QOWAID AL-TASYRI’IYYAH
DAN MAQOSID AL-TASYRI’IYYAH
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : M. Agus Yusron Nafi’, M.SI
Disusun oleh :
Chanif Fanani :111639
Suyitno :111657
Syaiful Anwar Husain :111640
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
PROGRAM
STUDI TARBIYAH / PAI
QOWAID
AL-TASYRI’IYYAH DAN MAQOSID AL-TASYRI’IYYAH
A. PENDAHULUAN
Menurut
pandangan para ahli ushul fiqh, al-Qur’an dan Sunnah Rasul di samping menunjukkan hukum dengan bunyi
bahasanya, juga dengan ruh tasryi’ atau maqashid syari’at.
Melalui Maqashid Syari’at inilah ayat-ayat dan hadis-hadis
hukum yang secara kuantitatif sangat terbatas jumlahnya dapat dikembangkan
untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang secara kajian kebahasaan tidak
tertampung oleh al-Qur’an dan Sunnah.
Pengembangan
al-Qur’an dan Sunnah tersebut dilakukan dengan menggunakan
metode istinbat seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan
‘urf yang pada sisi lain juga disebut sebagai dalil.[1]
Mereka juga membahas terhadap hukum-hukum syar’iyyah yang bersifat umum yang
diambil dari dalil-dalil tersebut, hal-hal yang menjadi sarana untuk memahami
hukum-hukum tersebut dari nashnya dan untuk mengistinbatkanya dari selain nash,
baik dari Qowaid-Qowaid kebahasaan maupun Qowaid tasyri’iyyah.[2]
Pembicaraan
tentang tujuan pembinaan hukum Islam atau maqashid al-tasyri’iyyah
dan Qowaid tasyri’iyyah merupakan pembahasan yang penting dalam ushul
fiqih yang tidak luput dari perhatian ulama serta para pakar hukum Islam.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pendahuluan di atas, maka rumusan masalah
yang akan kami bahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut?
1. Bagaimanakah konsep tentang Qowaid al-tasyri’iyyah ?
2. Bagaimanakah konsep tentang maqashid al-tasyri’iyyah ?
C. PEMBAHASAN
1. Konsep tentang Qowaid al-Tasyri’iyyah
a. Pengertian Qowaid al-tasyri’iyyah
Secara bahasa, Qowaid al-tasyri’iyah terdiri
dari dua kata yaitu Qowaid dan al-tasyri’iyah. Qowaid
berasal dari bahasa Arab, artinya adalah: alas bangunan atau aturan
undang-unadang.[3] Sedangkan
kata al-tasyri’iyyah berasal dari bahasa Arab shara’a yang
berarti membuat jalan raya, dengan demikian, kata tasyri’ berarti
pembentukan jalan raya itu.[4]
Adapun secara istilah, Qowaid al-tasyri’iyah ialah
tata aturan yang dibuat pedoman oleh pembuat undang-undang dalam menyusun
undang-undang dan merealisir tujuan yang ingin dicapainya melalui pemberian
beban kewajiban kepada orang-orang mukallaf.[5]
b. Urgensi Qowaid al-tasyri’iyyah
Menurut Juhaya S. Praja, kata tasyri’ yang
berarti pembentukan jalan raya kemudian digunakan di kalangan ahli hukum Islam
dalam arti pembentukan teori-teori hukum Islam. Oleh karena itu, term tasyri’
berarti pembentukan hukum Islam secara sistematis, pembentukan hukum-hukum
teoritis dan hukum-hukum praktis. Dengan demikian, di dalam term tasyri’
terkandung dua unsur, unsur wahyu dan unsur akal yang telah bekerja dalam
menggali hukum –hukum yang disebut ijtihad.[6]
Para ulama ushul fiqh memperoleh Qowaid-Qowaid
tasyri’iyyah setelah mengadakan penelitian terhadap hukum-hukum syari’at,
hikmah, illat dan sebab-sebab disyari’atkan suatu hukum, terhadap nash-nash
yang menetapkan dasar-dasar pembuatan syari’at secara umum dan terperinci dan
mengistinbatkan hukum dari nash-nash tersebut dan dari peristiwa yang belum ada
nashnya, agar perundang-undangan tersebut dapat merealisir tujuan syari’at
dalam mewujudkan kemaslahatan dan keadilan dan menghindarkan kerusakan dan
ketidakadilan di antara manusia.[7]
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui dengan
jelas bahwa Qowaid tasyri’iyyah itu sangatlah penting bagi kita semua.
Kebutuhan manusia akan hal itu tak dapat dipungkiri. Qowaid
perundang-undangan berfungsi meralisir tujuan syari’at yang mengatur kehidupan
manusia sehingga terwujudnya kemaslahatan di tengah-tengah kehidupan mereka.
Pentingnya Qowaid tasyri’iyyah bisa dilihat
dari tujuan diciptakannya syari’at itu sendiri. Muchtar Yahya dan Fatchur
Rahman mengemukakan bahwa al-syari’
dalam menciptakan syari’at bukanlah serampangan, tanpa arah, melainkan
bertujuan untuk merealisir kemaslahatan umum, memberikan kemanfaatan dan
menghindarkan kemafsadatan bagi ummat manusia.[8]
Mereka berdua menjelaskan bahwa ada tiga macam tujuan umum perundang-undangan
yang dikemukakan oleh para ulama ahli ushul, antara lain :
1)
Untuk memelihara al-umur
al-dharuriyah dalam kehidupan manusia. Yakni hal-hal yang menjadi sendi
eksistensi kehidupan manusia yang harus ada demi kemaslahatan mereka. Artinya
bila sendi-sendi itu tidak ada, kehidupan mereka menjadi kacau-balau,
kemaslahatan tidak tercapai dan kebahagiaan ukhrawi tidak bakal dapat dinikmati.
2)
Untuk memenuhi al-umur
al-hajiyah dalam kehidupan manusia. Yaitu hal-hal yang dihajatkan oleh
manusia untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan dan menolak halangan. Artinya
bila sekiranya hal-hal tersebut tidak ada, maka tidak sampai membawa tata
aturan hidup manusia berantakan dan kacau melainkan hanya sekedar membuat
kesulitan dan kesukaran saja.
3)
Untuk merealisir al-umur
al-tahsiniyah, yaitu tindakan dan sifat yang harus dijauhi oleh akal yang
sehat, dipegangi oleh adat kebiasaan yang bagus dan dihajati oleh kepribadian
yang kuat. Artinya bila hal ini tidak dapat dipenuhi, maka kehidupan manusia
tidaklah sekacau sekiranya urusan dharuriyah tidak diwujudkan dan tidak
membawa kesusahan dan kesulitan seperti tidak dipenuhinya urusan hajiyah
manusia. Akan tetapi, hanya dianggap kurang harmonis oleh pertimbangan nalar
sehat dan suara hati nurani.
Qowaid-Qowaid tasyri’iyyat diambil oleh ulama
ushul fiqh dari penelitian-penelitian hukum syar’iyyah, dan dari penelitian
tentang illat-illatnya dan berbagai hikmah dari pembentukan hukumnya, serta
dari berbagai nash yang menetapkan berbagai dasar-dasar pembentukan hokum
secara umum dari prinsip-prinsip hukum yang umum.[9]
c. Beberapa contoh Qowaid al-tasyri’iyyah
Dalam buku yang berjudul “Dasar-dasar Pembinaan Hukum
Fiqh-Islami”[10]
dijelaskan bahwa ada beberapa Qowaid perundang-undangan, antara lain
sebagai berikut:
1)
Al-Qur’an adalah sumber
hukum yang pertama dan al-Hadits adalah sumber hukum yang kedua.
2)
Peristiwa yang sudah
ditunjuk oleh nash, baik al-Qur’an maupun al-Hadits, tidak boleh ditetapkan
hukumnya berdasarkan pendapat logika (ra’yu).
3)
Peristiwa-peristiwa yang
tidak ada nashnya atau sudah ada nashnya tetapi tidak qath’i dalalahnya
ditetapkan hukumnya berdasarkan ijtihad. Baik ijtihad jama’i (kolektif)
maupun ijtihad fardi (perseorangan).
4)
Landasan utama ijtihad
adalah Qiyas atau memelihara kemaslahatan orang banyak.
5)
Kedua macam ijtihad
tersebut harus berlandaskan kepada muqayasah (saling mengadakan analogi suatu
peristiwa dengan peristiwa yang lain). Analogi atas kejadian-kejadian khusus
disebut Qiyas mutlaq dan analogi atas kejadian-kejadian umum disebut Qiyas
mashlahah atau mashalihul-mursalah.
Sementara dalam buku yang berjudul “Ilmu Ushul Fiqh”[11] disebutkan
bahwa Qowaid tasyri’iyah itu acuan pokoknya tetap pada Qowaid
bahasa, misalnya Qowaid:
ﻤﺎﻻﻴﺘﻡ ﺍﻠﻭﺍﺠﺏ ﺍﻻﺒﻪ
ﻓﻬﻭ ﻭﺍﺠﺏ
“Sesuatu yang tidak menjadikan sempurna suatu
kewajiban, maka sesuatu itu juga hukumnya wajib.”
Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa Qowaid di
atas adalah Qowaid hukum, karena menyebutkan kata wajib, yakni wajib
yang dilaksanakan menjadi tidak sempurna sebelum melaksanakan kewajiban yang
lain, misalnya melaksanakan shalat tanpa berwudhu lebih dahulu.
Sebab-sebab dikeluarkannya suatu tuntutan atau
perintah yang kuat selalu mengikuti status hukum musababnya. Artinya jika
status hukum musababnya wajib, maka wajib pula hukum sebab yang menjadi
perantaranya. Begitu pun dengan larangan-larangan syari’at, sama halnya dengan
perintah-perintah syari’at, mempunyai perantara-perantara, yang mengantar
kepada perbuatan itu terlarang. Tidaklah logis apabila suatu perbuatan
dilarang, sedang perantaranya dibolehkan. Oleh karena itu, perantara dari suatu
larangan yang kuat seharusnya mengikuti status hukum yang diperantarai, yakni
terlarang juga.
Sedangkan Abdul Wahhab Khalaf menjelaskan beberapa Qowaid
al-tasyri’iyyah[12]
sebagai berikut:
1)
Mengenai tujuan umum dari
pembentukan hukum
Tujuan umum syari’ dalam mensyari’atkan hokum-hukumnya ialah mewujudkan
kemaslahatan manusia dengan menjamin hal-hal yang dharuri bagi mereka,
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan mereka (hajiyat) dan kebaikan-kebaikan
mereka (tahsiniyat).
2)
Mengenai apakah hak Allah
dan apakah hak muallaf
Perbuatan-perbuatan para mukallaf yang berhubungan dengan hokum-hukum
syara’, jika tujuannya adalah kemaslahatan umum maka hukumnya adalah hak murni
bagi Allah, dan jika tujuannya adalah kemaslahatan pribadi seorang mukallaf
maka maka hukumnya adalah hak murni bagi mukallaf.
3)
Mengenai sesuatu yang
padanya boleh berijtihad
Apabila kasus yang hendak diketahui hukumnya telah ada dalilnya secara
jelas dan pasti, maka tidak ada peluang ijtihad di dalamnya. Apabila dalilnya
masih bersifat dzanni maka ada peluang ijtihad.
4)
Mengenai nasakh
(penghapusan) hukum
Tidak ada nasakh terhadap hokum syara’ dalam al-Qur’an dan Hadis sesudah
Rasulullah wafat.
5)
Mengenai ta’arudh (dalil
yang bertentangan) dan tarjih (pengunggulan satu dalil atas dalil lain)
Apabila ada dua nash saling bertentangan menurut lahiriyyah, maka wajib
dilakukan pembahasan dan ijtihad dalam rangka menggabungkan dan menyesuaikan
antara keduanya melalui cara yang shahih dari berbagai cara penggabungan dan
penyesuaian.
2. Konsep tentang Maqashid al-Tasyri’iyyah
a. Pengertian maqashid al-tasyri’iyyah
Secara bahasa maqashid al-tasyri’iyyah terdiri dari dua
kata yaitu maqashid dan al-tasyri’iyyah. Maqashid
merupakan bentuk jama’ dari maqshud yang berasal dari kata qashada
yang berarti menghendaki atau memaksudkan. Maqashid berarti hal-hal yang
dikehendaki dan dimaksudkan.[13] Sedangkan kata al-tasyri’iyyah
sudah dijelaskan di atas.
Adapun secara istilah, maqashid al-tasyri’iyyah ialah tujuan
Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan ini dapat
ditelusuri dalam ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Rasul sebagai alasan logis bagi
rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia. Menurut
Wahbah al Zuhaili, maqashid al-tasyri’iyyah berarti
nilai-nilai dan sasaran syara' yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar
dari hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai
tujuan dan rahasia syari’ah, yang ditetapkan oleh al-Syari' dalam setiap
ketentuan hukum. Menurut Syathibi tujuan akhir hukum tersebut adalah satu,
yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia.[14]
b. Macam-macam maqashid al-tasyri’iyyah
Tujuan Hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemashlahatan hamba baik
di dunia maupun di akhirat. Dalam rangka mewujudkan kemashlahatan dunia dan
akhirat itulah, maka para ulama ushul fiqh merumuskan tujuan hukum Islam
tersebut kedalam lima misi, semua misi ini wajib dipelihara untuk melestarikan
dan menjamin terwujudnya kemashlahatan. Kelima macam maqashid
al-tasyri’iyyah dimaksud adalah sebagai berikut [15]:
1)
Memelihara agama (حفظ
الدين), contohnya:
melaksanakan shalat lima waktu, puasa, zakat, haji dan sebagainya.
2)
Memelihara jiwa (حفظ
النفس), contohnya: memenuhi
kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup.
3)
Memelihara aqal (حفظ
العقل), contohnya: diharamkan
meminum minuman keras.
4)
Memelihara keturunan (حفظ
النسل), contohnya:
disyari’atkan nikah dan dilarang berzina.
5)
Memelihara harta (حفظ المال), contohnya:
tatacara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara
yang tidak sah.
Adapun setiap hal yang menjadi perantara terjaganya lima hal ini,
dibagi menjadi tiga tingkatan kebutuhan yaitu[16]:
1)
Kebutuhan dharuriyat ialah tingkat kebutuhan yang harus ada atau
disebut dengan kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi,
akan terancam keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Menurut al-Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini yaitu memelihara
agama, memelihara jiwa, memelihara akal, kehormatan, keturunan serta harta.
2)
Kebutuhan hajiyat
ialah kebutuhan-kebutuhan sekunder di mana bila tak terwujudkan tidak sampai
mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan. Syari’at Islam menghilangkan
segala kesulitan itu.
3)
Kebutuhan tahsiniyat
ialah tingkat kebutuhan yang apabuila tidak terpenuhi tidak mengancam
eksistensi salah satu dari lima pokok di atas dan tidak pula menimbulkan
kesulitan. Tingkat ini berupa kebutuhan pelengkap. Menurut al-Syatibi hal-hal
yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat, menghindarkan hal-hal yang
tidak enak dipandang mata, dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan
tuntutan norma dan akhlak.
c. Peranan maqashid al-tasyri’iyyah dalam Pengembangan Hukum
Islam
Pengetahuan tentang maqashid syari’ah, seperti
ditegaskan oleh Abdul Wahhab Khalaf, adalah hal sangat penting yang dapat
dijadikan alat bantu untuk memahami redaksi al-Qur’an dan sunnah menyelesaikan
dalil-dalil yang bertentangan dan sangat penting lagi adalah untuk menetapkan
hukum terhadap kasus yang tidak bertampung oleh al-Qur’an dan Sunnah secara
kajian kebahasaan. [17]
Metode istinbat hukum seperti qiyas,
istihsan, dan maslahah mursalah adalah metode-metode
pengembangan hukum Islam yang didasarkan atas maqashid syari’ah. Qiyas,
misalnya, baru bisa dilaksanakan bilamana dapat ditemukan maqashid
syari’ahnya yang merupakan alasan logis (‘illat) dari suatu hukum. Sebagai
contoh, tentang diharamkannya khamar. Dari hasil penelitian ulama ditemukan
bahwa maqashid syari’at dari diharamkannya khamar ialah
karena sifat memabukkannya yang merusak akal pikiran. Dengan demikian, yang
menjadi alasan logis (‘illat) dari keharaman khamar adalah sifat memabukannya,
sedangkan khamar itu sendiri hanyalah sebagai salah satu contoh dari yang
memabukkan.
Dari sini dapat dikembangkan dengan metode analogi (qiyas) bahwa
setiap yang sifatnya memabukkan adalah juga haram. Dengan
demikian, ‘illat hukum dalam suatu ayat atau hadis bila diketahui,
maka terhadapnya dapat dilakukan qiyas (analogi). Artinya, qiyas
hanya bisa dilakukan bilamana ada ayat atau hadis yang secara khusus dapat
dijadikan tempat mengqiyaskannya yang dikenal dengan al-maqis
‘alaih (tempat mengqiyaskan).
Jika tidak ada ayat atau hadis secara khusus yang akan dijadikan al-maqis
‘alaih, tetapi termasuk ke dalam tujuan syariat secara umum seperti untuk
memelihara sekurang-kurangnya salah satu dari kebutuhan di atas tadi, dalam hal
ini dilakukan metode maslahah mursalah. Dalam kajian ushul fiqh, apa
yang dianggap maslahat bila sejalan atau tidak bertentangan dengan
petunjuk-petunjuk umum syariat, dapat diakui sebagai landasan hukum yang
dikenal dengan maslahah mursalah.
Jika yang akan diketahui hukumnya, itu telah ditetapkan
hukumnya dalam nash atau melalui qiyas, kemudian karena dalam
satu kondisi bila ketentuan itu diterapkan akan berbenturan dengan ketentuan
atau kepentingan lain yang lebih umum dan lebih layak
menurut syara’ untuk dipertahankan, maka ketentuan itu dapat
ditinggalkan, khusus dalam kondisi tersebut. Ijtihad seperti ini dikenal
dengan istihsan.
Metode penetapan hukum melalui maqashid syari’ah dalam
praktik-praktik istinbat tersebut, di samping disebut sebagai metode
penetapan hukum melalui maqashid syari’ah, juga oleh sebagian besar
ulama ushul fiqh disebut sebagai dalil-dalil pendukung.
D. ANALISA
Jika diteliti seluruh hukum dalam syari’ah, maka
semuanya itu dibuat untuk tujuan yang satu, yaitu kemaslahatan manusia. Maslahat
itu bertingkat-tingkat atau hirarkis. Ada tiga tingkatan kemaslahatan : dharuriyyat (maslahat
yang urgen), hajiyyat (maslahat pendukung), dan tahsiniyyat (maslahat
penyempurna/aksesoris). Maslahat tingkat kedua tentu tidak sepenting maslahat
tingkat pertama, dan maslahat tingkat ketiga tentu tidak sepenting maslahat
tingkat kedua.
Maslahat paling dasar dalam agama adalah lima :
menjaga agama, menjaga nyawa, menjaga keturunan, menjaga hak milik, dan menjaga
akal. Yang apabila dikembangkan penafsirannya, kelima maslahat itu akan
berbunyi sebagai berikut: 1. melindungi kebebasan beragama, 2. melindungi
kelangsungan hidup, 3. melindungi kelangsungan keturunan, 4. melindungi hak
milik, dan 5. melindungi kebebasan berpikir.
Jika kita tafsirkan dalam bahasa kontemporer, maka
kelima maslahat itu akan mencakup perlindungan atas sekurang-kurangnya 3 hak :
hak-hak sipil, hak-hak ekonomi, dan hak-hak budaya.
Tidak satu pun hukum
Allah swt yang tidak mempunyai tujuan karena hukum yang tidak mempunyai tujuan
sama dengan membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan. Setiap
suruhan Allah dapat dipahami oleh akal. Allah memerintahkan manusia karena
mengandung kemaslahatan untuk dirinya. Secara sederhana maslahat itu diartikan
sesuatu yang baik dan dapat diterima oleh akal yang
sehat.
Qowaid al-tasyri’iyah harus diperhatikan dalam
mengistinbatkan hukum dari nash, dan juga dalam mengistinbatkan hukum yang
tidak ada nashnya, supaya penetapan hukum benar-benar mewujudkan apa yang
dimaksud daripadanya, yaitu merealisir kemaslahatan umum, memberikan
kemanfaatan dan menghindarkan kemafsadatan bagi ummat manusia.
Setiap muslim wajib memahami urgensi tujuan-tujuan dan
maksud-maksud ditetapkannya syari'at, supaya menambah keimanan seoarang muslim
terhadap Rabbnya, dapat memberikan ketahanan dan kekuatan pada diri
seorang muslim untuk menghadapi Ghazwul-fikri (brain washing/ serangan
pemikiran) dan serangan pendangkalan aqidah, dan dapat menyelaraskan kehendak
dirinya dengan kehendak syari'at.
E. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas, dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Qowaid al-tasyri’iyah ialah tata aturan yang dibuat
pedoman oleh pembuat undang-undang dalam menyusun undang-undang dan merealisir
tujuan yang ingin dicapainya melalui pemberian beban kewajiban kepada
orang-orang mukallaf. Qowaid-Qowaid tasyri’iyyat diambil oleh ulama
ushul fiqh dari penelitian-penelitian hukum syar’iyyah, dan dari penelitian
tentang illat-illatnya dan berbagai hikmah dari pembentukan hukumnya, serta
dari berbagai nash yang menetapkan berbagai dasar-dasar pembentukan hokum
secara umum dari prinsip-prinsip hukum yang umum.
2. Maqashid al-tasyri’iyyah ialah tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam
merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan ini dapat ditelusuri dalam ayat-ayat
al-Qur’an dan Sunnah Rasul sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang
berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia. Kemaslahatan yang menjadi tujuan syariat ini
dibatasi dalam lima hal, yaitu: agama, jiwa/nafs, akal, keturunan dan harta.
Setiap hal yang mengandung penjagaaan atas lima hal ini disebut maslahah dan
setiap hal yang membuat hilangnya lima hal ini disebut mafsadah.
F. PENUTUP
Demikianlah
makalah yang dapat kami persembahkan. Kami menyadari tulisan ini sangatlah
kurang sempurna dan masih terdapat banyak kesalahan di sana-sini. Untuk itu,
kritik dan saran konstruktif kami harapkan untuk perbaikan kami kedepan.
Terakhir, kami berharap makalah ini dapat menambah khazanah keilmuan kita. Amin
ya Rabbal ‘Alamin.
G. DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahhab
Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Moh Zuhri dan Ahmad Qarib, Dina
Utama, Semarang, 1994.
Ahmad Qarib, Ushul Fikih 2, Nimas
Multima, Jakarta, 1997.
Beni Ahmad
Saebani, Ilmu Ushul Fiqh, Pustaka Setia, Bandung, 2009.
Djazuli, Fiqh
Siyasah, Implementasi
Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu Syari’ah, Pustaka Media, Jakarta,
2003.
Juhaya S.
Praja, Filsafat Hukum Islam, Pusat Penerbitan Universitas
LPPM Universitas Islam Bandung, Bandung, 1995.
Khairul Umam, Ushul Fiqh II, CV Pustaka
Setia, Bandung, 1998.
Mahmud Yunus,
Kamus Arab-Indonesia, Hidakarya Agung, Jakarta, 1989.
Muchtar Yahya
dan Fatchur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami,
al-Ma’arif, Bandung, 1993.
Muhammad Khalid Mas'ud, Filsafat Hukum Islam
dan Perubahan Sosial, terj. Yudian W. Asmin, Al Ikhlas, Surabaya, 1995.
Muhammad
Ma’shum Zein, Ilmu Ushul Fiqh, Darul hikmah, Jombang, 2008.
Satria Effendi, Ushul Fiqh, Prenada Media,
Jakarta, 2005.
[1]
Satria Effendi, Ushul Fiqh, Prenada Media, Jakarta, 2005, hal. 233.
[2]
Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Moh Zuhri dan Ahmad
Qarib, Dina Utama, Semarang, 1994, hal. 2.
[3]
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Hidakarya Agung, Jakarta, 1989, hal.
351.
[4]
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, Pusat Penerbitan
Universitas LPPM Universitas Islam Bandung, Bandung, 1995, hal.11.
[5]
Muchtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh
Islami, al-Ma’arif, Bandung, 1993, hal. 331.
[6]
Juhaya S. Praja, Loc.Cit.
[7]
Muchtar Yahya dan Fatchur Rahman, Loc.Cit.
[8]
Ibid, hal.333-336.
[9]
Abdul Wahhab Khalaf, Ibid, hal. 310.
[10]
Muchtar Yahya dan Fatchur Rahman, Ibid, hal. 331.
[11]
Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh, Pustaka Setia, Bandung, 2009,
hal. 207.
[12]
Abdul Wahhab Khalaf, Ibid, hal. 310-359.
[13]
Ahmad Qarib, Ushul
Fikih 2, Nimas Multima, Jakarta, 1997, hal. 170.
[14]
Muhammad
Khalid Mas'ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, terj. Yudian
W. Asmin, al Ikhlas, Surabaya, 1995, hal.225.
[15]
Muhammad Ma’shum Zein, Ilmu Ushul Fiqh, Darul hikmah, Jombang, 2008,
hal. 294.
[16]Khairul
Umam, Ushul Fiqh II, CV
Pustaka Setia, Bandung, 1998, hal. 75.
[17]
Djazuli, Fiqh Siyasah, Implementasi
Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu Syari’ah, Pustaka Media, Jakarta, 2003,
hal. 16.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar