Sabtu, 02 Januari 2016

QOWAID AL-TASYRI’IYYAH DAN MAQOSID AL-TASYRI’IYYAH



QOWAID AL-TASYRI’IYYAH
DAN MAQOSID AL-TASYRI’IYYAH
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
 Dosen Pengampu : M. Agus Yusron Nafi’, M.SI




 











Disusun oleh :
Chanif Fanani                           :111639
Suyitno                                     :111657
Syaiful Anwar Husain              :111640
 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
PROGRAM STUDI TARBIYAH / PAI
TAHUN 2013

QOWAID AL-TASYRI’IYYAH DAN MAQOSID AL-TASYRI’IYYAH
A.    PENDAHULUAN
Menurut pandangan para ahli ushul fiqh, al-Qur’an dan Sunnah Rasul  di samping menunjukkan hukum dengan bunyi bahasanya, juga dengan ruh tasryi’ atau maqashid syari’at. Melalui Maqashid Syari’at inilah ayat-ayat dan hadis-hadis hukum yang secara kuantitatif sangat terbatas jumlahnya dapat dikembangkan untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang secara kajian kebahasaan tidak tertampung oleh al-Qur’an dan Sunnah.
Pengembangan al-Qur’an dan Sunnah tersebut dilakukan dengan menggunakan metode istinbat seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan ‘urf yang pada sisi lain juga disebut sebagai dalil.[1] Mereka juga membahas terhadap hukum-hukum syar’iyyah yang bersifat umum yang diambil dari dalil-dalil tersebut, hal-hal yang menjadi sarana untuk memahami hukum-hukum tersebut dari nashnya dan untuk mengistinbatkanya dari selain nash, baik dari Qowaid-Qowaid kebahasaan maupun Qowaid tasyri’iyyah.[2]
Pembicaraan tentang tujuan pembinaan hukum Islam atau maqashid al-tasyri’iyyah dan Qowaid tasyri’iyyah merupakan pembahasan yang penting dalam ushul fiqih yang tidak luput dari perhatian ulama serta para pakar hukum Islam.
B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pendahuluan di atas, maka rumusan masalah yang akan kami bahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut?
1.    Bagaimanakah konsep tentang Qowaid al-tasyri’iyyah ?
2.    Bagaimanakah konsep tentang maqashid al-tasyri’iyyah ?
C.    PEMBAHASAN
1. Konsep tentang Qowaid al-Tasyri’iyyah
a.    Pengertian Qowaid al-tasyri’iyyah
Secara bahasa, Qowaid al-tasyri’iyah terdiri dari dua kata yaitu Qowaid dan al-tasyri’iyah. Qowaid berasal dari bahasa Arab, artinya adalah: alas bangunan atau aturan undang-unadang.[3] Sedangkan kata al-tasyri’iyyah berasal dari bahasa Arab shara’a yang berarti membuat jalan raya, dengan demikian, kata tasyri’ berarti pembentukan jalan raya itu.[4]
Adapun secara istilah, Qowaid al-tasyri’iyah ialah tata aturan yang dibuat pedoman oleh pembuat undang-undang dalam menyusun undang-undang dan merealisir tujuan yang ingin dicapainya melalui pemberian beban kewajiban kepada orang-orang mukallaf.[5]
b.    Urgensi Qowaid al-tasyri’iyyah
Menurut Juhaya S. Praja, kata tasyri’ yang berarti pembentukan jalan raya kemudian digunakan di kalangan ahli hukum Islam dalam arti pembentukan teori-teori hukum Islam. Oleh karena itu, term tasyri’ berarti pembentukan hukum Islam secara sistematis, pembentukan hukum-hukum teoritis dan hukum-hukum praktis. Dengan demikian, di dalam term tasyri’ terkandung dua unsur, unsur wahyu dan unsur akal yang telah bekerja dalam menggali hukum –hukum yang disebut ijtihad.[6]
Para ulama ushul fiqh memperoleh Qowaid-Qowaid tasyri’iyyah setelah mengadakan penelitian terhadap hukum-hukum syari’at, hikmah, illat dan sebab-sebab disyari’atkan suatu hukum, terhadap nash-nash yang menetapkan dasar-dasar pembuatan syari’at secara umum dan terperinci dan mengistinbatkan hukum dari nash-nash tersebut dan dari peristiwa yang belum ada nashnya, agar perundang-undangan tersebut dapat merealisir tujuan syari’at dalam mewujudkan kemaslahatan dan keadilan dan menghindarkan kerusakan dan ketidakadilan di antara manusia.[7]
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui dengan jelas bahwa Qowaid tasyri’iyyah itu sangatlah penting bagi kita semua. Kebutuhan manusia akan hal itu tak dapat dipungkiri. Qowaid perundang-undangan berfungsi meralisir tujuan syari’at yang mengatur kehidupan manusia sehingga terwujudnya kemaslahatan di tengah-tengah kehidupan mereka.
Pentingnya Qowaid tasyri’iyyah bisa dilihat dari tujuan diciptakannya syari’at itu sendiri. Muchtar Yahya dan Fatchur Rahman mengemukakan bahwa al-syari’ dalam menciptakan syari’at bukanlah serampangan, tanpa arah, melainkan bertujuan untuk merealisir kemaslahatan umum, memberikan kemanfaatan dan menghindarkan kemafsadatan bagi ummat manusia.[8] Mereka berdua menjelaskan bahwa ada tiga macam tujuan umum perundang-undangan yang dikemukakan oleh para ulama ahli ushul, antara lain :
1)        Untuk memelihara al-umur al-dharuriyah dalam kehidupan manusia. Yakni hal-hal yang menjadi sendi eksistensi kehidupan manusia yang harus ada demi kemaslahatan mereka. Artinya bila sendi-sendi itu tidak ada, kehidupan mereka menjadi kacau-balau, kemaslahatan tidak tercapai dan kebahagiaan ukhrawi tidak bakal dapat dinikmati.
2)        Untuk memenuhi al-umur al-hajiyah dalam kehidupan manusia. Yaitu hal-hal yang dihajatkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan dan menolak halangan. Artinya bila sekiranya hal-hal tersebut tidak ada, maka tidak sampai membawa tata aturan hidup manusia berantakan dan kacau melainkan hanya sekedar membuat kesulitan dan kesukaran saja.
3)        Untuk merealisir al-umur al-tahsiniyah, yaitu tindakan dan sifat yang harus dijauhi oleh akal yang sehat, dipegangi oleh adat kebiasaan yang bagus dan dihajati oleh kepribadian yang kuat. Artinya bila hal ini tidak dapat dipenuhi, maka kehidupan manusia tidaklah sekacau sekiranya urusan dharuriyah tidak diwujudkan dan tidak membawa kesusahan dan kesulitan seperti tidak dipenuhinya urusan hajiyah manusia. Akan tetapi, hanya dianggap kurang harmonis oleh pertimbangan nalar sehat dan suara hati nurani.
Qowaid-Qowaid tasyri’iyyat diambil oleh ulama ushul fiqh dari penelitian-penelitian hukum syar’iyyah, dan dari penelitian tentang illat-illatnya dan berbagai hikmah dari pembentukan hukumnya, serta dari berbagai nash yang menetapkan berbagai dasar-dasar pembentukan hokum secara umum dari prinsip-prinsip hukum yang umum.[9]
c.    Beberapa contoh Qowaid al-tasyri’iyyah
Dalam buku yang berjudul “Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh-Islami”[10] dijelaskan bahwa ada beberapa Qowaid perundang-undangan, antara lain sebagai berikut:
1)        Al-Qur’an adalah sumber hukum yang pertama dan al-Hadits adalah sumber hukum yang kedua.
2)        Peristiwa yang sudah ditunjuk oleh nash, baik al-Qur’an maupun al-Hadits, tidak boleh ditetapkan hukumnya berdasarkan pendapat logika (ra’yu).
3)        Peristiwa-peristiwa yang tidak ada nashnya atau sudah ada nashnya tetapi tidak qath’i dalalahnya ditetapkan hukumnya berdasarkan ijtihad. Baik ijtihad jama’i (kolektif) maupun ijtihad fardi (perseorangan).
4)        Landasan utama ijtihad adalah Qiyas atau memelihara kemaslahatan orang banyak.
5)        Kedua macam ijtihad tersebut harus berlandaskan kepada muqayasah (saling mengadakan analogi suatu peristiwa dengan peristiwa yang lain). Analogi atas kejadian-kejadian khusus disebut Qiyas mutlaq dan analogi atas kejadian-kejadian umum disebut Qiyas mashlahah atau mashalihul-mursalah.
Sementara dalam buku yang berjudul “Ilmu Ushul Fiqh”[11] disebutkan bahwa Qowaid tasyri’iyah itu acuan pokoknya tetap pada Qowaid bahasa, misalnya Qowaid:
ﻤﺎﻻﻴﺘﻡ ﺍﻠﻭﺍﺠﺏ ﺍﻻﺒﻪ ﻓﻬﻭ ﻭﺍﺠﺏ
“Sesuatu yang tidak menjadikan sempurna suatu kewajiban, maka sesuatu itu juga hukumnya wajib.”
Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa Qowaid di atas adalah Qowaid hukum, karena menyebutkan kata wajib, yakni wajib yang dilaksanakan menjadi tidak sempurna sebelum melaksanakan kewajiban yang lain, misalnya melaksanakan shalat tanpa berwudhu lebih dahulu.
Sebab-sebab dikeluarkannya suatu tuntutan atau perintah yang kuat selalu mengikuti status hukum musababnya. Artinya jika status hukum musababnya wajib, maka wajib pula hukum sebab yang menjadi perantaranya. Begitu pun dengan larangan-larangan syari’at, sama halnya dengan perintah-perintah syari’at, mempunyai perantara-perantara, yang mengantar kepada perbuatan itu terlarang. Tidaklah logis apabila suatu perbuatan dilarang, sedang perantaranya dibolehkan. Oleh karena itu, perantara dari suatu larangan yang kuat seharusnya mengikuti status hukum yang diperantarai, yakni terlarang juga.
Sedangkan Abdul Wahhab Khalaf menjelaskan beberapa Qowaid al-tasyri’iyyah[12] sebagai berikut:
1)        Mengenai tujuan umum dari pembentukan hukum
Tujuan umum syari’ dalam mensyari’atkan hokum-hukumnya ialah mewujudkan kemaslahatan manusia dengan menjamin hal-hal yang dharuri bagi mereka, pemenuhan kebutuhan-kebutuhan mereka (hajiyat) dan kebaikan-kebaikan mereka (tahsiniyat).
2)        Mengenai apakah hak Allah dan apakah hak muallaf
Perbuatan-perbuatan para mukallaf yang berhubungan dengan hokum-hukum syara’, jika tujuannya adalah kemaslahatan umum maka hukumnya adalah hak murni bagi Allah, dan jika tujuannya adalah kemaslahatan pribadi seorang mukallaf maka maka hukumnya adalah hak murni bagi mukallaf.
3)        Mengenai sesuatu yang padanya boleh berijtihad
Apabila kasus yang hendak diketahui hukumnya telah ada dalilnya secara jelas dan pasti, maka tidak ada peluang ijtihad di dalamnya. Apabila dalilnya masih bersifat dzanni maka ada peluang ijtihad.
4)        Mengenai nasakh (penghapusan) hukum
Tidak ada nasakh terhadap hokum syara’ dalam al-Qur’an dan Hadis sesudah Rasulullah wafat.
5)        Mengenai ta’arudh (dalil yang bertentangan) dan tarjih (pengunggulan satu dalil atas dalil lain)
Apabila ada dua nash saling bertentangan menurut lahiriyyah, maka wajib dilakukan pembahasan dan ijtihad dalam rangka menggabungkan dan menyesuaikan antara keduanya melalui cara yang shahih dari berbagai cara penggabungan dan penyesuaian.
2. Konsep tentang Maqashid al-Tasyri’iyyah
a.    Pengertian maqashid al-tasyri’iyyah
Secara bahasa maqashid al-tasyri’iyyah terdiri dari dua kata yaitu maqashid dan al-tasyri’iyyah. Maqashid merupakan bentuk jama’ dari maqshud yang berasal dari kata qashada yang berarti menghendaki atau memaksudkan. Maqashid berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan.[13] Sedangkan kata al-tasyri’iyyah sudah dijelaskan di atas.
Adapun secara istilah, maqashid al-tasyri’iyyah ialah tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan ini dapat ditelusuri dalam ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Rasul sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia. Menurut Wahbah al Zuhaili, maqashid al-tasyri’iyyah berarti nilai-nilai dan sasaran syara' yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia syari’ah, yang ditetapkan oleh al-Syari' dalam setiap ketentuan hukum. Menurut Syathibi tujuan akhir hukum tersebut adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia.[14]
b.    Macam-macam maqashid al-tasyri’iyyah
Tujuan Hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemashlahatan hamba baik di dunia maupun di akhirat. Dalam rangka mewujudkan kemashlahatan dunia dan akhirat itulah, maka para ulama ushul fiqh merumuskan tujuan hukum Islam tersebut kedalam lima misi, semua misi ini wajib dipelihara untuk melestarikan dan menjamin terwujudnya kemashlahatan. Kelima macam maqashid al-tasyri’iyyah dimaksud adalah sebagai berikut [15]:
1)        Memelihara agama (حفظ الدين), contohnya: melaksanakan shalat lima waktu, puasa, zakat, haji dan sebagainya.
2)        Memelihara jiwa  (حفظ النفس), contohnya: memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup.
3)        Memelihara aqal  (حفظ العقل), contohnya: diharamkan meminum minuman keras.
4)        Memelihara keturunan (حفظ النسل), contohnya: disyari’atkan nikah dan dilarang berzina.
5)        Memelihara harta (حفظ المال), contohnya: tatacara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah.
Adapun setiap hal yang menjadi perantara terjaganya lima hal ini, dibagi menjadi tiga tingkatan kebutuhan yaitu[16]:
1)        Kebutuhan dharuriyat  ialah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut dengan kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat kelak. Menurut al-Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, kehormatan, keturunan serta harta.
2)        Kebutuhan hajiyat ialah kebutuhan-kebutuhan sekunder di mana bila tak terwujudkan tidak sampai mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan. Syari’at Islam menghilangkan segala kesulitan itu.
3)        Kebutuhan tahsiniyat ialah tingkat kebutuhan yang apabuila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima pokok di atas dan tidak pula menimbulkan kesulitan. Tingkat ini berupa kebutuhan pelengkap. Menurut al-Syatibi hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak enak dipandang mata, dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak.
c.    Peranan maqashid al-tasyri’iyyah dalam Pengembangan Hukum Islam
Pengetahuan tentang maqashid syari’ah, seperti ditegaskan oleh Abdul Wahhab Khalaf, adalah hal sangat penting yang dapat dijadikan alat bantu untuk memahami redaksi al-Qur’an dan sunnah menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan sangat penting lagi adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak bertampung oleh al-Qur’an dan Sunnah secara kajian kebahasaan. [17]
Metode istinbat hukum seperti qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah adalah metode-metode pengembangan hukum Islam yang didasarkan atas maqashid syari’ah. Qiyas, misalnya, baru bisa dilaksanakan bilamana dapat ditemukan maqashid syari’ahnya yang merupakan alasan logis (‘illat) dari suatu hukum. Sebagai contoh, tentang diharamkannya khamar. Dari hasil penelitian ulama ditemukan bahwa maqashid syari’at dari diharamkannya khamar ialah karena sifat memabukkannya yang merusak akal pikiran. Dengan demikian, yang menjadi alasan logis (‘illat) dari keharaman khamar adalah sifat memabukannya, sedangkan khamar itu sendiri hanyalah sebagai salah satu contoh dari yang memabukkan.
Dari sini dapat dikembangkan dengan metode analogi (qiyas) bahwa setiap yang sifatnya memabukkan adalah juga haram. Dengan demikian, ‘illat hukum dalam suatu ayat atau hadis bila diketahui, maka terhadapnya dapat dilakukan qiyas (analogi). Artinya, qiyas hanya bisa dilakukan bilamana ada ayat atau hadis yang secara khusus dapat dijadikan tempat mengqiyaskannya yang dikenal dengan  al-maqis ‘alaih (tempat mengqiyaskan).
Jika tidak ada ayat atau hadis secara khusus yang akan dijadikan al-maqis ‘alaih, tetapi termasuk ke dalam tujuan syariat secara umum seperti untuk memelihara sekurang-kurangnya salah satu dari kebutuhan di atas tadi, dalam hal ini dilakukan metode maslahah mursalah. Dalam kajian ushul fiqh, apa yang dianggap maslahat bila sejalan atau tidak bertentangan dengan petunjuk-petunjuk umum syariat, dapat diakui sebagai landasan hukum yang dikenal dengan maslahah mursalah.
Jika yang akan diketahui hukumnya, itu telah ditetapkan hukumnya dalam nash atau melalui qiyas, kemudian karena dalam satu kondisi bila ketentuan itu diterapkan akan berbenturan dengan ketentuan atau kepentingan lain yang lebih umum dan lebih layak menurut syara’ untuk dipertahankan, maka ketentuan itu dapat ditinggalkan, khusus dalam kondisi tersebut. Ijtihad seperti ini dikenal dengan istihsan.
Metode penetapan hukum melalui maqashid syari’ah dalam praktik-praktik istinbat tersebut, di samping disebut sebagai metode penetapan hukum melalui maqashid syari’ah, juga oleh sebagian besar ulama ushul fiqh disebut sebagai dalil-dalil pendukung.
D.    ANALISA
Jika diteliti seluruh hukum dalam syari’ah, maka semuanya itu dibuat untuk tujuan yang satu, yaitu kemaslahatan manusia. Maslahat itu bertingkat-tingkat atau hirarkis. Ada tiga tingkatan kemaslahatan : dharuriyyat (maslahat yang urgen), hajiyyat (maslahat pendukung), dan tahsiniyyat (maslahat penyempurna/aksesoris). Maslahat tingkat kedua tentu tidak sepenting maslahat tingkat pertama, dan maslahat tingkat ketiga tentu tidak sepenting maslahat tingkat kedua.
Maslahat paling dasar dalam agama adalah lima : menjaga agama, menjaga nyawa, menjaga keturunan, menjaga hak milik, dan menjaga akal. Yang apabila dikembangkan penafsirannya, kelima maslahat itu akan berbunyi sebagai berikut: 1. melindungi kebebasan beragama, 2. melindungi kelangsungan hidup, 3. melindungi kelangsungan keturunan, 4. melindungi hak milik, dan 5. melindungi kebebasan berpikir.
Jika kita tafsirkan dalam bahasa kontemporer, maka kelima maslahat itu akan mencakup perlindungan atas sekurang-kurangnya 3 hak : hak-hak sipil, hak-hak ekonomi, dan hak-hak budaya.
Tidak satu pun hukum Allah swt yang tidak mempunyai tujuan karena hukum yang tidak mempunyai tujuan sama dengan membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan. Setiap suruhan Allah dapat dipahami oleh akal. Allah memerintahkan manusia karena mengandung kemaslahatan untuk dirinya. Secara sederhana maslahat itu diartikan sesuatu yang baik dan dapat diterima oleh akal yang sehat.
Qowaid al-tasyri’iyah harus diperhatikan dalam mengistinbatkan hukum dari nash, dan juga dalam mengistinbatkan hukum yang tidak ada nashnya, supaya penetapan hukum benar-benar mewujudkan apa yang dimaksud daripadanya, yaitu merealisir kemaslahatan umum, memberikan kemanfaatan dan menghindarkan kemafsadatan bagi ummat manusia.
Setiap muslim wajib memahami urgensi tujuan-tujuan dan maksud-maksud ditetapkannya syari'at, supaya menambah keimanan seoarang muslim terhadap Rabbnya, dapat memberikan ketahanan dan kekuatan pada diri seorang muslim untuk menghadapi Ghazwul-fikri (brain washing/ serangan pemikiran) dan serangan pendangkalan aqidah, dan dapat menyelaraskan kehendak dirinya dengan kehendak syari'at.
E.     KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.    Qowaid al-tasyri’iyah ialah tata aturan yang dibuat pedoman oleh pembuat undang-undang dalam menyusun undang-undang dan merealisir tujuan yang ingin dicapainya melalui pemberian beban kewajiban kepada orang-orang mukallaf. Qowaid-Qowaid tasyri’iyyat diambil oleh ulama ushul fiqh dari penelitian-penelitian hukum syar’iyyah, dan dari penelitian tentang illat-illatnya dan berbagai hikmah dari pembentukan hukumnya, serta dari berbagai nash yang menetapkan berbagai dasar-dasar pembentukan hokum secara umum dari prinsip-prinsip hukum yang umum.
2.    Maqashid al-tasyri’iyyah ialah tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan ini dapat ditelusuri dalam ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Rasul sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia. Kemaslahatan yang menjadi tujuan syariat ini dibatasi dalam lima hal, yaitu: agama, jiwa/nafs, akal, keturunan dan harta. Setiap hal yang mengandung penjagaaan atas lima hal ini disebut maslahah dan setiap hal yang membuat hilangnya lima hal ini disebut mafsadah.
F.     PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami persembahkan. Kami menyadari tulisan ini sangatlah kurang sempurna dan masih terdapat banyak kesalahan di sana-sini. Untuk itu, kritik dan saran konstruktif kami harapkan untuk perbaikan kami kedepan. Terakhir, kami berharap makalah ini dapat menambah khazanah keilmuan kita. Amin ya Rabbal ‘Alamin.
G.    DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Moh Zuhri dan Ahmad Qarib, Dina Utama, Semarang, 1994.
Ahmad Qarib, Ushul Fikih 2, Nimas Multima, Jakarta, 1997.
Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh, Pustaka Setia, Bandung, 2009.
Djazuli, Fiqh Siyasah, Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu Syari’ah, Pustaka Media, Jakarta, 2003.
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam,  Pusat Penerbitan Universitas LPPM Universitas Islam Bandung, Bandung, 1995.
Khairul Umam, Ushul Fiqh II, CV Pustaka Setia, Bandung, 1998.
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Hidakarya Agung, Jakarta, 1989.
Muchtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, al-Ma’arif, Bandung, 1993.
Muhammad Khalid Mas'ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, terj. Yudian W. Asmin, Al Ikhlas, Surabaya, 1995.
Muhammad Ma’shum Zein, Ilmu Ushul Fiqh, Darul hikmah, Jombang, 2008.
Satria Effendi, Ushul Fiqh, Prenada Media, Jakarta, 2005.


[1] Satria Effendi, Ushul Fiqh, Prenada Media, Jakarta, 2005, hal. 233.
[2] Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Moh Zuhri dan Ahmad Qarib, Dina Utama, Semarang, 1994, hal. 2.
[3] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Hidakarya Agung, Jakarta, 1989, hal. 351.
[4] Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam,  Pusat Penerbitan Universitas LPPM Universitas Islam Bandung, Bandung, 1995, hal.11.
[5] Muchtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, al-Ma’arif, Bandung, 1993, hal. 331.
[6] Juhaya S. Praja, Loc.Cit.
[7] Muchtar Yahya dan Fatchur Rahman, Loc.Cit.
[8] Ibid, hal.333-336.
[9] Abdul Wahhab Khalaf, Ibid, hal. 310.
[10] Muchtar Yahya dan Fatchur Rahman, Ibid, hal. 331.
[11] Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh, Pustaka Setia, Bandung, 2009, hal. 207.
[12] Abdul Wahhab Khalaf, Ibid, hal. 310-359.
[13] Ahmad Qarib, Ushul Fikih 2, Nimas Multima, Jakarta, 1997, hal. 170.
[14] Muhammad Khalid Mas'ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, terj. Yudian W. Asmin, al Ikhlas, Surabaya, 1995, hal.225.
[15] Muhammad Ma’shum Zein, Ilmu Ushul Fiqh, Darul hikmah, Jombang, 2008, hal. 294.
[16]Khairul Umam, Ushul Fiqh II, CV Pustaka Setia, Bandung, 1998, hal. 75.
[17] Djazuli, Fiqh Siyasah, Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu Syari’ah, Pustaka Media, Jakarta, 2003, hal. 16.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar