunah fi’liyahnya, bahwa hukuman terhadap jarimah ini adalah didera
sebanyak 40 kali. Abu Bakar
as-Sidiq ra mengikuti jejak ini, Umar bin Khatab ra 80 kali dera sedang Ali bin
Abu Thalib ra 40 kali dera.[7]
Alasan penetapan 80 kali dera didasarkan pada metode analogi, yakni
dengan mengambil ketentuan hukum yang ada di dalam al-Qur’an surat an-Nur ayat
4:
“Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan terhormat
(berbuat zina), kemudian itu tidak mengemukakan empat saksi, maka hendaklah
mereka didera delapan puluh kali dera¬an, dan janganlah diterima ke¬saksian
dari mereka selama ¬lamanya. Itulah orang-orang fasik.”
Bahwa orang yang menuduh zina didera 80 kali. Orang yang mabuk
biasanya mengigau, jika mengigau suka membuat kebohongan, orang bohong sama
dengan orang membuat onar atau fitnah. Fitnah dikenai hukuman 80 kali dera.
Maka orang yang meminum khamr didera 80 kali.[8]
Disamping itu pada masa kekhalifahan Umar bin Khathab ra banyak
orang yang meminum khamr, dan hal mengenai dera 80 kali sudah berdasarkan hasil
musyawarah antara Umar bin Khathab ra dengan para shahabat yang lain, yakni
atas usulan Abdurrahman bin ‘Auf.
Adapun menurut Imam Abu Hnifah ra dan Imam Maliki ra sanksi peminum
khamr adalah 80 kali dera. Sedang Imam Syafi’i ra adalah 40 kali dera, akan
tetapi Imam beleh menambah menjadi 80 kali dera. Jadi 40 kali adalah hukuman
had, sedang sisanya adalah hukuman ta’zir.[9]
Syarat Diberlakukannya Hudud Peminum Khamar
Namun para ulama sepakat bahwa agar hukuman pukul atau cambuk itu
dapat terlanksana, syarat dan ketentuannya harus terpenuhi terlebih dahulu.
Tidak asal ada orang minum khamar lantas segera dicambuk. Di antara syarat dan
ketentuannya antara lain :
1. Berakal
Peminumnya adalah seorang yang waras atau berakal. Sehingga orang
gila bila meminum minuman keras maka tidak boleh dihukum hudud.
2. Baligh
Peminum itu orang yang sudah baligh, sehingga bila seorang anak
kecil di bawah umur minum minuman keras, maka tidak boleh dihukum hudud.
3. Muslim
Hanya orang yang beragama Islam saja yang bila minum minuman keras yang
bisa dihukum hudud. Sedangkan non muslim tidak bisa dihukum bahkan tidak bisa
dilarang untuk meminumnya.
4. Bisa memilih
Peminum itu dalam kondisi bebas bisa memilih dan bukan dalam
keadaan yang dipaksa.
5. Tidak dalam kondisi darurat
Maksudnya bila dalam suatu kondisi darurat dimana seseorang bisa
mati bila tidak meminumnya, maka pada saat itu berlaku hukum darurat. Sehingga
pelakunya dalam kondisi itu tidak bisa dijatuhi hukuman hudud.
6. Tahu bahwa itu adalah khamar
Bila seorang minum minuman yang dia tidak tahu bahwa itu adalah
khamar, maka dia tidak bisa dijatuhi hukuman hudud.
Khamr adalah benda. Sedangkan hukum benda tidak terlepas dari dua
hal, yaitu halal atau haram. Selama tidak ada dalil yang yang mengharamkannya,
hukum suatu benda adalah halal. Karena ada dalil yang secara tegas
mengharamkannya, maka hukum khamr itu haram.
Hukum syara’ adalah seruan syari’ yang berkaitan dengan perbuatan
hamba (manusia). Sehingga, meskipun hukum syara’ menentukan status hukum benda,
tetap saja akan berkait dengan perbuatan manusia dalam menggunakannya.
Misalnya, babi itu haram. Perbuatan apa saja yang diharamkan berkenaan dengan
babi? Apakah memakannya, menjualnya, menternakkannya, memegangnya, melihatnya,
atau bahkan membayangkannya hukumnya juga haram? Untuk mengetahui hukum-hukum
perbuatan yang berkenaan dengan benda tidak cukup hanya melihat dalil tentang
haramnya benda, tetapi harus meneliti dalil-dailil syara’ yang menjelaskan
perbuatan yang berkenaan dengan benda tersebut.
Beberapa perbuatan haram yang berkaitan dengan khamr, dijelaskan
oleh Nabi SAW dari Anas ra.
“Sesungguhnya Rasulullah SAW melaknat dalam khamr sepuluh personel,
yaitu: pemerasnya (pembuatnya), distributor, peminumnya, pembawanya,
pengirimnya, penuangnya, penjualnya, pemakan uang hasilnya, pembayarnya, dan
pemesannya” (HR Ibnu Majah dan Tirmidzy).
Dari
hadits tersebut menunjukkan bahwa semua pelaku yang terlibat dalam khamr
termasuk yang diharamkan. Hukum haram disimpulkan karena ada celaan yang
bersifat jazim dengan kata (melaknat). Berarti, itu merupakan sebuah sanksi
yang diberikan kepada para pelaku yang terlibat dalam khamr. Mereka itu adalah:
1. produsen
2. distributor
3. peminum
4. pembawa
5. pengirim
6. penuang minuman
7. penjual
8. orang yang memetik hasil penjualan
9. pembayar
10. pemesan
DAFTAR
PUSTAKA
Al
Muwatta Ibnu Wahb.
DR.Yusup
Qaradhawi Sayyid Sabiq, fiqh sunnah, jabal:cetak pertama, 2007.
Moh. Rifa’i, Imu
Fiqih Islam Lengkap, Karya Toha Putra, Semarang, 2006
Adib Bisri dan
Munawir, Kamus Bahasa Arab al-Bisri. Surabaya: Pustaka Progressif, 1999.
Rawaai’ul bayan
fi tafsiiril al ahkaam
Nasirudin
al-Albani, Ringkasan Shahih Muslim Kitab Hukuman Minum Khamr.
Makhrus
Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia. Yogyakarta: Sukses Offset, 2009.
[2]
DR.Yusup Qaradhawi Sayyid Sabiq,fiqh sunnah,(Jabal:cetak
pertama,2007), hlm 161
[3]Moh. Rifa’i, Imu Fiqih Islam Lengkap, Karya Toha Putra,
Semarang, 2006, hal 433
[4]
Adib Bisri dan Munawir, Kamus Bahasa Arab al-Bisri. Surabaya: Pustaka
Progressif, 1999.
[5]
Rawaai’ul bayan fi tafsiiril al ahkaam I/566
[6]
Ibid, hlm. 98-99.
[7]
Nasirudin al-Albani, Ringkasan Shahih Muslim (Kitab Hukuman Minum Khamr), hlm.
503.
[8]
Makhrus Munajat, Hukuman Pidana Islam di Indonesia, hlm. 161.
[9]
Ibid, hlm. 161.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar