Sabtu, 02 Januari 2016

“HUKUM WADH’I”




“HUKUM WADH’I”
 











Disusun

Guna Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah Ushul Fiqih
Dosen Pengampu Bpk Ahmad Atabik, Lc,MSI

Disusun oleh:

Mahfudh Fauzi                       : 111634 (C .ELK)
Fauziyatul Wafiroh                 : 111653 (C .ELK)
M. Harun Muafiq                    : 111655 (C .ELK)

==================================================
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH
TAHUN 2012
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Islam adalah agama yang sempurna, yang hukum dan aturannya mencakup segala bidang dan aspek kehidupan manusia. Dalam bidang politik, Islam telah mengajarkan kepada para politisi bagaimana cara berpolitik, berfikir, dan berasumsi yang baik dan benar yang pada akhirnya dapat memberi kemaslahatan terhadap kelangsungan hidup umat manusia. Hal ini tercermin pada peran Rasulullah Saw. saat menjadi presiden, pemimpin, dan khalifah umat Islam semasa berdirinya Daulah Islamiyah. Dalam bidang ekonomi, Rasulullah Saw. yang disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai Uswah Hasanah, telah memberi contoh kepada para bisnismen tentang bagaimana cara berniaga yang diperbolehkan dalam Islam. Dalam bidang pendidikan, Rasulullah Saw. telah memberikan metode kepada para dosen, mentor, dan da’i tentang bagaimana cara menyampaikan ilmu yang baik sesuai dengan keadaan penerima, sehingga ilmu yang disampaikan dapat diterima dengan jelas. Dalam bidang sosial, Islam telah mengajarkan tentang bagaimana cara bertetangga dan bermasyarakat yang baik sehingga bisa terjalin hubungan yang harmonis antar sesama, Rasulullah Saw. bersabda : Demi Dzat yang jiwaku barada di tangan-Nya, seorang hamba tidak dikatakan beriman sehingga ia mencintai tetangganya sebagaimana ia mencintai dirinya. (HR. Bukhari dan Muslim).
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian dari Hukum Wadh’i?
2.      Ada berapa macam Hukum Wadh’i?



C.     Tujuan
Dari berbagai uraian tersebut juga dapat memiliki tujuan yaitu agar dapat
mengetahui pengertian dari hukum Wadh’i dan mengetahui macam – macam hukum wadh’i.   
BAB II
PEMBAHASAN

A.     Definisi Hukum Wadh’i

Hukum wadh’i adalah hukum yang menetapkan dan menjadikan sesuatu sebagai sebab (al-sabab), syarat (al-syarthu), atau pencegah (al-mani’). Hukum ini dinamakan hukum wadh’i karena dalam hukum tersebut terdapat dua hal yang saling berhubungan dan berkaitan. Seperti hubungan sebab akibat, syarat, dan lain-lain. Tapi pendapat lain mengatakan bahwa definisi hukum wadh’i adalah hukum yang menghendaki dan menjadikan sesuatu sebagai sebab (al-sabab), syarat (al-syarthu), pencegah (al-mani’), atau menganggapnya sebagai sesuatu yang sah (shahih), rusak atau batal (fasid), azimah atau rukhshah. Definisi ini adalah menurut Imam Amidi, Ghazali, dan Syathibi.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa ada ikhtilaf di kalangan para ulama tentang al-shihhah, al-buthlan atau al-fasid, al-‘azamah, dan al-rukhshah. Sebagian ulama menganggap hukum-hukum tersebut tidak termasuk dalam lingkup hukum wadh’i. Akan tetapi sebaliknya, sebagian ulama lain menganggap bahwa hukum-hukum tersebut termasuk bagian dari hukum wadh’i.

Adapun alasan mengapa rukhshah dan azimah bukan termasuk dalam hukum wadh’i akan tetapi masuk dalam hukum taklifi adalah karena kedua hukum tersebut mengandung kehendak atau permintaan (iqtidha) dalam hukum azimah dan kebebasan memilih (takhyir) dalam hukum rukhshah. Sebaliknya pendapat yang menganggap bahwa azimah dan rukhshah merupakan bagian dari hukum wadh’i dan bukan termasuk dalam hukum taklifi mengatakan bahwa rukhshah pada hakikatnya adalah sifat yang dijadikan Syari’ sebagai sebab peringanan suatu hukum syariat, sedangkan azimah adalah kelangsungan adat dan kebiasaan yang menjadi sebab berlakunya hukum asli, seperti hukum kewajiban salat, zakat, dan lain sebagainya.

Sedangkan alasan mengapa al-shihhah dan al-buthlan atau al-fasid tidak termasuk dalam hukum wadh’i akan tetapi bagian dari hukum taklifi, yaitu karena pada hakikatnya al-shihhah adalah pembo1ehan dari Syari’ untuk memanfaatkan sesuatu, seperti pembolehan memanfaatkan mabi’ (barang yang dijual) oleh pihak pembeli. Sebaliknya al-buthlan adalah keharaman memanfaatkan sesuatu, seperti larangan memanfaatkan mabi’ jika akad jual beli batal atau tidak sah.

B.     Pembagian Hukum Wadh’i

1. Sebab1 :
a.    Pengertian Sebab
Sebab menurut bahasa berarti sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang kepada sesuatu yang lain. Menurut ishtilah ushul fiqh, seperti dikemukakan Abdul  Karim Zaidani, sebab berarti:

Yaitu sesuatu yang diijadikan oleh syari'at sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya sebab sebagai tanda bagi tidak adanya hukum. Misalnya, tindakan perzinahan menjadi sebab, atau alasan bagi wajib dilaksanakan hukuman atas pelakunya, keadaan gila menjadi sebab (alasan) bagi keharusan ada pembimbingnya, dan tindakan perampokan menjadi sebab bagi adanya kewajiban mengembalikan harta yang dirampok kepada pemiliknya.




b. Pembagian sebab
           Para ulama ushul fiqh membagi sebab kepada dua macam:
1.      Sebab yang bukan merupakan perbuatan mukallaf dan berada diluar kemampuannya. Namun demikian sebab itu mempunyai hubungan dengan hukum taklifi, karena syari'at telah menjadikannya sebagai alasan bagi adanya suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang mukallaf. Misalnya, tergelincirnya matahari menjadi sebab (alasan) datangnya shalat zuhur.
2.      Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf dan dalam batas kemampuannya. Misalnya perjalanan menjadi sebab bagi bolehnya berbuka puasa disiang hari romadhon. Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf ini berlaku kepadanya ketentuan-ketentuan taklifi. Oleh sebab itu, diantaranya ada yang diperintahkan untuk dilakukan, seperti perintah melakukan akad nikah ketika khawatir akan terjadi perzinahan, diantaranya seperti larangan berzina yang merupakan sebab bagi ancaman hukuman, dan ada pula yang mubah, seperti boleh melakukan akad jual beli sebagai sebab bagi perpindahan milik dari penjual kepada pihak pembeli.

-          Perbedaan antara sebab dan illat
Abdul Karim Zaidani menjelaskan perbedaan antara sebab dan illat. Sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi adanya hukum terdiri dari dua bentuk. Bentuk pertama antara tanda (sebab) dengan sesuatu yang ditandai yaitu musabab mempunyai hubungan logis, dalam pengertian bisa ditelusuri akal pikiran hubungan antara keduanya, dan bentuk kedua, hubungan antara keduanya tidak bisa ditelusuri oleh akal pikiran.

Bentuk pertama diatas, disamping disebut sebagai sebab, juga disebut illat. Sedangkan bentuk kedua hanya disebut sebab. Contoh bentuk pertama perjalanan adalah sebab dan juga illat bagi bolehnya berbuka puasa disiang hari bulan romadhon, dan keadaan memabukkan menjadi sebab atau illat bagi haramnya minuman khamr. Sedangkan contoh bentuk kedua yaitu sebab yang bukan illat seperti terbenamnya matahari menjadi sebab bagi wajibnya melaksanakan shalat maghrib dan terbit fajar bagi masuk shalat shubuh.

  Pada sebab semacam ini Allah menjadikan terbenamnya matahari sebagai sebab bagi wajibnya melaksanakan shalat maghrib, dan terbit fajar menjadi tanda masuknya shalat subuh, tanpa adanya hubungan logis antara peristiwa terbenamnya matahari dan terbit fajar itu dengan kewajiban melaksanakan shalat. (Efendi Satria,2005 : 62 - 64)


السبب وهو ما يلزم من وجوده وجودالحكم و من عدمه عدم الحكم. بيان أنّ الله عزّ وجلّ جعل في الزنى مثلا حكمين أحدهما تكليفيىّ وهو وجوب الحد عليه و الثانى وضعىّ وهو جعل الزنا سببا لوجوب الحدّ
















Ushul Fiqh Prof. Dr. H. Satria Effendi,M.Zein,M.A. Prenada Media 2005 1
2.  Syarat2:
Pengertian Syarat:
Syarat adalah sesuatu yang keberadaan suatu hukum tergantung pada keberadaan sesuatu itu, dan dari ketiadaan sesuatu itu diperoleh ketetapan ketiadaan hukum tersebut. Yang dimaksudkan adalah keberadaannya secara syara' yang menimbulkan efeknya
            Syarat merupakan hal yang diluar hakekat sesuatu yang disyaratkan. Ketiadaan syarat menetapkan ketiadaan yang disyaratkan, namun adanya syarat tersebut tidak memastikan adanya yang disyaratkan. Misalnya, perkara perkawinan merupakan syarat bagi penjatuhan talaq. Apabila perkawinan itu tidak ditemukan, maka talaq tidak akan ada dan tidak pula dari keberadaan perkawinan, keberadaan talaq dipastikan. Apabila tidak ada wudhu maka mendirikan shalat tidak sah, namun keberadaan wudhu tidak memastikan pendirian shalat.
            Keberadaan perkawinan secara syara' yang dapat menimbulkan berbagai konsekuensi hukumnya tergantung pada kehadiran dua orang saksi pada waktu akad perkawinannya. Keberadaan jual beli menurut syara' yang dapat menimbulkan berbagai konsekuensi hukumnya tergantung pada pengetahuan tergantung pada pengetahuan terhadap dua benda yang dipertukarkan. Demikianlah, segala sesuatu yang disyaratkan oleh syari' untuk menjadi syarat baginya tidak akan dapat terbukti keberadaannya menurut syara' kecuali apabila telah ditemukan syarat-syaratnya, dan ia dianggap menurut syara' sebagai sesuatu yang tidak ada, apabila syarat-syaratnya tidak ada. Akan tetapi harus pula adanya syarat menentukan keberadaan masyrutnya.
            Syarat-syarat syari'iyyah adalah yang menyempurnakan sebab dan menjadikan efeknya timbul padanya. Misalnya, pembunuhan merupakan sebab bagi pewajiban qishash, akan tetapi dengan syarat, bahwa ia merupakan pembunuhan secara sengaja dan kezhaliman. Misalnya lagi, akad perkawinan merupakan sebab bagi pemilikan hak menikmati, akan tetapi dengan syarat perkawinan itu dihadiri oleh dua orang saksi. Demikianlah, setiap akad atau tindakan hukum tidak akan menimbulkan efeknya kecuali apabila syarat-syaratnya telah terpenuhi.
            Perbedaan antara rukun dan syarat sesuatu, padahal masing-masing dari   keduanya menjadi tempat tergantungnya keberadaan hukum : bahwasanya rukun merupakan bagiannya dari hakekat sesuatu. Adapun syarat merupakan hal yang berada di luar hakekatnya dan bukan termasuk bagian-bagiannya. Misalnya, ruku' adalah rukun shalat, karena ia adalah bagian dari hakekat shalat, sedangkan bersuci adalah syarat shalat, karena ia adalah hal yang berada di luar hakekat. Misalnya lagi, shighat akad dan dua orang yang berakad serta tempat akad merupakan beberapa rukun akad karena ia adalah bagian-bagian akad; sedangkan kehadiran dua orang saksi dalam perkawinan dan penentuan dua barang dipertukarkan dalam jual beli, serta penyerahan sesuatu yang dihibahkan dalam suatu hibah merupakan syarat, bukan rukun, karena ia tidak termasuk dari bagian-bagian akad. Oleh karena inilah, maka wakaf mempunyai beberapa rukun dan syarat. Demikian pula jual beli dan seluruh akad dan tindakan hukum juga mempunyai syarat dan rukun. Apabila terjadi kerusakan pada salah satu rukunnya, maka hal itu merupakan pada akad atau tindakan hukum itu sendiri. Apabila terjadi kerusakan pada salah satu syarat, maka ia merupakan kerusakan pada sifatnya, artinya pada suatu hal yang berada di luar hakekatnya.
Persyaratan suatu syarat terkadang melalui hukum syari', dan ia di sebut dengan syarat syar'i.
Tekadang pula, persyaratan suatu syarat terjadinya dengan tasharut (tindakan hukum) mukallaf, dan ia disebut dengan syarat ja'li.
Misal yang pertama adalah semua syarat yang disyaratkan oleh syari' dalam perkawinan, jual beli, hibah, wasiat, syarat yang dipersyaratkan untuk mewajibkan shalat lima waktu, zakat, puasa, dan haji, dan syarat yang disyaratkannya untuk melaksanakan hukuman had dan lain sebagainya.
Misal yang kedua adalah syarat-syarat yang ditetapkan oleh suami untuk menjatuhkan thalaq terhadap istrinya, yang di syariatkan oleh majikan untuk memerdekakan budaknya.  Karena sesungguhnya penggantungan thalaq pemerdekaan atas keberadaan syarat, konotasinya adalah:  bahwasanya keberadaan thalaq atau pemerdekaan tergantung kepada adanya syarat tersebut, dan ketiadaan syaratnya memastikan ketiadaan yang disyariatkan. Misalnya, shigat thalaq merupakan sebab bagi timbulnya thalaq, akan tetapi apabila beberapa syarat terpenuhi.
Seorang mukallaf tidak boleh menggantunkan akad apapun atau suatu tindakan hukum atas persyaratan yang dikehendakinya. Akan tetapi syaratnya haruslah tidak menafikan hukum akad atau tindakan hukum. Adapun apabila syarat tersebut menafikan hukum akad, maka akad tersebut batal, karena sesungguhnya syarat menyempurnakan sebab. Maka apabila syarat itu menafikan hukumnya, maka ia membatalkan kesebabannya.
Misalnya hal itu ialah: akad-akad yang menunjukkan pemilikan yang sempurna atau kehalalan yang sempurna, seperti akad jual beli dan akad perkawinan. Hukum syar'inya adalah bahwasanya pengaruh yang timbul pada masing-masing dari keduanya tidak tertunda dari shigatnya. Apabila seorang mukallaf mengadakan jual beli atau perkawinan dan menggantungkan salah satu dari keduanya bahwa di masa  mendatang harus ada syarat yang disyariatkannya, kemudian bahwasanya konotasi persyaratan ini ialah bahwa efek akad tidak di temukan kecuali apabila syarat itu ada. Ini menafikan tuntutan dari akad, yaitu bahwasanya hukumnya tidak tertunda daripadanya. Oleh karena inilah, maka jual beli yang digantungkan atas suatu syarat adalah batal. Demikin pula perkawinan yang digantungkan pada suatu syarat. Dengan demkian, syarat ja'li (buatan), apabila ia diakui oleh syar'i, maka ia menjadi syarat syar'i. .(Khalaf Abdullah Wahab,1994 : 173 - 175)









2 Ilmu Ushul Fiqh prof. Abdul Wahab Khallaf terbitan Dina Utama Semarang2
3.       Penghalang / Mani'3:
a.  Pengertian Mani’
            Mani' yaitu sifat yang nyata yang keberadaannya menyebabkan ada hukum atau tidak ada sebab. Misalnya, hubungan suami isteri dan hubungan kekerabatan menyebabkan mendapatkan pembagian warisan dari harta suami atau ayah yang wafat, sesuai dengan pembagian masing-masing. Akan tetapi, hak mewarisi ini bisa terhalang apabila anak atau isteri membunuh suami atau ayah yang mewarisi harta tersebut. (HR. Bukhari dan Muslim).
            Perbuatan membunuh itu merupakan mani' (penghalang) untuk mendapatkan pembagian warisan dari orang yang dibunuh. Di sisi lain adanya pembunuhan menyebabkan dilaksanakannya hukuman qishash bagi pelaku pembunuhan. Akan tetapi, dalam hubungan ayah dan anak atau isteri dengan suami dalam kasus pembunuhan di atas, maka hubungan keturunan (perkawinan) menjadi penghalang dilaksanakannya hukuman qishash.
            Keterkaitan antara sebab, syarat, dan mani' sangat erat. Penghalang itu ada bersamaan dengan adanya sebab dan terpenuhinya syarat-syarat. Syar'i menetapkan bahwa suatu hukum yang dikerjakan adalah hukum yang ada sebabnya, memenuhi syarat-syaratnya dan tidak ada penghalang (mani') dalam melaksanakannya. Sebaliknya, hukum tidak ada, apabila sebab dan syarat-syaratnya tidak ada, atau adanya untuk mengerjakannya. Misalnya, shalat zhuhur wajib dikerjakan apabila telah tergelincir  matahari (sebab) dan telah berwudhu (syarat) namun, karena orang yang akan mengerjakan itu sedang haid (mani') maka shalat Zhuhur itu tidak sah dikerjakan. Meskipun telah terpenuhinya sebab dan syarat, tetapi ada mani', yaitu haid, maka Zhuhur pun tidak bisa dikerjakan. Demikian juga halnya apabila syarat terpenuhi (telah berwudhu) tetapi penyebab wajibnya shalat dhuhur belum muncul (matahari belum tergelincir) maka shalat pun belum wajib.


b. Pembagian mani’
Para ulama' dikalangan madzhab Hanafi membagi mani' menjadi lima macam:
1.      Mani' yang menghalangi sahnya sebab hukum seperti menjual orang yang merdeka tidak memperjual belikan orang yang merdeka karena orang merdeka bukan termasuk barang yang boleh diperjualbelikan. Padalah membeli menjadi sebab hak milik dan kebolehan menguasai dan mengambil manfaat dari barang yang dibeli.
2.      Mani' yang menjadi penghalang kesempurnaan sebab lahirnya hukum bagi orang yang tidak ikut serta melakukan perjanjian dan menjadi penghalang bagi orang yang mengikat perjanjian. Seperti menjual barang yang tidak miliknya, penjualan seperti ini tidak sah karena terdapat mani' ialah barang yang dijual adalah milik orang lain. Namun, apabila pemilik barang yang dijual menyetujui penjualan itu maka perjanjian itu menjadi sah.
3.      Mani' yang menjadi penghalang berlaku hukum seperti khiyar syarat dari pihak penjual yang menghalangi pembeli menggunakan haknya terhadap barang yang dibelinya selama masa khiyar syarat berlaku. Umpanya si A berkata si B bahwa barang yang dijualnya kepada si B tidak boleh dipergukan selama tiga hari karena si A masih berpikir-pikir lagi pada masa yang ditetapkan itu dan kalau pendiriannya berubah pada masa itu maka penjualannya di batalkan. Sebelum syarat berakhir pembeli haknya terhalang pada terhadap barang yang dibelinya.
4.      Mani' yang menghalangi sempurna hukum seperti khiyar rukyah. Khiyar rukyah tidak menghalangi lahirnya haknya milik namun hak milik itu dianggap belum sempurna sebelum pembeli melihat barang yang dibelinya sekalipun barang itu sudah ada di tangan pembeli. Kalau pembeli sudah melihat barang yang dibelinya ia boleh meneruskan pemblian selama barang yang dibelinya cocok sifatnya dengan apa yang tetapkan, tetapi dalam hal barang yang dijualbelikan tidak cocok dengan persyaratkan ditetapkan maka pembeli dapat membatalkan tanpa menunggu persetuan penjual.
Mani' yang menghalangi berlakunya hukum, seperti cacat, dan sebagainya. Si  A sebagai pembeli suatu barang belum tahu keadaan barang tersebut dia berhak memilih antara meneruskan perjajian atau mengembalikan barang yang dibelinya hanya haknya mengembalikan tidak lebih dari tiga hari. Mani' seperti yang diterangkan di atas bukan dimaksud agar mukallaf berusaha untuk mencapainya atau berusaha menolaknya. Orang yang telah memiliki harta yang cukup nisabnya, tidak diperintahkan mempergunakan hak itu agar tidak bekurang dari jumlah nisab dan tentunya apabila kurang dari jumlah ia tidak wajib mengeluarkan zakatnya. Dan tidak pula di suruh mempergunakan harta itu agar jumlah nisabnya berkurang sehingga tidak mengeluarkan zakat, tetapi mani' ini ditetapkan syarat kalau secara kebetulan terdapat mani' maka terhapuslah hukum atau sebab yang melahirkan hukum. (Uman Chaerul dkk, 1998 : 246-248)


















 3Ushul Fiqh 1 (Drs. Chaerul Uman, dkk.  Penerbit Pustaka Setia Bandung)
4.      Sah dan batal 4:             

            Lafal sah dapat diartikan lepas tagung jawab atau gugur kewajiban didunia serta memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat. Shalat dikatakan sah karena telah dilaksanakan sesuai dengan yang diperintah syara' dan akan mendatangkan pahala di akhirat. Sebaliknya lafal batal dapat diartikan tidak melepaskan tanggung jawab, tidak mengugurkan kewajiban di dunia dan di akhirat tidak memperoleh pahala. Setiap perbuatan yang dibebankan kepada mukallaf sudah ditentukan rukun dan syaratnya dan perbuatan itu harus disesuaikan dengan perintah Allah atau sekurang-kurangnya tidak dilarang. Setiap perbuatan yang telah memenuhi rukun dan syarat serta dilaksanakan menurut ketentuan yang ditetapkan syarat dinamakan sah dan sebaliknya perbutan yang kurang rukun dan syarat serta bertentangan dengan ketentuan syarat maka dinamakan batal.
            Kalau perbuatan yang dituntut syara' dikatakan sah maka orang yang melaksanakannya dikatakan telah menunaikan tuntutan, lepaslah dari tanggung jawab, tidak di tuntut hukuman, baik di dunia maupun di akhirat, bahkan ia mendapatkan pahala di akhirat kelak. Sebaliknya perbuatan yang tidak memenuhi persyaratan dan rukun serta bertentangan dengan ketentuan syara' tidak dapat menghapuskan kewajiban, yang melakukannya pun dituntut, baik didunia maupun di akhirat.
            Menurut para ulama', setiap perbuatan apakah ibadah maupun muamalat bertujuan untuk mencapai kemaslahatan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Dalam hal ini termasuk semua macam perjanjian yang mengandung dua tujuan pokok, yaitu memenuhi tuntutan syara' dan mencapai mewujudkan kemaslahatan hidup.
            Menurut para ulama' dalam kalangan mazhab syafi'i kedua tujuan ini terdapat dalam ibadah maupun dalam muamalah yang diantaranya perjanjian, namun tujuan pertama lebih menonjol. Karena itu, setiap perjanjian yang tidak memenuhi tuntutan syara' maka dianggap batal demikian pula sebaliknya. Jadi, menurut para ulama dalam kalangan mazhab syafi'i, tidak ada perbedaan antara ibadah dan muamalah, dalam keduanya berlaku sah atau batal.
            Namun sebagian ulama dikalangan madzab hanafi mengatakan bahwa tujuan perjanjian, tujuan kedua lebih menonjol karena itu mereka membedakan antara ibadah dan muamalah. Dalam beribadah mereka sependapat dengan para ulama' dalam kalangan madzhab Syafi'i yaitu berlaku dua hal ialah sah atau batal. Ibadah yang batal tidak dapat menghapus kewajiban dan yang bersangkutan wajib mengqadha. Namun, dalam perjanjian terdapat tiga macam perjanjian yang tidak sah di bagi menjadi dua macam, yaitu batal dan fasid. Perjanjian batal ialah yang rukun dan syaratnya kurang, sedangkan perjanjian fasid ialah perjanjian yang tidak sempurna syaratnya. Perjanjian jual beli oleh orang yang gila atau anak yang belum mencapai usia mumayiz atau memperjualbelikan sesuatu yang tidak ada dinamakan perjanjian yang batal. Jual beli dengan harga yang tidak ditentukan jumlahnya maka perjanjian itu dinamakan perjanjian yang fasid. Akad nikah dari orang yang belum mencapai usia mumayiz atau menikah dengan wanita yang haram dinikahi padahal ia telah mengetahuinya, maka perjanjian itu dinamakan perjanjian yang batal. (Uman Chaerul dkk, 1998 : 248-250)











4Ushul Fiqh 1 (Drs. Chaerul Uman, dkk.  Penerbit Pustaka Setia Bandung)
BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
Hukum wadh’i adalah hukum yang menetapkan dan menjadikan sesuatu sebagai sebab (al-sabab), syarat (al-syarthu), atau pencegah (al-mani’). Hukum ini dinamakan hukum wadh’i karena dalam hukum tersebut terdapat dua hal yang saling berhubungan dan berkaitan. Seperti hubungan sebab akibat, syarat, dan lain-lain. Tapi pendapat lain mengatakan bahwa definisi hukum wadh’i adalah hukum yang menghendaki dan menjadikan sesuatu sebagai sebab (al-sabab), syarat (al-syarthu), pencegah (al-mani’), atau menganggapnya sebagai sesuatu yang sah (shahih), rusak atau batal (fasid), azimah atau rukhshah. Definisi ini adalah menurut Imam Amidi, Ghazali, dan Syathibi.
B.     Saran
Berdasarkan keadaan yang ada dalam masyarakat luas masih banyak yang belum mengerti apa itu Hukum wadh’i maka dari itu penulis menyarankan kepada para pembaca supaya lebih memahami apa itu Hukum wadh’i mengingat pentingnya itu Hukum wadh’i didalam Agama Islam.


DAFTAR PUSTAKA

1.       Ushul Fiqh Prof. Dr. H. Satria Effendi,M.Zein,M.A. Prenada Media 2005
2.       Ilmu Ushul Fiqh prof. Abdul Wahab Khallaf terbitan Dina Utama Semarang
3.      Ushul Fiqh 1 (Drs. Chaerul Uman, dkk.  Penerbit Pustaka Setia Bandung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar