H A I D L, WILADAH DAN NIFAS
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : FIKIH I
Dosen Pengampu : Prof. DR. Abdul Hadi, MA
oleh :
ANA PUJI ASIH
111635
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH / PAI
TAHUN 2012
H A I D L, WILADAH DAN NIFAS
A. PENDAHULUAN
Haidl adalah kodrat
wanita yang tidak bisa dihindari dan sangat erat kaitannya dengan aktifitas
ibadahnya sehari-hari. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqoroh ayat 222:
وَيَسْأَلُونَكَ
عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلاَ
تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ
أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ
الْمُتَطَهِّرِينَ ( البقرة 222 )
Artinya: ”Mereka bertanya kepadamu tentang haidl.
Katakanlah: "Haidl itu adalah suatu kotoran”.
Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidl; dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah
suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang
yang mensucikan diri”.
Dan hadits Nabi:
هَذَا شَيْئٌ كَتَبَهُ اللهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ. ( متفق عليه )
Artinya: “Ini (haidl) merupakan
sesuatu yang telah ditakdirkan Allah kepada cucu-cucu wanita Adam” (HR.
Bukhori dan Muslim)
Pada masa Jahiliyah,
haidl dianggap sesuatu yang menjijikkan dan harus dipikul kaum wanita. Pada
masa itu, orang Yahudi tidak memperlakukan secara tidak manusiawi terhadap
istrinya yang sedang haidl. Mereka mengusirnya dari rumah, tidak mau mengajak
tidur dan makan bersama, yang semua itu sangat melecehkan kaum wanita.
Sementara, orang Nasrani mempunyai kebiasaan menggauli istrinya di kala haidl [1]
Hal
ini mendorong para sahabat untuk menanyakan tentang hukum-hukum haidl, sehingga
turunlah ayat di atas.
Ayat dan Hadits di atas, merupakan gambaran
sebagian jawaban tentang hukum-hukum yang terkait dengan haidl. Dimana wanita
harus tetap diperlakukan sebagaimana mestinya.
Dari sinilah, kemudian para ulama merumuskan
hukum-hukum yang terkait dengan haidl. Dengan didukung hadits-hadits lain
sesuai babnya. Selain itu, Imam As-Syafi’i dalam merumuskannya, tidak hanya
berlandaskan pada Al-Qur’an dan Hadits, akan tetapi beliau juga
mengadakan penelitian pada berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus wanita dari
berbagai daerah dan taraf ekonomi yang berbeda untuk menyimpulkan
hukum-hukumnya.1
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Pengertian haidl dan ketentuan-ketentuannya
2.
Wiladah dan ketentuan-ketentuannya
3.
Pengertian nifas dan
ketentuan-ketentuannya
C. PEMBAHASAN
1. HAIDL
a. Pengertian Haidl
Haidl atau biasa disebut menstruasi, secara bahasa
mempunyai arti mengalir. Sedangkan menurut arti syar’i adalah darah yang keluar
melalui alat kelamin wanita yang sudah mencapai usia minimal 9 tahun kurang
dari 16 hari kurang (usia 8 tahun 11 bulan 14 hari), dan keluar secara alami
bukan disebabkan melahirkan atau suatu penyakit pada rahim.1
b. Hukum belajar ilmu haidl
1.
Fardlu
‘ain bagi wanita yang baligh.
2. Fardlu kifayah bagi laki-laki.
c. Batas usia wanita haidl
Awal usia seorang wanita yang mengeluarkan
darah haidl adalah jika ia sudah mencapai usia 9 tahun qomariah kurang 16 hari.
Yakni kurang dari waktu yang cukup dihukumi minimal suci (15 hari) dan minimal
haidl (satu hari satu malam). Sehingga jika ia mengeluarkan darah kurang dari
usia tersebut, maka darah yang keluar tidak bisa disebut haidl. Akan tetapi
dinamakan darah istihadloh. Namun pada umumnya wanita pertama kali keluar darah
adalah di saat ia berusia 12-14 tahun.
Sedangkan usia menopause (usia yang sudah
tidak mengalami haidl) umumnya adalah 62 tahun. Namun para ulama’ menjelaskan
bahwa usia berapapun bila wanita mengeluarkan darah dan telah memenuhi
ciri-ciri haidl, maka darah yang keluar tetap dihukumi haidl. Dan wanita lanjut
usiapun masih bisa dimungkinkan mengalami haidl 1
d. Ketentuan darah haidl
Darah yang keluar dihukumi haidl apabila
memenuhi empat syarat sebagai berikut:1
1.
Keluar
dari wanita yang usianya minimal 9 tahun kurang 16 hari .
2.
Darah
yang keluar minimal satu hari satu malam jika keluar secara terus menerus, atau
sejumlah dua puluh empat jam jika keluar secara terputus-putus asal tidak melampaui 15 hari.
3.
Tidak
lebih 15 hari 15 malam jika keluar terus menerus.
4.
Keluar
setelah masa minimal suci, yakni 15 hari 15 malam dari haidl sebelumnya.
Jika seorang wanita mengeluarkan darah, namun
tidak memenuhi persyaratan di atas, maka darah yang keluar tidak dihukumi
haidl, tetapi disebut darah istihadloh.
Dari persyaratan di atas dapat disimpulkan
bahwa, paling sedikitnya haidl adalah sehari semalam (24 jam). Dan paling
lamanya adalah 15 hari 15 malam.
Pada umumnya setiap bulan wanita mengeluarkan
darah haidl selama 6 atau 7 hari. Sehingga masa sucinya adalah 24 atau 23 hari.
Namun ada juga wanita yang setiap bulan mengeluarkan darah kurang atau lebih
dari masa tersebut. Ada pula yang mengalami haidl tiap 5 bulan sekali atau satu
tahun sekali. Bahkan ada yang selama hidupnya tidak pernah mengalami haidl,
seperti yang dialami Sayyidah Fatimah Az-zahro’ binti Rosulillah SAW.[2]
Paling sedikit jarak waktu yang memisah antara
satu haidl dengan haidl sebelumnya adalah 15 hari 15 malam. Sehingga tidak
menutup kemungkinan dalam satu bulan wanita mengalami haidl dua kali.
e. Hal–hal yang harus dilakukan wanita saat datang dan berhentinya haidl
Saat darah haidl tiba, seorang wanita wajib
menghindari hal-hal yang diharamkan sebab haidl. Disamping itu ia harus menjaga
jangan sampai sesuatu yang dipakai dalam ibadah terkena najisnya darah haidl.
Bila darah yang keluar telah mencapai batas minimal haidl (24 jam), maka
tatkala darah berhenti, ia wajib mandi serta melaksanakan rutinitas ibadahnya.
Bila kemudian darah keluar lagi, maka ia diwajibkan kembali menghindari hal-hal
yang diharamkan bagi wanita haidl. Dan jika darah berhenti lagi, ia wajib mandi
lagi dan demikian seterusnya, selama masih dalam masa 15 hari, yakni masa
maksimal haidl.
Manakala darah berhenti sebelum batas minimal
haidl (24 jam), maka ia cukup membersihkan darah yang keluar dan wudlu bila ingin
melaksanakan aktifitas ibadahnya. Bila ternyata darah keluar lagi, maka saat
darah berhenti, ia wajib mandi kalau memang masa keluar darah pertama ditambah
darah kedua, jumlahnya mencapai batas minimal haidl.2
Kemudian darah dihukumi berhenti bila seandainya
diusap dengan cara mamasukkan semisal kapas, sudah tidak ada cairan yang sesuai
dengan sifat dan warna darah (hanya berupa cairan bening)1. Namun bila masih ada cairan yang
berwarna keruh dan kuning, terjadi perbedaan diantara ulama. Ada yang mengatakan
masih dihukumi darah haidl (qoul yang kuat), karena menganggap masih
berwarna darah, disamping memandang hukum asal bahwa cairan itu keluar
pada masa imkan haidl. Ada yang berpendapat bukan darah haidl, karena
menganggap cairan itu tidak berwarna darah.2
Dengan demikian, bagi wanita sangatlah perlu
untuk menandai waktu keluar dan berhentinya darah. Serta memperhatikan warna
dan sifatnya, terlebih bilamana ia mengalami istihadloh. Sebab hal ini sangat
erat kaitannya dengan penghitungan ketentuan darah haidl, dan jumlah sholat
atau puasa yang harus diqodloi.
Berikut ini hal-hal yang patut diperhatikan
oleh wanita saat mengalami haidl:
a. Sunah untuk tidak memotong kuku,
rambut dan lain-lain dari anggota badan saat haidl/nifas.
Karena ada keterangan, kelak di akhirat anggota badan yang belum disucikan akan
kembali kepemiliknya masih dalam keadaan jinabat (belum disucikan) akan tetapi
bila terlanjur di potong maka yang wajib dibasuh
adalah tempat (bekas) anggota yang dipotong bukan potongan dari anggota itu.[3]
b. Saat darah berhenti, wanita diperbolehkan mulai
niat melaksanakan puasa sekalipun belum
mandi. Karena haramnya puasa disebabkan haidl, bukan hadats. Berbeda dengan
sholat, sebab penghalangnya adalah hadats. Juga berbeda dengan bersetubuh,
sebab ada nash hadits yang secara jelas melarang menggauli istri sebelum
bersuci.[4]
c. Bagi wanita yang darah haidlnya berhenti dan
belum sempat mandi jika ingin tidur, makan atau minum disunahkan membersihkan
farjinya kemudian wudlu. Dan meninggalkan hal ini hukumnya makruh.[5]
2.
MELAHIRKAN
a. Masa Kehamilan
Minimal masa hamil adalah enam bulan lebih
sedikit (waktu jima’ dan melahirkan). Masa itu terhitung mulai waktu yang
mungkin digunakan suami istri bersetubuh setelah aqad nikah. Sedangkan pada
umumnya, masa hamil adalah sembilan bulan. Dan paling lamanya adalah empat
tahun.[6]
Sehingga jika ada bayi
yang lahir setelah masa enam bulan lebih sedikit setelah pernikahan, maka
nasabnya ikut kepada suami. Demikian pula jika lahir sebelum empat tahun dari
masa cerai atau wafat. Hal ini terhitung dari masa mungkinnya hamil atau wafat.[7]
b. Kesunahan-kesunahan saat kelahiran bayi
Beberapa hal yang disunahkan setelah bayi lahir antara lain.2
1.
Sebelum
dimandikan, sunah diadzani pada telinga yang sebelah kanan dan
di-iqomati di telinga yang kiri. Bila hal ini dilakukan, insya Allah tidak akan
diganggu oleh syaitan. Dan supaya pelajaran tauhid adalah merupakan suara
pertama kali yang masuk ketelinganya. Di samping
untuk mengikuti sunah Rasulullah ketika mengadzani telinga Sayyid Hasan
saat dilahirkan oleh Sayyidah Fathimah Az-Zahro.
2.
Dibacakan
do’a:
إِنِّيْ أُعِيْذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا
مِنَ الشَّيْطاَنِ الرَّجِيْمِ (آل عمران :36)
pada telinga sebelah
kanan.
3.
Dibacakan Surat
Al-Ikhlash pada telinga sebelah kanan.
4.
Dibacakan Surat إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِى لَيْلَةِ الْقَدْرِ pada telinga sebelah kanan, agar oleh Allah selama
hidupnya tidak ditaqdirkan berbuat zina.
5.
Diolesi dengan kurma (jawa:
dicetaki).
Caranya: Kurma dikunyah terlebih dulu, kemudian dimasukkan ke
mulut bayi dengan menggosokkannya kelangit-langit mulu, sehingga ada sebagian
kurma yang tertelan. Kalau tidak ada
kurma, maka bisa dengan makanan yang manis dan tidak dimasak dengan api.
Seyogyanya dicarikan orang yang sholeh, agar si bayi mendapat barokah dengan
menelan ludahnya.
6.
Diaqiqahi dengan
menyembelih dua ekor kambing untuk bayi laki-laki dan satu ekor untuk bayi
perempuan. Hal ini dilakukan pada hari ketujuh dari kelahiran bayi.
7.
Diberi nama yang baik,
pada hari ketujuh kelahirannya. Rosulullah bersabda:
إِنَّكُمْ تٌدْعَوْنَ يَوْمَ اْلقِياَمَةِ
بِأَسْمَائِكُمْ وَأَسْمَاءِ آباَئِكُمْ فَأَحْسِنُوْا أَسْمَاءَكُمْ. [رواه أبو
داود]
Artinya: ” Sesungguhnya di hari kiamat kamu
sekalian akan dipanggil dengan nama-nama kamu sekalian dan nama-nama bapak kamu
sekalian. Maka buatlah nama yang baik bagi kamu sekalian ”. (HR. Abu
Daud).
Adapun nama yang paling
baik adalah Abdullah, lalu Abdurrohman. Kemudian “Abdu” yang
dirangkai dengan salah satu asma-asma Allah SWT. Seperti Abdul Mu’id, Abdul
Qoyyum, Abdurrozaq dll. Kemudian Muhammad dan selanjutnya Ahmad.
8.
Mencukur keseluruhan
rambut bayi, pada hari ke tujuh kelahirannya dan setelah diaqiqahi. Kemudian
disunahkan bershodaqoh emas atau perak seberat rambut yang dicukur ataupun
dengan nilai krusnya.
3. N I F A S
a. Pengertian nifas
Nifas menurut bahasa
adalah melahirkan, sedang menurut istilah syara’ adalah darah yang keluar
melalui alat vital perempuan setelah melahirkan.1
Adapun darah yang keluar saat melahirkan ( دم الطلق) darah ketika nglarani manak; jawa) atau
bersamaan dengan bayi, tidak disebut darah nifas.
b. Ketentuan darah nifas
Minimalnya
masa nifas adalah sebentar walaupun sekejap, masa maksimalnya 60 hari 60 malam,
dan pada umumnya 40 hari 40 malam.2
Penghitungan
maksimal masa nifas (60 hari 60 malam)
dihitung mulai dari keluarnya seluruh anggota tubuh bayi dari rahim
(sempurnanya melahirkan).
c. Sikap wanita saat datang dan berhentinya nifas
Secara umum
sikap wanita saat mengalami nifas, sama dengan sikap wanita saat mengalami
haidl yang telah disebutkan dalam bab terdahulu. Yaitu dalam masalah kapan
harus mandi, meninggalkan hal – hal yang diharamkan dan hukum yang berkaitan
dengan saat darah keluar maupun berhenti, seperti disunnahkan tidak memotong
kuku dan lain sebagainya. Hanya saja karena paling sedikitnya nifas adalah
sebentar (لحظة)
maka yang
harus diperhatikan adalah kapan saja darah berhenti, ia wajib mandi dan
melaksanakan aktifitas ibadahnya.
4. HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN HAIDL DAN NIFAS
a. Hal-hal yang diharamkan sebab haidl dan nifas
Ketika darah yang keluar bisa dikategorikan
haidl atau nifas (darah keluar pada waktu yang dimungkinkan keluarnya darah
haidl atau nifas), maka ada beberapa hal yang diharamkan,yaitu:
1.
Sholat (wajib
maupun sunah).
Sholat yang ditinggalkan selama masa
haidl/nifas tidak wajib diqodlo’. Sebab tidak ada perintah qodlo’ dari syara’,
disamping hal itu dianggap akan menimbulkan masyaqoh (kesulitan), mengingat
kewajiban sholat sehari semalam lima kali.
Bagi kaum wanita tidak usah khawatir akan
hilangnya pahala dengan larangan sholat baginya. Sebab jika dalam meninggalkan
sholat dikarenakan haidl, diniati tunduk dan mengikuti perintah Allah, ia akan
tetap mendapat pahala.[8]
2.
Sujud syukur dan tilawah.
3.
Puasa (wajib maupun sunah).
4.
Thowaf
(wajib maupun sunah).
5.
Membaca
Al-Qur’an
Keharaman ini, bila dalam melafadzkan al-Qur’an
diniati membaca al-Qur’an, namun bila diniati dzikir/do’a, dimutlaqkan atau
dibaca dalam hati maka hukumnya diperbolehkan.[9]
Misalnya:
- Ketika akan Makan
membaca:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
-
Ketika terkena musibah membaca :
إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ
رَاجِعُوْنَ
6.
Menyentuh
dan membawa mushhaf (Al-Qur’an)
7.
Lewat
ataupun berdiam diri di dalam masjid.
8.
Dicerai.
9.
Bersetubuh
atau bersentuhan kulit pada anggota tubuh antara lutut dan pusar.
b. Sholat yang harus diqodlo sebab datang dan berhentinya haidl dan nifas
Bagi wanita yang mengalami haidl atau nifas,
ada hal yang harus diperhatikannya. Yaitu masalah qodlo sholat. Dalam istilah
fiqih, haidl dan nifas ini termasuk mawani’ussholah (sesuatu yang
mencegah dilakukannya sholat). Dan sholat yang ditinggalkan selama masa haidl
atau nifas, hukumnya haram untuk diqodlo. Namun demikian bukan berarti ia bebas
total dari beban qodlo sholat.
Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa,
datangnya mani’ussholah akan mengakibatkan hutang sholat yang saat mani’nya hilang harus
diqodlo, ketentuannya adalah bilamana datangnya mani’ itu berada di
dalam ruang waktu sholat dan telah melewati jarak waktu yang sekiranya cukup
digunakan untuk melakukan sholat tersebut, sementara ia belum melaksanakannya.
Dan yang harus diqodloi adalah, sholat yang belum sempat dikerjakan saat
datangnya mani’ saja, tidak dengan sholat sebelum atau sesudahnya, meskipun
kedua sholat tersebut bisa dijama’. [10]
Kemudian masalah hilangnya mani’, maka ia wajib
menqodloi sholat jika hilangnya mani’ ini masih berada dalam waktu sholat yang
minimal masih muat digunakan takbirotul ihrom (mengucapkan lafadz Allahu Akbar) namun sholat tersebut tidak mungkin dilaksanakan di dalam
waktunya.
Khusus masalah hilangnya mani’, sholat yang
harus diqodlo tidak hanya sholat di saat mani’ itu hilang, namun juga sholat
sebelumnya ketika masih dalam keadaan haidl, bila kedua sholat tersebut bisa
dijama’.
Sedangkan sholat yang bisa dijama’ adalah
Dzuhur dengan Ashar, Maghrib dengan isya’. Dengan demikian, dapat dipastikan
bahwa sholat sebelum hilangnya mani’ ikut diqodloi bersama sholat saat
hilangnya mani’, apabila mani’ tersebut hilang diwaktu Ashar dan Isya’ saja.
5.
KESIMPULAN
Nifas adalah darah yang keluar melalui alat
kelamin wanita yang sudah mencapai usia minimal 9 tahun kurang dari 16 hari
kurang (usia 8 tahun 11 bulan 14 hari), dan keluar secara alami bukan
disebabkan melahirkan atau suatu penyakit pada rahim dengan ketentuan :
1.
Keluar dari wanita yang usianya minimal 9
tahun kurang 16 hari .
2.
Darah
yang keluar minimal satu hari satu malam jika keluar secara terus menerus, atau
sejumlah dua puluh empat jam jika keluar secara terputus-putus asal tidak melampaui 15 hari.
3.
Tidak
lebih 15 hari 15 malam jika keluar terus menerus.
4.
Keluar
setelah masa minimal suci, yakni 15 hari 15 malam dari haidl sebelumnya.
Minimal masa hamil adalah enam bulan lebih
sedikit terhitung mulai waktu yang mungkin digunakan suami istri bersetubuh
setelah aqad nikah.
Nifas adalah darah yang keluar melalui alat vital
perempuan setelah melahirkan
Ada beberapa hal yang diharamkan ketika haidl
dan nifas,yaitu:
1.
Sholat
2.
Sujud
syukur dan tilawah.
3.
Puasa
(wajib maupun sunah).
4.
Thowaf
(wajib maupun sunah).
5.
Membaca
Al-Qur’an
6.
Menyentuh
dan membawa mushhaf (Al-Qur’an)
7.
Lewat
ataupun berdiam diri di dalam masjid.
8.
Dicerai.
9.
Bersetubuh
atau bersentuhan kulit pada anggota tubuh antara lutut dan pusar.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah bin Husain bin Thohir Ba’Alawi, Sulam Al-Taufiq, alhidayah.
Abu Bakar bin Muhammad Syatho, I’anah al-Tholibin, Daru Ihya
al-Kutub al-‘Arobiyah.
Abu Ishaq Ibrohim bin Aly al-Syirozi, Al-Muhadzab, Maktabah wa
Mathba’ah Toha Putra Semarang.
Ahmad bin Ahmad bin Salamah al-Qulyubi, Hasyiyah al-Mahalli, Daru
Ihya al-Kutub al-‘Arobiyah.
Ibrohim al-Bajuri, al-Bajuri Hasyiyah Fathu al-Qorib, Daru Ihya
al-Kutub al-‘Arobiyah
Muhamad bin Isma’il al-Kahlani, Subulussalam, Thoha Putra
Muhammad al-Khotib al-Syirbini, Mughni al-Muhtaj, Daru al-Fikr
Beirut.1978
Muhammad bin Umar al-Nawawi al-Jawi, Nihayah al-Zain, Thoha Putra
Semarang.
Muhyiddin Yahya bin Syarof al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarkhul Muhadzab,
Maktabah al-Salafiyah Madinah
Sulaiman al-Bujairimi, Hasyiyah al-Bujairimi ala al-Khotib, Daru
al-Fikr Beirut. 1995.
Wahbah al-Zuhaili DR., Al-Fiqhu al-Islami, Daru al-Fikr Beirut.1989
Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malaybari, Fathu al-Mu’in Hamisy ‘Ianah
al-Tholibin, Daru Ihaya’ al-kutub Al-Arobiyyah
Zakariya bin Muhammad al-Anshori, Fathu al-Wahab, Daru Ihya
al-Kutub al-‘Arobiyah.
[1] Muhamad bin Isma’il al-Kahlani, Subulussalam,
Thoha Putra, Hal 104
1 Muhyiddin Yahya bin
Syarof al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarkhul Muhadzab, Maktabah al-Salafiyah
Madinah, Juz 2 hal.373
1 Ibrohim al-Bajuri, al-Bajuri
Hasyiyah Fathu al-Qorib, Daru Ihya al-Kutub al-‘Arobiyah, Juz 1 Hal 113
[2] Ibrohim al-Bajuri, al-Bajuri
Hasyiyah Fathu al-Qorib, Daru Ihya al-Kutub al-‘Arobiyah Indonesia, Juz 1
Hal 112
2 Abu Ishaq Ibrohim bin
Aly al-Syirozi, Al-Muhadzab, Maktabah wa Mathba’ah Toha Putra Semarang.
Juz 1, hal 39
[4] Abu Ishaq Ibrohim bin
Aly al-Syirozi, Al-Muhadzab, Maktabah wa Mathba’ah Toha Putra Semarang.
Juz 1, hal 38
[5] Zainuddin bin Abdul
Aziz al-Malaybari, Fathu al-Mu’in Hamisy ‘Ianah al-Tholibin, Daru Ihaya’
al-kutub Al-Arobiyyah, hal.79
[6] Ibrohim al-Bajuri, al-Bajuri
Hasyiyah Fathu al-Qorib, Daru Ihya al-Kutub al-‘Arobiyah Indonesia, Juz 1
Hal 113
[7] Abu Bakar bin Muhammad
Syatho, I’anah al-Tholibin, Daru Ihya al-Kutub al-‘Arobiyah. Juz.4 hal
49
2 Zainuddin bin Abdul
Aziz al-Malaybari, Fathu al-Mu’in Hamisy ‘Ianah al-Tholibin, Daru Ihaya’
al-kutub Al-Arobiyyah, Hal. 335 -339
1 Ibrohim al-Bajuri, al-Bajuri
Hasyiyah Fathu al-Qorib, Daru Ihya al-Kutub al-‘Arobiyah Indonesia, Juz 1
Hal 109
[8] Ahmad bin Ahmad bin
Salamah al-Qulyubi, Hasyiyah al-Mahalli, Daru Ihya al-Kutub
al-‘Arobiyah. Hal. 100
[9] Sulaiman al-Bujairimi,
Hasyiyah al-Bujairimi ala al-Khotib, Daru al-Fikr Beirut. 1995. Juz.1
Hal 356
[10] Abdullah bin Husain bin Thohir
Ba’Alawi, Sulam Al-Taufiq, alhidayah. Hal. 72
Tidak ada komentar:
Posting Komentar