“HUKUM WADH’I”
Disusun
Guna Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah Ushul Fiqih
Dosen Pengampu Bpk Ahmad Atabik,
Lc,MSI
Disusun oleh:
Mahfudh Fauzi :
111634 (C .ELK)
Fauziyatul
Wafiroh : 111653 (C .ELK)
M. Harun Muafiq :
111655 (C .ELK)
==================================================
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH
TAHUN 2012
BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam
adalah agama yang sempurna, yang hukum dan aturannya mencakup segala bidang dan
aspek kehidupan manusia. Dalam bidang politik, Islam telah mengajarkan kepada
para politisi bagaimana cara berpolitik, berfikir, dan berasumsi yang baik dan
benar yang pada akhirnya dapat memberi kemaslahatan terhadap kelangsungan hidup
umat manusia. Hal ini tercermin pada peran Rasulullah Saw. saat menjadi
presiden, pemimpin, dan khalifah umat Islam semasa berdirinya Daulah Islamiyah.
Dalam bidang ekonomi, Rasulullah Saw. yang disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai
Uswah Hasanah, telah memberi contoh kepada para bisnismen tentang bagaimana
cara berniaga yang diperbolehkan dalam Islam. Dalam bidang pendidikan,
Rasulullah Saw. telah memberikan metode kepada para dosen, mentor, dan da’i
tentang bagaimana cara menyampaikan ilmu yang baik sesuai dengan keadaan
penerima, sehingga ilmu yang disampaikan dapat diterima dengan jelas. Dalam
bidang sosial, Islam telah mengajarkan tentang bagaimana cara bertetangga dan
bermasyarakat yang baik sehingga bisa terjalin hubungan yang harmonis antar
sesama, Rasulullah Saw. bersabda : Demi Dzat yang jiwaku barada di tangan-Nya,
seorang hamba tidak dikatakan beriman sehingga ia mencintai tetangganya
sebagaimana ia mencintai dirinya. (HR. Bukhari dan Muslim).
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari Hukum Wadh’i?
2. Ada berapa
macam Hukum Wadh’i?
C. Tujuan
Dari
berbagai uraian tersebut juga dapat memiliki tujuan yaitu agar dapat
mengetahui pengertian dari hukum Wadh’i dan mengetahui macam – macam hukum wadh’i.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Hukum Wadh’i
Hukum
wadh’i adalah hukum yang menetapkan dan menjadikan sesuatu sebagai sebab
(al-sabab), syarat (al-syarthu), atau pencegah (al-mani’). Hukum ini dinamakan
hukum wadh’i karena dalam hukum tersebut terdapat dua hal yang saling
berhubungan dan berkaitan. Seperti hubungan sebab akibat, syarat, dan lain-lain.
Tapi pendapat lain mengatakan bahwa definisi hukum wadh’i adalah hukum yang
menghendaki dan menjadikan sesuatu sebagai sebab (al-sabab), syarat
(al-syarthu), pencegah (al-mani’), atau menganggapnya sebagai sesuatu yang sah
(shahih), rusak atau batal (fasid), azimah atau rukhshah. Definisi ini adalah
menurut Imam Amidi, Ghazali, dan Syathibi.
Dari
definisi di atas dapat disimpulkan bahwa ada ikhtilaf di kalangan para ulama
tentang al-shihhah, al-buthlan atau al-fasid, al-‘azamah, dan al-rukhshah. Sebagian
ulama menganggap hukum-hukum tersebut tidak termasuk dalam lingkup hukum
wadh’i. Akan tetapi sebaliknya, sebagian ulama lain menganggap bahwa
hukum-hukum tersebut termasuk bagian dari hukum wadh’i.
Adapun
alasan mengapa rukhshah dan azimah bukan termasuk dalam hukum wadh’i akan
tetapi masuk dalam hukum taklifi adalah karena kedua hukum tersebut mengandung
kehendak atau permintaan (iqtidha) dalam hukum azimah dan kebebasan memilih
(takhyir) dalam hukum rukhshah. Sebaliknya pendapat yang menganggap bahwa
azimah dan rukhshah merupakan bagian dari hukum wadh’i dan bukan termasuk dalam
hukum taklifi mengatakan bahwa rukhshah pada hakikatnya adalah sifat yang
dijadikan Syari’ sebagai sebab peringanan suatu hukum syariat, sedangkan azimah
adalah kelangsungan adat dan kebiasaan yang menjadi sebab berlakunya hukum
asli, seperti hukum kewajiban salat, zakat, dan lain sebagainya.
Sedangkan
alasan mengapa al-shihhah dan al-buthlan atau al-fasid tidak termasuk dalam
hukum wadh’i akan tetapi bagian dari hukum taklifi, yaitu karena pada
hakikatnya al-shihhah adalah pembo1ehan dari Syari’ untuk memanfaatkan sesuatu,
seperti pembolehan memanfaatkan mabi’ (barang yang dijual) oleh pihak pembeli.
Sebaliknya al-buthlan adalah keharaman memanfaatkan sesuatu, seperti larangan
memanfaatkan mabi’ jika akad jual beli batal atau tidak sah.
B.
Pembagian Hukum Wadh’i
1. Sebab1 :
a. Pengertian Sebab
Sebab menurut bahasa berarti sesuatu
yang bisa menyampaikan seseorang kepada sesuatu yang lain. Menurut ishtilah
ushul fiqh, seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidani, sebab berarti:
Yaitu sesuatu yang diijadikan oleh syari'at sebagai tanda
bagi adanya hukum, dan tidak adanya sebab sebagai tanda bagi tidak adanya
hukum. Misalnya, tindakan perzinahan menjadi sebab, atau alasan bagi wajib
dilaksanakan hukuman atas pelakunya, keadaan gila menjadi sebab (alasan) bagi
keharusan ada pembimbingnya, dan tindakan perampokan menjadi sebab bagi adanya
kewajiban mengembalikan harta yang dirampok kepada pemiliknya.
b. Pembagian sebab
Para
ulama ushul fiqh membagi sebab kepada dua macam:
1. Sebab yang bukan merupakan perbuatan
mukallaf dan berada diluar kemampuannya. Namun demikian sebab itu mempunyai
hubungan dengan hukum taklifi, karena syari'at telah menjadikannya sebagai
alasan bagi adanya suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang
mukallaf. Misalnya, tergelincirnya matahari menjadi sebab (alasan) datangnya
shalat zuhur.
2. Sebab yang merupakan perbuatan
mukallaf dan dalam batas kemampuannya. Misalnya perjalanan menjadi sebab bagi
bolehnya berbuka puasa disiang hari romadhon. Sebab yang merupakan perbuatan
mukallaf ini berlaku kepadanya ketentuan-ketentuan taklifi. Oleh sebab itu,
diantaranya ada yang diperintahkan untuk dilakukan, seperti perintah melakukan
akad nikah ketika khawatir akan terjadi perzinahan, diantaranya seperti larangan
berzina yang merupakan sebab bagi ancaman hukuman, dan ada pula yang mubah,
seperti boleh melakukan akad jual beli sebagai sebab bagi perpindahan milik
dari penjual kepada pihak pembeli.
-
Perbedaan antara sebab dan illat
Abdul
Karim Zaidani menjelaskan perbedaan antara sebab dan illat. Sesuatu yang
dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi adanya hukum terdiri dari dua bentuk.
Bentuk pertama antara tanda (sebab) dengan sesuatu yang ditandai yaitu musabab
mempunyai hubungan logis, dalam pengertian bisa ditelusuri akal pikiran
hubungan antara keduanya, dan bentuk kedua, hubungan antara keduanya tidak bisa
ditelusuri oleh akal pikiran.
Bentuk
pertama diatas, disamping disebut sebagai sebab, juga disebut illat. Sedangkan
bentuk kedua hanya disebut sebab. Contoh bentuk pertama perjalanan adalah sebab
dan juga illat bagi bolehnya berbuka puasa disiang hari bulan romadhon, dan
keadaan memabukkan menjadi sebab atau illat bagi haramnya minuman khamr.
Sedangkan contoh bentuk kedua yaitu sebab yang bukan illat seperti terbenamnya
matahari menjadi sebab bagi wajibnya melaksanakan shalat maghrib dan terbit
fajar bagi masuk shalat shubuh.
Pada sebab semacam ini Allah menjadikan terbenamnya matahari sebagai sebab bagi
wajibnya melaksanakan shalat maghrib, dan terbit fajar menjadi tanda masuknya
shalat subuh, tanpa adanya hubungan logis antara peristiwa terbenamnya matahari
dan terbit fajar itu dengan kewajiban melaksanakan shalat. (Efendi Satria,2005
: 62 - 64)
السبب وهو ما يلزم من وجوده وجودالحكم
و من عدمه عدم الحكم. بيان أنّ الله عزّ وجلّ جعل في الزنى مثلا حكمين أحدهما
تكليفيىّ وهو وجوب الحد عليه و الثانى وضعىّ وهو جعل الزنا سببا لوجوب الحدّ
Ushul Fiqh Prof. Dr. H. Satria Effendi,M.Zein,M.A. Prenada
Media 2005 1
2. Syarat2:
Pengertian Syarat:
Syarat adalah sesuatu yang keberadaan suatu hukum tergantung
pada keberadaan sesuatu itu, dan dari ketiadaan sesuatu itu diperoleh ketetapan
ketiadaan hukum tersebut. Yang dimaksudkan adalah keberadaannya secara syara'
yang menimbulkan efeknya
Syarat merupakan hal yang diluar hakekat sesuatu yang disyaratkan. Ketiadaan
syarat menetapkan ketiadaan yang disyaratkan, namun adanya syarat tersebut
tidak memastikan adanya yang disyaratkan. Misalnya, perkara perkawinan
merupakan syarat bagi penjatuhan talaq. Apabila perkawinan itu tidak ditemukan,
maka talaq tidak akan ada dan tidak pula dari keberadaan perkawinan, keberadaan
talaq dipastikan. Apabila tidak ada wudhu maka mendirikan shalat tidak sah,
namun keberadaan wudhu tidak memastikan pendirian shalat.
Keberadaan perkawinan secara syara' yang dapat menimbulkan berbagai konsekuensi
hukumnya tergantung pada kehadiran dua orang saksi pada waktu akad
perkawinannya. Keberadaan jual beli menurut syara' yang dapat menimbulkan
berbagai konsekuensi hukumnya tergantung pada pengetahuan tergantung pada
pengetahuan terhadap dua benda yang dipertukarkan. Demikianlah, segala sesuatu
yang disyaratkan oleh syari' untuk menjadi syarat baginya tidak akan dapat
terbukti keberadaannya menurut syara' kecuali apabila telah ditemukan
syarat-syaratnya, dan ia dianggap menurut syara' sebagai sesuatu yang tidak
ada, apabila syarat-syaratnya tidak ada. Akan tetapi harus pula adanya syarat
menentukan keberadaan masyrutnya.
Syarat-syarat syari'iyyah adalah yang menyempurnakan sebab dan menjadikan
efeknya timbul padanya. Misalnya, pembunuhan merupakan sebab bagi pewajiban
qishash, akan tetapi dengan syarat, bahwa ia merupakan pembunuhan secara
sengaja dan kezhaliman. Misalnya lagi, akad perkawinan merupakan sebab bagi
pemilikan hak menikmati, akan tetapi dengan syarat perkawinan itu dihadiri oleh
dua orang saksi. Demikianlah, setiap akad atau tindakan hukum tidak akan
menimbulkan efeknya kecuali apabila syarat-syaratnya telah terpenuhi.
Perbedaan antara rukun dan syarat sesuatu, padahal masing-masing
dari keduanya menjadi tempat tergantungnya keberadaan hukum :
bahwasanya rukun merupakan bagiannya dari hakekat sesuatu. Adapun syarat
merupakan hal yang berada di luar hakekatnya dan bukan termasuk
bagian-bagiannya. Misalnya, ruku' adalah rukun shalat, karena ia adalah bagian
dari hakekat shalat, sedangkan bersuci adalah syarat shalat, karena ia adalah
hal yang berada di luar hakekat. Misalnya lagi, shighat akad dan dua orang yang
berakad serta tempat akad merupakan beberapa rukun akad karena ia adalah
bagian-bagian akad; sedangkan kehadiran dua orang saksi dalam perkawinan dan
penentuan dua barang dipertukarkan dalam jual beli, serta penyerahan sesuatu
yang dihibahkan dalam suatu hibah merupakan syarat, bukan rukun, karena ia
tidak termasuk dari bagian-bagian akad. Oleh karena inilah, maka wakaf
mempunyai beberapa rukun dan syarat. Demikian pula jual beli dan seluruh akad
dan tindakan hukum juga mempunyai syarat dan rukun. Apabila terjadi kerusakan
pada salah satu rukunnya, maka hal itu merupakan pada akad atau tindakan hukum
itu sendiri. Apabila terjadi kerusakan pada salah satu syarat, maka ia
merupakan kerusakan pada sifatnya, artinya pada suatu hal yang berada di luar
hakekatnya.
Persyaratan
suatu syarat terkadang melalui hukum syari', dan ia di sebut dengan syarat
syar'i.
Tekadang
pula, persyaratan suatu syarat terjadinya dengan tasharut (tindakan hukum)
mukallaf, dan ia disebut dengan syarat ja'li.
Misal yang pertama adalah semua syarat yang disyaratkan oleh
syari' dalam perkawinan, jual beli, hibah, wasiat, syarat yang dipersyaratkan
untuk mewajibkan shalat lima waktu, zakat, puasa, dan haji, dan syarat yang
disyaratkannya untuk melaksanakan hukuman had dan lain sebagainya.
Misal yang kedua adalah syarat-syarat yang ditetapkan oleh
suami untuk menjatuhkan thalaq terhadap istrinya, yang di syariatkan oleh
majikan untuk memerdekakan budaknya. Karena sesungguhnya penggantungan
thalaq pemerdekaan atas keberadaan syarat, konotasinya adalah: bahwasanya
keberadaan thalaq atau pemerdekaan tergantung kepada adanya syarat tersebut,
dan ketiadaan syaratnya memastikan ketiadaan yang disyariatkan. Misalnya,
shigat thalaq merupakan sebab bagi timbulnya thalaq, akan tetapi apabila
beberapa syarat terpenuhi.
Seorang mukallaf tidak boleh menggantunkan akad apapun atau
suatu tindakan hukum atas persyaratan yang dikehendakinya. Akan tetapi
syaratnya haruslah tidak menafikan hukum akad atau tindakan hukum. Adapun
apabila syarat tersebut menafikan hukum akad, maka akad tersebut batal, karena
sesungguhnya syarat menyempurnakan sebab. Maka apabila syarat itu menafikan
hukumnya, maka ia membatalkan kesebabannya.
Misalnya hal itu ialah: akad-akad yang menunjukkan pemilikan
yang sempurna atau kehalalan yang sempurna, seperti akad jual beli dan akad
perkawinan. Hukum syar'inya adalah bahwasanya pengaruh yang timbul pada
masing-masing dari keduanya tidak tertunda dari shigatnya. Apabila seorang
mukallaf mengadakan jual beli atau perkawinan dan menggantungkan salah satu
dari keduanya bahwa di masa mendatang harus ada syarat yang
disyariatkannya, kemudian bahwasanya konotasi persyaratan ini ialah bahwa efek
akad tidak di temukan kecuali apabila syarat itu ada. Ini menafikan tuntutan
dari akad, yaitu bahwasanya hukumnya tidak tertunda daripadanya. Oleh karena
inilah, maka jual beli yang digantungkan atas suatu syarat adalah batal.
Demikin pula perkawinan yang digantungkan pada suatu syarat. Dengan demkian,
syarat ja'li (buatan), apabila ia diakui oleh syar'i, maka ia menjadi syarat
syar'i. .(Khalaf Abdullah Wahab,1994 : 173 - 175)
2 Ilmu
Ushul Fiqh prof. Abdul Wahab Khallaf terbitan Dina Utama Semarang2
3. Penghalang / Mani'3:
a.
Pengertian Mani’
Mani' yaitu sifat yang nyata yang keberadaannya menyebabkan ada hukum atau
tidak ada sebab. Misalnya, hubungan suami isteri dan hubungan kekerabatan
menyebabkan mendapatkan pembagian warisan dari harta suami atau ayah yang
wafat, sesuai dengan pembagian masing-masing. Akan tetapi, hak mewarisi ini bisa
terhalang apabila anak atau isteri membunuh suami atau ayah yang mewarisi harta
tersebut. (HR. Bukhari dan Muslim).
Perbuatan membunuh itu merupakan mani' (penghalang) untuk mendapatkan pembagian
warisan dari orang yang dibunuh. Di sisi lain adanya pembunuhan menyebabkan
dilaksanakannya hukuman qishash bagi pelaku pembunuhan. Akan tetapi, dalam
hubungan ayah dan anak atau isteri dengan suami dalam kasus pembunuhan di atas,
maka hubungan keturunan (perkawinan) menjadi penghalang dilaksanakannya hukuman
qishash.
Keterkaitan antara sebab, syarat, dan mani' sangat erat. Penghalang itu ada
bersamaan dengan adanya sebab dan terpenuhinya syarat-syarat. Syar'i menetapkan
bahwa suatu hukum yang dikerjakan adalah hukum yang ada sebabnya, memenuhi
syarat-syaratnya dan tidak ada penghalang (mani') dalam melaksanakannya.
Sebaliknya, hukum tidak ada, apabila sebab dan syarat-syaratnya tidak ada, atau
adanya untuk mengerjakannya. Misalnya, shalat zhuhur wajib dikerjakan apabila
telah tergelincir matahari (sebab) dan telah berwudhu (syarat) namun,
karena orang yang akan mengerjakan itu sedang haid (mani') maka shalat Zhuhur
itu tidak sah dikerjakan. Meskipun telah terpenuhinya sebab dan syarat, tetapi
ada mani', yaitu haid, maka Zhuhur pun tidak bisa dikerjakan. Demikian juga
halnya apabila syarat terpenuhi (telah berwudhu) tetapi penyebab wajibnya
shalat dhuhur belum muncul (matahari belum tergelincir) maka shalat pun belum
wajib.
b.
Pembagian mani’
Para
ulama' dikalangan madzhab Hanafi membagi mani' menjadi lima macam:
1. Mani' yang menghalangi sahnya sebab
hukum seperti menjual orang yang merdeka tidak memperjual belikan orang yang
merdeka karena orang merdeka bukan termasuk barang yang boleh diperjualbelikan.
Padalah membeli menjadi sebab hak milik dan kebolehan menguasai dan mengambil
manfaat dari barang yang dibeli.
2. Mani' yang menjadi penghalang
kesempurnaan sebab lahirnya hukum bagi orang yang tidak ikut serta melakukan
perjanjian dan menjadi penghalang bagi orang yang mengikat perjanjian. Seperti
menjual barang yang tidak miliknya, penjualan seperti ini tidak sah karena
terdapat mani' ialah barang yang dijual adalah milik orang lain. Namun, apabila
pemilik barang yang dijual menyetujui penjualan itu maka perjanjian itu menjadi
sah.
3. Mani' yang menjadi penghalang
berlaku hukum seperti khiyar syarat dari pihak penjual yang menghalangi pembeli
menggunakan haknya terhadap barang yang dibelinya selama masa khiyar syarat
berlaku. Umpanya si A berkata si B bahwa barang yang dijualnya kepada si B
tidak boleh dipergukan selama tiga hari karena si A masih berpikir-pikir lagi
pada masa yang ditetapkan itu dan kalau pendiriannya berubah pada masa itu maka
penjualannya di batalkan. Sebelum syarat berakhir pembeli haknya terhalang pada
terhadap barang yang dibelinya.
4. Mani' yang menghalangi sempurna
hukum seperti khiyar rukyah. Khiyar rukyah tidak menghalangi lahirnya haknya
milik namun hak milik itu dianggap belum sempurna sebelum pembeli melihat
barang yang dibelinya sekalipun barang itu sudah ada di tangan pembeli. Kalau
pembeli sudah melihat barang yang dibelinya ia boleh meneruskan pemblian selama
barang yang dibelinya cocok sifatnya dengan apa yang tetapkan, tetapi dalam hal
barang yang dijualbelikan tidak cocok dengan persyaratkan ditetapkan maka
pembeli dapat membatalkan tanpa menunggu persetuan penjual.
Mani' yang menghalangi berlakunya hukum, seperti cacat, dan
sebagainya. Si A sebagai pembeli suatu barang belum tahu keadaan barang
tersebut dia berhak memilih antara meneruskan perjajian atau mengembalikan
barang yang dibelinya hanya haknya mengembalikan tidak lebih dari tiga hari.
Mani' seperti yang diterangkan di atas bukan dimaksud agar mukallaf berusaha
untuk mencapainya atau berusaha menolaknya. Orang yang telah memiliki harta
yang cukup nisabnya, tidak diperintahkan mempergunakan hak itu agar tidak
bekurang dari jumlah nisab dan tentunya apabila kurang dari jumlah ia tidak
wajib mengeluarkan zakatnya. Dan tidak pula di suruh mempergunakan harta itu
agar jumlah nisabnya berkurang sehingga tidak mengeluarkan zakat, tetapi mani'
ini ditetapkan syarat kalau secara kebetulan terdapat mani' maka terhapuslah
hukum atau sebab yang melahirkan hukum. (Uman Chaerul dkk, 1998 : 246-248)
3Ushul Fiqh
1 (Drs. Chaerul Uman, dkk. Penerbit Pustaka Setia Bandung)
4. Sah dan
batal 4:
Lafal sah dapat diartikan lepas tagung jawab atau gugur kewajiban didunia serta
memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat. Shalat dikatakan sah karena telah
dilaksanakan sesuai dengan yang diperintah syara' dan akan mendatangkan pahala
di akhirat. Sebaliknya lafal batal dapat diartikan tidak melepaskan tanggung
jawab, tidak mengugurkan kewajiban di dunia dan di akhirat tidak memperoleh
pahala. Setiap perbuatan yang dibebankan kepada mukallaf sudah ditentukan rukun
dan syaratnya dan perbuatan itu harus disesuaikan dengan perintah Allah atau
sekurang-kurangnya tidak dilarang. Setiap perbuatan yang telah memenuhi rukun
dan syarat serta dilaksanakan menurut ketentuan yang ditetapkan syarat
dinamakan sah dan sebaliknya perbutan yang kurang rukun dan syarat serta
bertentangan dengan ketentuan syarat maka dinamakan batal.
Kalau perbuatan yang dituntut syara' dikatakan sah maka orang yang
melaksanakannya dikatakan telah menunaikan tuntutan, lepaslah dari tanggung
jawab, tidak di tuntut hukuman, baik di dunia maupun di akhirat, bahkan ia
mendapatkan pahala di akhirat kelak. Sebaliknya perbuatan yang tidak memenuhi
persyaratan dan rukun serta bertentangan dengan ketentuan syara' tidak dapat
menghapuskan kewajiban, yang melakukannya pun dituntut, baik didunia maupun di
akhirat.
Menurut para ulama', setiap perbuatan apakah ibadah maupun muamalat bertujuan
untuk mencapai kemaslahatan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Dalam hal
ini termasuk semua macam perjanjian yang mengandung dua tujuan pokok, yaitu
memenuhi tuntutan syara' dan mencapai mewujudkan kemaslahatan hidup.
Menurut para ulama' dalam kalangan mazhab syafi'i kedua tujuan ini terdapat
dalam ibadah maupun dalam muamalah yang diantaranya perjanjian, namun tujuan
pertama lebih menonjol. Karena itu, setiap perjanjian yang tidak memenuhi
tuntutan syara' maka dianggap batal demikian pula sebaliknya. Jadi, menurut
para ulama dalam kalangan mazhab syafi'i, tidak ada perbedaan antara ibadah dan
muamalah, dalam keduanya berlaku sah atau batal.
Namun sebagian ulama dikalangan madzab hanafi mengatakan bahwa tujuan
perjanjian, tujuan kedua lebih menonjol karena itu mereka membedakan antara
ibadah dan muamalah. Dalam beribadah mereka sependapat dengan para ulama' dalam
kalangan madzhab Syafi'i yaitu berlaku dua hal ialah sah atau batal. Ibadah
yang batal tidak dapat menghapus kewajiban dan yang bersangkutan wajib
mengqadha. Namun, dalam perjanjian terdapat tiga macam perjanjian yang tidak
sah di bagi menjadi dua macam, yaitu batal dan fasid. Perjanjian batal ialah
yang rukun dan syaratnya kurang, sedangkan perjanjian fasid ialah perjanjian
yang tidak sempurna syaratnya. Perjanjian jual beli oleh orang yang gila atau
anak yang belum mencapai usia mumayiz atau memperjualbelikan sesuatu yang tidak
ada dinamakan perjanjian yang batal. Jual beli dengan harga yang tidak
ditentukan jumlahnya maka perjanjian itu dinamakan perjanjian yang fasid. Akad
nikah dari orang yang belum mencapai usia mumayiz atau menikah dengan wanita yang
haram dinikahi padahal ia telah mengetahuinya, maka perjanjian itu dinamakan
perjanjian yang batal. (Uman Chaerul dkk, 1998 : 248-250)
4Ushul Fiqh
1 (Drs. Chaerul Uman, dkk. Penerbit Pustaka Setia Bandung)
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Hukum
wadh’i adalah hukum yang menetapkan dan menjadikan sesuatu sebagai sebab
(al-sabab), syarat (al-syarthu), atau pencegah (al-mani’). Hukum ini dinamakan
hukum wadh’i karena dalam hukum tersebut terdapat dua hal yang saling
berhubungan dan berkaitan. Seperti hubungan sebab akibat, syarat, dan
lain-lain. Tapi pendapat lain mengatakan bahwa definisi hukum wadh’i adalah
hukum yang menghendaki dan menjadikan sesuatu sebagai sebab (al-sabab), syarat
(al-syarthu), pencegah (al-mani’), atau menganggapnya sebagai sesuatu yang sah
(shahih), rusak atau batal (fasid), azimah atau rukhshah. Definisi ini adalah
menurut Imam Amidi, Ghazali, dan Syathibi.
B. Saran
Berdasarkan
keadaan yang ada dalam masyarakat luas masih banyak yang belum mengerti apa itu
Hukum wadh’i maka dari itu penulis menyarankan kepada para pembaca supaya lebih
memahami apa itu Hukum wadh’i mengingat pentingnya itu Hukum wadh’i didalam
Agama Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Ushul Fiqh Prof. Dr.
H. Satria Effendi,M.Zein,M.A. Prenada Media 2005
2.
Ilmu Ushul
Fiqh prof. Abdul Wahab Khallaf terbitan Dina Utama Semarang
3.
Ushul Fiqh 1 (Drs.
Chaerul Uman, dkk. Penerbit Pustaka Setia Bandung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar