METODE PENETAPAN HUKUM
ISLAM :
QIYAS, ISTIHSAN,
MASLAHAH MURSALAH
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : Ahmad Atabik,
Lc,.M.Si
Disusun Oleh:
Ima
Ratna Sari :111629
Ana
Puji Asih :
111635
Nur
Muhammad Asrofil Huda : 111643
Ali
Imroni :
111662
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI KUDUS
TARBIYAH / PAI
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Allah
SWT menurunkan agama Islam kepada umat manusia dengan perantaraan Nabi Muhammad
SAW. Agama Islam yang merupakan agama
universal mengandung aturan-aturan hukum yang langsung dari Allah SWT agar
manusia selamat, baik di dunia maupun di akherat. Agama (Islam) beserta
aturan-aturan (hukum) yang dibuat oleh Allah tersebut merupakan wahyu, diturunkan
kepada para Nabi dan Rasul-Nya melalui perantaraan Malaikat Jibril. Sedangkan
Nabi dan Rasul terakhir adalah Muhammad SAW.
Wahyu
yang diturunkan oleh Allah tersebut, adakalanya untuk menyelesaikan persoalan
hukum yang sedang dihadapi oleh umat Islam kala itu, dan dalam ilmu al-Qur’an
dikenal dengan istilah asbabun-nuzul atau sebab-sebab turunnya wahyu (ayat
al-Qur’an).
Pada masa Rasulullah SAW, segala permasalahan yang dihadapi para sahabat langsung ditanyakan kepada beliau. Dengan demikian, jawaban rasul terhadap pertanyaan-pertanyaan itu bersifat final.
Pada masa Rasulullah SAW, segala permasalahan yang dihadapi para sahabat langsung ditanyakan kepada beliau. Dengan demikian, jawaban rasul terhadap pertanyaan-pertanyaan itu bersifat final.
Seiring
dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW, meluasnya wilayah kekuasaan Islam, rihlahnya
para sahabat Nabi ke berbagai wilayah, dan banyaknya sahabat yang syahid di
medan laga, maka umat Islam mendapat tantangan baru di bidang hukum. Terkadang,
masalah (hukum) yang sedang dihadapi tidak ada hukumnya di dalam al-Qur’an dan
al-Sunnah, dan dalam rangka menyelesaikan persoalan-persoalan hukum baru yang
sedang dihadapi tersebut, para sahabat selalu ber-ijtihad, dan mereka dapat
dengan mudah menemukan hukum atas masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh
umat Islam kala itu karena para sahabat sangat mengenal teknik Nabi
ber-ijtihad.
Hasil
ijtihad para sahabat tersebut, jika tidak dibantah oleh sahabat Nabi yang
lainnya, maka dianggap ijma’ para sahabat. Sebaliknya, jika hasil ijtihad
sahabat Nabi tersebut dibantah oleh sahabat Nabi yang lain, maka hasil ijtihad
sahabat Nabi tersebut tidak dapat dianggap sebagai ijma’ para sahabat,
melainkan hanya pendapat pribadi para sahabat Nabi tentang persoalan-persoalan
(hukum) tertentu. Dengan demikian, terlihat bahwa sumber hukum Islam pada masa
sahabat hanya tiga yaitu; al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’ para sahabat. Masa pun
terus bergulir, para sahabat Nabi pun mulai wafat. Otoritas tasyri’ pun diambil
alih oleh generasi tabi’in kemudian tabi’ tabi’in dan seterusnya.
Setelah
periode sahabat berlalu, pemecahan persoalan-persoalan hukum yang dihadapi oleh
umat Islam tetap berpegang teguh kepada al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’ para
sahabat. Namun karena persoalan hukum yang dihadapi oleh umat Islam selalu
berkembang dan merupakan persoalan hukum baru, di mana dalam al-Qur’an,
as-Sunnah dan ijma’ para sahabat tidak ditemukan hukumnya, maka para ulama
dalam mengagali hukumnya, memakai beberapa metode istinbath hukum di antaranya;
maslahah-mursalah atau istishlah (Imam Malik), Istihsan (Imam Hanafi), qiyas
(Imam Syafi’i), istishab (Imam Ahmad bin Hambal) dan lain sebagainya.
Beberapa metode istinbath hukum yang dipakai oleh para imam mujtahid di atas, metode qiyas mendapat tempat di hati sebagian besar ulama dan umat Islam karena berdasarkan kepada nash-nash (al-Qur’an dan atau as-Sunnah) tertentu.
Beberapa metode istinbath hukum yang dipakai oleh para imam mujtahid di atas, metode qiyas mendapat tempat di hati sebagian besar ulama dan umat Islam karena berdasarkan kepada nash-nash (al-Qur’an dan atau as-Sunnah) tertentu.
Mayoritas
ulama menerima qiyas sebagai sumber hukum Islam yang keempat setelah al-Qur’an,
as-Sunnah dan ijma’ para sahabat. Sedangkan metode istinbath hukum yang
lainnya, termasuk maslahah-mursalah atau istishlah yang diperkenalkan oleh Imam
Malik selalu diperdebatkan, bahkan ditolak oleh mayoritas penganut mazhab
asy-Syafi’iyah.
B.
Rumusan Masalah
- Definisi Qiyas
- Definisi Istihsan
- Definisi Maslahah Mursalah
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Definisi Qiyas
Qiyas menurut ulama
ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan
hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya
berdasarkan nash. Dengan kata lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak
ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan
illat hukum. Dengan demikian qiyas itu merupakan penerapan hukum analogi
terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan
melahirkan hukum yang sama pula. Contohnya hukum meminum
khamar, nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu hukumnya haram.
Sebagaimana firman Allah Swt:
“Hai orang-orang yang beriman,
Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Qs.5:90)
Haramnya meminum
khamr berdasarkan illat hukumnya adalah memabukkan. Maka setiap minuman yang
terdapat di dalamnya illat sama dengan khamar dalam hukumnya maka minuman
tersebut adalah haram.
Para ulama
berselisih faham dengan ulama jumhur. Pandangan ulama mengenai qiyas ini
terbagi menjadi tiga kelompok:
a.
Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas
sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur’an,
Hadits, pendapat sahabat maupun ijma ulama.
b.
Madzhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah,
mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas. Madzhab Zhahiri tidak mengakui
adalanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash
termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang
sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash
semata.
c.
Kelompok yang lebih memperluas pemakaian
qiyas, yang berusaha berbagai hal karena persamaan illat. Bahkan dalam kondisi
dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari
keumuman dalil Al Qur’an dan hadits.[18]
Kehujjahan Qiyas
Jumhur ulama kaum
muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum
yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam
suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan
hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas
dan selanjutnya menjadi hukum syar’i.[19]
Diantara ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah:
Diantara ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah:
“Dia-lah yang mengeluarkan
orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat
pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan
merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari
(siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang
tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka;
mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan
orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai
orang-orang yang mempunyai wawasan. (Qs.59:2)
Dari ayat di atas
bahwasanya Allah Swt memerintahkan kepada kita untuk ‘mengambil pelajaran’,
kata I’tibar di sini berarti melewati, melampaui, memindahkan sesuatu kepada
yang lainnya. Demikian pula arti qiyas yaitu melampaui suatu hukum dari pokok
kepada cabang maka menjadi (hukum) yang diperintahkan. Hal yang diperintahkan
ini mesti diamalkan. Karena dua kata tadi ‘i’tibar dan qiyas’ memiliki
pengertian melewati dan melampaui.
“Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. (Qs.4:59)
Ayat di atas
menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan ‘kembali kepada Allah dan
Rasul’ (dalam masalah khilafiyah), tiada lain adalah perintah supaya menyelidiki
tanda-tanda kecenderungan, apa yang sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan
Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari illat hukum, yang dinamakan
qiyas.
Sementara diantara
dalil sunnah mengenai qiyas ini berdasar pada hadits Muadz ibn Jabal, yakni
ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah Saw,
diantaranya ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas, karena qiyas merupakan
salah satu macam ijtihad.
Sedangkan dalil
yang ketiga mengenai qiyas adalah ijma’. Bahwasanya para shahabat Nabi Saw
sering kali mengungkapkan kata ‘qiyas’. Qiyas ini diamalkan tanpa seorang
shahabat pun yang mengingkarinya. Di samping itu, perbuatan mereka secara ijma’
menunjukkan bahwa qiyas merupakan hujjah dan waji b diamalkan.
Umpamanya, bahwa
Abu Bakar ra suatu kali ditanya tentang ‘kalâlah’ kemudian ia berkata: “Saya
katakan (pengertian) ‘kalâlah’ dengan pendapat saya, jika (pendapat saya) benar
maka dari Allah, jika salah maka dari syetan. Yang dimaksud dengan ‘kalâlah’
adalah tidak memiliki seorang bapak maupun anak”. Pendapat ini disebut dengan
qiyas. Karena arti kalâlah sebenarnya pinggiran di jalan, kemudian
(dianalogikan) tidak memiliki bapak dan anak.[
Dalil yang keempat
adalah dalil rasional. Pertama, bahwasanya Allah Swt mensyariatkan hukum tak
lain adalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan manusia merupakan tujuan yang
dimaksud dalam menciptakan hukum. Kedua, bahwa nash baik Al Qur’an maupun
hadits jumlahnya terbatas dan final. Tetapi, permasalahan manusia lainnya tidak
terbatas dan tidak pernah selesai. Mustahil jika nash-nash tadi saja yang
menjadi sumber hukum syara’. Karenanya qiyas merupakan sumber hukum syara’ yang
tetap berjalan dengan munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Yang
kemudian qiyas menyingkap hukum syara’ dengan apa yang terjadi yang tentunya
sesuai dengan syariat dan maslahah.
Rukun Qiyas
Qiyas memiliki
rukun yang terdiri dari empat hal:
1.
Asal (pokok), yaitu apa yang terdapat dalam
hukum nashnya. Disebut dengan al-maqis alaihi.
2.
Fara’ (cabang), yaitu sesuatu yang belum
terdapat nash hukumnya, disebut pula al-maqîs.
3.
Hukm al-asal, yaitu hukum syar’i yang
terdapat dalam dalam nash dalam hukum asalnya. Yang kemudian menjadi ketetapan
hukum untuk fara’.
4.
Illat, adalah sifat yang didasarkan atas
hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun atasnya.[25]
2. Definisi Istihsan
Istihsan secara bahasa
adalah kata bentukan (musytaq) dari al-hasan (apapun
yang baik dari sesuatu). Istihsan sendiri kemudian berarti
“kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini
bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah; meskipun hal
itu dianggap tidak baik oleh orang lain.”
Adapun menurut
istilah, Istihsan memiliki banyak definisi di kalangan ulama
Ushul fiqih. Diantaranya adalah:
1.
Mengeluarkan hukum suatu masalah dari hukum
masalah-masalah yang serupa dengannya kepada hukum lain karena didasarkan hal
lain yang lebih kuat dalam pandangan mujtahid.
2.
Dalil yang ada dalam diri seorang mujtahid,
namun tidak dapat diungkapkannya dengan kata-kata.
3.
Meninggalkan apa yang menjadi konsekuensi
qiyas tertentu menuju qiyas yang lebih kuat darinya.
4.
Mengamalkan dalil yang paling kuat di
antara dua dalil.
Dari pengertian tersebut,
dapat disimpulkan bahwa inti dari Istihsan adalah ketika
seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan
hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan
hukum kedua dari hukum yang pertama.
Sebagai contoh
misalnya, pendapat yang disebutkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (w. 264 H) bahwa
tayammum itu wajib dilakukan pada setiap waktu shalat atas dasar Istihsan, padahal
secara qiyas tayammum itu sama kedudukannya dengan berwudhu dengan menggunakan
air yang tidak wajib dilakukan pada setiap waktu shalat, kecuali jika wudhunya
batal. Dengan kata lain, tayammum secara qiyas seharusnya tidak perlu dilakukan
pada setiap waktu shalat, namun atas dasar Istihsan, Imam
Ahmad memandang ia wajib dilakukan setiap waktu shalat berganti.
Kedudukan
Argumentatif (Hujjiyah) Istihsan
Menyikapi
penggunaan Istihsan kemudian menjadi masalah yang
diperselisihkan oleh para ulama. Dan dalam hal ini, terdapat dua pandangan
besar yang berbeda dalam menyikapi Istihsan sebagai salah satu
bagian metode ijtihad. Berikut ini adalah penjelasan tentang kedua pendapat
tersebut beserta dalilnya.
Pendapat
pertama, Istihsan dapat digunakan sebagai bagian dari ijtihad
dan hujjah. Pendapat ini dipegangi oleh Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah.
.
Firman Allah:
“Dan ikutilah
oleh kalian apa yang terbaik yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan
kalian.” (al-Zumar:55)
Menurut mereka,
dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik, dan
perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang
memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwaIstihsan adalah
hujjah.
Hadits Nabi saw:
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ
عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ.
“Apa yang dipandang
kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik.”
Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh
kaum muslimin dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini
menunjukkan kehujjahan Istihsan.
Ijma’
Mereka mengatakan
bahwa para ulama telah berijma’ dalam beberapa masalah yang dilandasi
oleh Istihsan, seperti:
-
Bolehnya masuk ke dalam hammam tanpa
ada penetapan harga tertentu, penggantian air yang digunakan dan jangka waktu
pemakaiannya .
-
Demikian pula dengan bolehnya
jual-beli al-Salam (pesan barang bayar di muka), padahal
barang yang dimaksudkan belum ada pada saat akad.
Pendapat
kedua, Istihsan tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dalam
berijtihad. Pendapat ini dipegangi oleh Syafi’iyah dan Zhahiriyah.
Para pendukung
pendapat ini melandaskan pendapatnya dengan dalil-dalil berikut:
1.
Bahwa syariat Islam itu terdiri dari nash
al-Qur’an, al-Sunnah atau apa yang dilandaskan pada keduanya. Sementara Istihsan bukan
salah dari hal tersebut. Karena itu ia sama sekali tidak diperlukan dalam
menetapkan sebuah hukum.
2. Firman Allah:
“Wahai kaum beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada
Rasul serta ulil amri dari kalangan kalian. Dan jika
kalian berselisih dalam satu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah dan
Rasul-Nya...”(al-Nisa’ : 59)
Ayat ini menunjukkan
kewajiban merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya dalam menyelesaikan suatu masalah,
sementara Istihsan tidak termasuk dalam upaya merujuk kepada
Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, ia tidak dapat diterima.
3.
Jika seorang mujtahid dibenarkan untuk menyimpulkan
hukum dengan akalnya atas dasar Istihsan dalam masalah yang
tidak memiliki dalil, maka tentu hal yang sama boleh dilakukan oleh seorang
awam yang boleh jadi lebih cerdas daripada sang mujtahid. Dan hal ini tidak
dikatakan oleh siapapun, karena itu seorang mujtahid tidak dibenarkan
melakukan Istihsan dengan logikanya sendiri.
4.
Ibn Hazm (w. 456 H) mengatakan: “Para
sahabat telah berijma’ untuk tidak menggunakan ra’yu, termasuk
di dalamnya Istihsan dan qiyas. Umar bin al-Khathab radhiyallahu
‘anhu mengatakan: ‘Jauhilah para pengguna ra’yu! Karena mereka
adalah musuh-musuh Sunnah...’ ....”
Imam al-Syafi’i
dan Istihsan
Salah satu ungkapan
Imam al-Syafi’i yang sangat masyhur seputar Istihsan adalah:
من استحسن فقد شرع
“Barang siapa yang
melakukan Istihsan, maka ia telah membuat syariat (baru).”
Maksudnya ia telah menetapkan dirinya sebagai penetap syariat selain Allah.
Disamping penegasan
ini, beliau juga memiliki ungkapan-ungkapan lain yang menunjukkan pengingkaran
beliau terhadap Istihsan. Akan tetapi, dalam beberapa
kesempatan, Imam al-Syafi’i ternyata juga melakukan ijtihad dengan meninggalkan
qiyas dan menggunakan Istihsan. Berikut ini adalah beberapa
contohnya:
1.
Pandangan beliau seputar penetapan
kadar mut’ah atau harta yang wajib diberikan sang suami kepada
istri yang telah diceraikan –demi menolong, memuliakan dan menghilangkan rasa
takutnya yang diakibatkan perceraian itu-.
Sebagian fuqaha
mengatakan bahwa mut’ah semacam ini tidak memiliki batasan
yang tetap dan dikembalikan pada ijtihad sang qadhi. Ulama lain membatasinya
dengan sesuatu yang mencukupinya untuk mengerjakan shalat. Namun Imam
al-Syafi’i beristihsan dan memberikan batasan 30 dirham bagi yang
berpenghasilan sedang, seorang pembantu bagi yang kaya, dan sekedar penutup
kepala bagi pria yang miskin. Beliau mengatakan:
“Saya tidak
mengetahui kadar tertentu (yang harus dipenuhi) dalam pemberian ‘mut’ah’, akan
tetapi saya memandang lebih baik (Istihsan) jika kadarnya 30 dirham,
berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Ibnu Umar.”
Istihsan beliau
dalam perpanjangan waktu syuf’ah selama 3 hari. Beliau
mengatakan:
“Sesungguhnya ini
hanyalah Istihsan dari saya, dan bukan sesuatu yang bersifat mendasar.”
2.
Istihsan beliau dalam
peletakan jari telunjuk muadzin dalam lubang telinganya saat mengumandangkan adzan.
Beliau mengatakan:
“Bagus jika ia
(muadzin) meletakkan kedua telunjuknya ke dalam lubang telinganya (saat
adzan).”
3. Definisi Maslahah Al Mursalah:
Secara
etimologi, maslahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna.
Maslahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat.
Secara terminologi, terdapat beberapa definisi maslahah yang dikemukakan ulama
ushul fiqh, tetapi seluruh definisi tersebut mangandung esensi yang sama. Imam
Al-Ghazali, mengemukakan bahwa pada prinsipnya maslahah adalah “mengambil
manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.”
Tujuan syara’ yang harus dipelihara tersebut, menurut al-Ghazali, ada lima
bentuk yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Apabila
seseorang melakukan suatu perbuatan yang pada intinya untuk memelihara kelima
aspek tujuan syara’ di atas, maka dinamakan maslahah. Di samping itu, upaya
untuk menolak segala bentuk kemudaratan yang berkaitan dengan kelima aspek
tujuan syara’ tersebut, juga dinamakan maslahah.
Dengan demikian,
al-Maslahah al-Mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai
dasardalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya.
Sedangkan alasan
dikatakan al-mursalah, karena syara’ memutlakannya bahwa di dalamnya tidak
terdapat kaidah syara’ menjadi penguatnya ataupun pembatalnya.
Macam-Macam
Al-Maslahah Al-Mursalah :
Para ahli ushul
fiqh mengemuakkan beberapa pembagian maslahah, jika dilihat dari beberapa segi
:
Dilihat dari segi
kualitas dan kepentingan kemaslahatan itu, para ahli ushul fiqh membaginya
kepada tiga macam, yaitu:
1.
Maslahah al-Dzaruriyyah, yaitu kemaslahatan
yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat.
Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu
1. memelihara
agama,
2. memelihara jiwa,
3. memelihara akal,
4. memelihara
keturunan, dan
5. memelihara
harta.
Kelima kemaslahatan
ini, disebut dengan al-mashalih al-khamsah.
2.
Maslahah al-Hajiyah, yaitu kemaslahatan
yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar) sebelumnya
yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan
mendasar manusia. Misalnya, dalam bidang ibadah diberi keringanan meringkas
(qashr) shalat dan berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir.
3.
Maslahah al-Tahsiniyyah, yaitu kemaslahatan
yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan
sebelumnya. Misalnya, dianjurkan untuk memakan yang bergizi.
Dilihat dari segi
kandungan maslahah, para ulama ushul fiqh membaginya kepada:
1.
Maslahah al-‘Ammah, yaitu kemaslahatan umum
yang menyangkut kepentingan orang banyak. Misalnya, para ulama membolehkan
membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak aqidah umat, karena menyangkut
kepentingan orang banyak.
2.
Maslahah al-Khashshah, kemaslahatan pribadi
dan ini sangat jarang sekali, seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan
pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (maqfud).
Dilihat dari segi
berubah atau tidaknya maslahah, menurut Muhammad Musthafa al-Syalabi, guru
besar ushul fiqh di Universitas al-Azhar Mesir, ada dua bentuk, yaitu:
1.
Maslahah al-Tsabitah,
2.
Maslahah al-Mutaghayyirah,
Dilihat dari segi
keberadaan maslahah menurut syara’:
1.
Maslahah al-Mu’tabarah,
2.
Maslahah al-Mulghah,
3.
Maslahah al-Mursalah,
Kehujjahan Al-Maslahah
Al-Mursalah
Adapun terhadap
kehujjahan maslahah al-mursalah, pada prinsipnya Jumhur Ulama menerimanya
sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum syara’, sekalipun dalam
penerapan dan penempatan syaratnya, mereka berbeda pendapat.
Ulama Hanafiyyah
mengatakan bahwa untuk menjadikan maslahah al-mursalah sebagai dalil
disyaratkan maslahah tersebut berpengaruh pada hukum. Artinya, ada ayat, hadits
atau ijma’ yang menunjukkan bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu
merupakan ‘illat (motivasi hukum) dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat
yang menjadi motivasi hukum tersebut dipergunakan oleh nash sebagai motivasi
suatu hukum.
Ulama Malikiyyah
dan Hanabilah menerima maslahah al-mursalah sebagi dalil dalam menetapkan
hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas
menerapkannya. Untuk bisa menjadikan maslahah al-mursalah sebagai dalil dalam
menetapkan hukum, ulama Malikiyyah dan Hanabilah mensyaratkan tiga syarat,
yaitu:
1.
Kemaslahatan itu sejalan dengan kehendak
syara’ dan termasuk dalam jenis kemaslahatan yang didukung nash secara umum.
2.
Kemaslahatan itu bersifat rasional dan
pasti, bukan sekedar perkiraan, sehingga hukum yang ditetapkan melalui maslahah
al-mursalah itu benar-benar menghasilkan manfaat dan menghindari atau menolak
kemudaratan.
3.
Kemaslahatan itu menyangkut kepentingan
orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau kelompok kecil tertentu.
Ulama golongan
Syafi’iyyah, pada dasarnya, juga menjadikan maslahah sebagai salah satu dalil
syara’. Akan tetapi, Imam Syafi’i, memasukkannya ke dalam qiyas. Ada beberapa
syarat yang dikemukakan al-Ghazali terhadap kemaslahatan yang dapat dijadikan
hujjah dalam mengistinbatkan hukum, yaitu:
1. Maslahah
itu sejalan dengan jenis tindakan-tindakan syara’
2. Maslahah
itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan nash syara’
3. Maslahah itu termasuk ke dalam kategori maslahah yang dharuri, baik menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan orang banyak dan universal, yaitu berlaku sama untuk semua orang.
3. Maslahah itu termasuk ke dalam kategori maslahah yang dharuri, baik menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan orang banyak dan universal, yaitu berlaku sama untuk semua orang.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Dalam pemecahan persoalan-persoalan hukum
yang dihadapi, umat Islam berpegang teguh kepada al Qur’an, as Sunnah dan Ijma’ para Shahabat. Namun karena
persoalan hukumyang dihadapi oleh umat Islam selalu berkembang dan merupakan
persolaan baru, di mana dalam al Qur’an, as Sunnah dan Ijma’ para shahabat
tidak ditemukan landasan hukumnya, maka para ulama dalam hal ini memakai metode
istinbath hukum, dinataranya : Qiyas, Istihsan dan Maslahah Mursalah.
Dalam masalah Qiyas para ulama’ berselisih
paham dengan para ulama jumhur yang terdiri dari 3 kelompok yakni kelompok
Jumhur, Dzahiriyah dan syi’ah Imamiyah serta kelompok yang lebih memperluas
kelompok ini.
Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa
qiyas merupakan hokum Syar’i dan termnasuk sumber hokum yang keempat dari
sumber hukum yang lain. Rukun qiyas ada 4 yaitu : asal (pokok), fara’ (cabang)
hukumashal dan illat.
Istihsan adalaha mengumpulkan dalil yang
kuat diantara 2 dalil. Kehujjahan maslahah adalah mursalah. Pada prinsipnya
jumhur ulama’ menerimanya salah satu alasan dalam menetapkan hokum syar’i
sekalipun dalam penerapannya penempatan syaratnya mereka berbeda pendapat.
2.
Saran
Demikianlah
yang dapat kami sampaikan dalam membahas makalah ini. Semoga dapat menjadi
bahan kajian dan dapat menambah wawasan pemikiran kita. Oleh karena itu, saran
dan kritik yang membangun sangat kami
harapkan dari pembaca yang budiman.
DAFTAR PUSTAKA
Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu ushul fiqh. Bandung:
Gema Risalah Press. 1996.
Muchtar, Kemal dkk. Ushul fiqh jilid 1.
Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf. 1995.
Syukur, Syarmin. Sumber-sumber hukum
Islam: ilmu ushul fiqih perbandingan. Surabaya: Al Ikhlas. 1993.
Usman, Iskandar. Istihsan dan
pembaharuan hukum islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1994.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar