Minggu, 03 Januari 2016

H A I D L, WILADAH DAN NIFAS



H A I D L, WILADAH DAN NIFAS



 










Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : FIKIH I
Dosen Pengampu : Prof. DR. Abdul Hadi, MA







oleh :
ANA PUJI ASIH
111635


 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI  KUDUS
JURUSAN TARBIYAH / PAI
TAHUN 2012

H A I D L, WILADAH DAN NIFAS

 

A.      PENDAHULUAN  

Haidl adalah kodrat wanita yang tidak bisa dihindari dan sangat erat kaitannya dengan aktifitas ibadahnya sehari-hari. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqoroh ayat 222:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ ( البقرة 222 )
Artinya:     Mereka bertanya kepadamu tentang haidl. Katakanlah: "Haidl itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidl; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”.
Dan hadits Nabi:
هَذَا شَيْئٌ كَتَبَهُ اللهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ. ( متفق عليه )
Artinya:  Ini (haidl) merupakan sesuatu yang telah ditakdirkan Allah kepada cucu-cucu wanita Adam” (HR. Bukhori dan Muslim)
Pada masa Jahiliyah, haidl dianggap sesuatu yang menjijikkan dan harus dipikul kaum wanita. Pada masa itu, orang Yahudi tidak memperlakukan secara tidak manusiawi terhadap istrinya yang sedang haidl. Mereka mengusirnya dari rumah, tidak mau mengajak tidur dan makan bersama, yang semua itu sangat melecehkan kaum wanita. Sementara, orang Nasrani mempunyai kebiasaan menggauli istrinya di kala haidl [1] 
Hal ini mendorong para sahabat untuk menanyakan tentang hukum-hukum haidl, sehingga turunlah ayat di atas.
Ayat dan Hadits di atas, merupakan gambaran sebagian jawaban tentang hukum-hukum yang terkait dengan haidl. Dimana wanita harus tetap diperlakukan sebagaimana mestinya.
Dari sinilah, kemudian para ulama merumuskan hukum-hukum yang terkait dengan haidl. Dengan didukung hadits-hadits lain sesuai babnya. Selain itu, Imam As-Syafi’i dalam merumuskannya, tidak hanya berlandaskan pada Al-Qur’an dan Hadits, akan tetapi beliau juga mengadakan penelitian pada berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus wanita dari berbagai daerah dan taraf ekonomi yang berbeda untuk menyimpulkan hukum-hukumnya.1 

B.       RUMUSAN MASALAH

1.      Pengertian haidl dan ketentuan-ketentuannya
2.      Wiladah dan ketentuan-ketentuannya
3.      Pengertian nifas dan ketentuan-ketentuannya


C.      PEMBAHASAN


1.      HAIDL

a.        Pengertian Haidl

Haidl  atau biasa disebut menstruasi, secara bahasa mempunyai arti mengalir. Sedangkan menurut arti syar’i adalah darah yang keluar melalui alat kelamin wanita yang sudah mencapai usia minimal 9 tahun kurang dari 16 hari kurang (usia 8 tahun 11 bulan 14 hari), dan keluar secara alami bukan disebabkan melahirkan atau suatu penyakit pada rahim.1

b.        Hukum belajar ilmu haidl

1.       Fardlu ‘ain bagi wanita yang baligh.
2.       Fardlu kifayah bagi laki-laki.

c.         Batas usia wanita haidl

Awal usia seorang wanita yang mengeluarkan darah haidl adalah jika ia sudah mencapai usia 9 tahun qomariah kurang 16 hari. Yakni kurang dari waktu yang cukup dihukumi minimal suci (15 hari) dan minimal haidl (satu hari satu malam). Sehingga jika ia mengeluarkan darah kurang dari usia tersebut, maka darah yang keluar tidak bisa disebut haidl. Akan tetapi dinamakan darah istihadloh. Namun pada umumnya wanita pertama kali keluar darah adalah di saat ia berusia 12-14 tahun.
Sedangkan usia menopause (usia yang sudah tidak mengalami haidl) umumnya adalah 62 tahun. Namun para ulama’ menjelaskan bahwa usia berapapun bila wanita mengeluarkan darah dan telah memenuhi ciri-ciri haidl, maka darah yang keluar tetap dihukumi haidl. Dan wanita lanjut usiapun masih bisa dimungkinkan mengalami haidl 1

d.        Ketentuan darah haidl

Darah yang keluar dihukumi haidl apabila memenuhi empat syarat sebagai berikut:1
        1.       Keluar dari wanita yang usianya minimal 9 tahun kurang 16 hari .
        2.       Darah yang keluar minimal satu hari satu malam jika keluar secara terus menerus, atau sejumlah dua puluh empat jam jika keluar secara terputus-putus  asal tidak melampaui 15 hari.
        3.       Tidak lebih 15 hari 15 malam jika keluar terus menerus.
        4.       Keluar setelah masa minimal suci, yakni 15 hari 15 malam dari haidl sebelumnya.
Jika seorang wanita mengeluarkan darah, namun tidak memenuhi persyaratan di atas, maka darah yang keluar tidak dihukumi haidl, tetapi disebut darah istihadloh.
Dari persyaratan di atas dapat disimpulkan bahwa, paling sedikitnya haidl adalah sehari semalam (24 jam). Dan paling lamanya adalah 15 hari 15 malam.
Pada umumnya setiap bulan wanita mengeluarkan darah haidl selama 6 atau 7 hari. Sehingga masa sucinya adalah 24 atau 23 hari. Namun ada juga wanita yang setiap bulan mengeluarkan darah kurang atau lebih dari masa tersebut. Ada pula yang mengalami haidl tiap 5 bulan sekali atau satu tahun sekali. Bahkan ada yang selama hidupnya tidak pernah mengalami haidl, seperti yang dialami Sayyidah Fatimah Az-zahro’ binti Rosulillah SAW.[2]
Paling sedikit jarak waktu yang memisah antara satu haidl dengan haidl sebelumnya adalah 15 hari 15 malam. Sehingga tidak menutup kemungkinan dalam satu bulan wanita mengalami haidl dua kali.

 

e.         Hal–hal yang harus dilakukan  wanita saat datang dan berhentinya haidl

Saat darah haidl tiba, seorang wanita wajib menghindari hal-hal yang diharamkan sebab haidl. Disamping itu ia harus menjaga jangan sampai sesuatu yang dipakai dalam ibadah terkena najisnya darah haidl. Bila darah yang keluar telah mencapai batas minimal haidl (24 jam), maka tatkala darah berhenti, ia wajib mandi serta melaksanakan rutinitas ibadahnya. Bila kemudian darah keluar lagi, maka ia diwajibkan kembali menghindari hal-hal yang diharamkan bagi wanita haidl. Dan jika darah berhenti lagi, ia wajib mandi lagi dan demikian seterusnya, selama masih dalam masa 15 hari, yakni masa maksimal haidl.
Manakala darah berhenti sebelum batas minimal haidl (24 jam), maka ia cukup membersihkan darah yang keluar dan wudlu bila ingin melaksanakan aktifitas ibadahnya. Bila ternyata darah keluar lagi, maka saat darah berhenti, ia wajib mandi kalau memang masa keluar darah pertama ditambah darah kedua, jumlahnya mencapai batas minimal haidl.2
Kemudian darah dihukumi berhenti bila seandainya diusap dengan cara mamasukkan semisal kapas, sudah tidak ada cairan yang sesuai dengan sifat dan warna darah (hanya berupa cairan bening)1. Namun bila masih ada cairan yang berwarna keruh dan kuning, terjadi perbedaan diantara ulama. Ada yang mengatakan masih dihukumi darah haidl (qoul yang kuat), karena menganggap masih berwarna darah, disamping memandang hukum asal bahwa cairan itu keluar pada masa imkan haidl. Ada yang berpendapat bukan darah haidl, karena menganggap cairan itu tidak berwarna darah.2
Dengan demikian, bagi wanita sangatlah perlu untuk menandai waktu keluar dan berhentinya darah. Serta memperhatikan warna dan sifatnya, terlebih bilamana ia mengalami istihadloh. Sebab hal ini sangat erat kaitannya dengan penghitungan ketentuan darah haidl, dan jumlah sholat atau puasa yang harus diqodloi.
Berikut ini hal-hal yang patut diperhatikan oleh wanita saat mengalami haidl:
a.     Sunah untuk tidak memotong kuku, rambut dan lain-lain dari anggota badan saat haidl/nifas. Karena ada keterangan, kelak di akhirat anggota badan yang belum disucikan akan kembali kepemiliknya masih dalam keadaan jinabat (belum disucikan) akan tetapi bila terlanjur di potong maka yang wajib dibasuh adalah tempat (bekas) anggota yang dipotong bukan potongan dari anggota itu.[3]
b.     Saat darah berhenti, wanita diperbolehkan mulai niat melaksanakan puasa sekalipun belum mandi. Karena haramnya puasa disebabkan haidl, bukan hadats. Berbeda dengan sholat, sebab penghalangnya adalah hadats. Juga berbeda dengan bersetubuh, sebab ada nash hadits yang secara jelas melarang menggauli istri sebelum bersuci.[4]
c.     Bagi wanita yang darah haidlnya berhenti dan belum sempat mandi jika ingin tidur, makan atau minum disunahkan membersihkan farjinya kemudian wudlu. Dan meninggalkan hal ini hukumnya makruh.[5]





2.      MELAHIRKAN

 

a.      Masa Kehamilan

Minimal masa hamil adalah enam bulan lebih sedikit (waktu jima’ dan melahirkan). Masa itu terhitung mulai waktu yang mungkin digunakan suami istri bersetubuh setelah aqad nikah. Sedangkan pada umumnya, masa hamil adalah sembilan bulan. Dan paling lamanya adalah empat tahun.[6]
Sehingga jika ada bayi yang lahir setelah masa enam bulan lebih sedikit setelah pernikahan, maka nasabnya ikut kepada suami. Demikian pula jika lahir sebelum empat tahun dari masa cerai atau wafat. Hal ini terhitung dari masa mungkinnya  hamil atau wafat.[7]

b.      Kesunahan-kesunahan saat kelahiran bayi

Beberapa hal yang disunahkan setelah bayi lahir antara lain.2
             1.           Sebelum dimandikan, sunah diadzani pada telinga yang sebelah kanan dan di-iqomati di telinga yang kiri. Bila hal ini dilakukan, insya Allah tidak akan diganggu oleh syaitan. Dan supaya pelajaran tauhid adalah merupakan suara pertama kali yang masuk ketelinganya. Di samping untuk mengikuti sunah Rasulullah ketika mengadzani telinga Sayyid Hasan saat dilahirkan oleh Sayyidah Fathimah Az-Zahro.
             2.           Dibacakan do’a:
إِنِّيْ أُعِيْذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطاَنِ الرَّجِيْمِ (آل عمران  :36)
pada telinga sebelah kanan.
             3.           Dibacakan Surat Al-Ikhlash pada telinga sebelah kanan.
             4.           Dibacakan Surat إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِى لَيْلَةِ الْقَدْرِ pada telinga  sebelah kanan, agar oleh Allah selama hidupnya tidak  ditaqdirkan berbuat zina.
             5.           Diolesi dengan kurma (jawa: dicetaki).
Caranya: Kurma dikunyah terlebih dulu, kemudian dimasukkan ke mulut bayi dengan menggosokkannya kelangit-langit mulu, sehingga ada sebagian kurma  yang tertelan. Kalau tidak ada kurma, maka bisa dengan makanan yang manis dan tidak dimasak dengan api. Seyogyanya dicarikan orang yang sholeh, agar si bayi mendapat barokah dengan menelan ludahnya.
             6.           Diaqiqahi dengan menyembelih dua ekor kambing untuk bayi laki-laki dan satu ekor untuk bayi perempuan. Hal ini dilakukan pada hari ketujuh dari kelahiran bayi.
             7.           Diberi nama yang baik, pada hari ketujuh kelahirannya. Rosulullah bersabda:
إِنَّكُمْ تٌدْعَوْنَ يَوْمَ اْلقِياَمَةِ بِأَسْمَائِكُمْ وَأَسْمَاءِ آباَئِكُمْ فَأَحْسِنُوْا أَسْمَاءَكُمْ. [رواه أبو داود]
Artinya:         ” Sesungguhnya di hari kiamat kamu sekalian akan dipanggil dengan nama-nama kamu sekalian dan nama-nama bapak kamu sekalian. Maka buatlah nama yang baik bagi kamu sekalian . (HR. Abu Daud).
Adapun nama yang paling baik adalah Abdullah, lalu Abdurrohman. Kemudian “Abdu” yang dirangkai dengan salah satu asma-asma Allah SWT. Seperti Abdul Mu’id, Abdul Qoyyum, Abdurrozaq dll. Kemudian Muhammad dan selanjutnya Ahmad.
             8.           Mencukur keseluruhan rambut bayi, pada hari ke tujuh kelahirannya dan setelah diaqiqahi. Kemudian disunahkan bershodaqoh emas atau perak seberat rambut yang dicukur ataupun dengan nilai krusnya.





3.      N I F A S

 

a.      Pengertian nifas

Nifas menurut bahasa adalah melahirkan, sedang menurut istilah syara’ adalah darah yang keluar melalui alat vital perempuan setelah melahirkan.1
Adapun darah yang keluar saat melahirkan ( دم الطلق) darah ketika nglarani manak; jawa) atau bersamaan dengan bayi, tidak disebut darah nifas.

 

b.      Ketentuan darah nifas

Minimalnya masa nifas adalah sebentar walaupun sekejap, masa maksimalnya 60 hari 60 malam, dan pada umumnya 40 hari 40 malam.2
Penghitungan maksimal masa nifas (60 hari 60 malam)  dihitung mulai dari keluarnya seluruh anggota tubuh bayi dari rahim (sempurnanya melahirkan).

c.       Sikap wanita saat datang dan berhentinya nifas

Secara umum sikap wanita saat mengalami nifas, sama dengan sikap wanita saat mengalami haidl yang telah disebutkan dalam bab terdahulu. Yaitu dalam masalah kapan harus mandi, meninggalkan hal – hal yang diharamkan dan hukum yang berkaitan dengan saat darah keluar maupun berhenti, seperti disunnahkan tidak memotong kuku dan lain sebagainya. Hanya saja karena paling sedikitnya nifas adalah sebentar (لحظة) maka yang harus diperhatikan adalah kapan saja darah berhenti, ia wajib mandi dan melaksanakan aktifitas ibadahnya.

 








4.      HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN HAIDL DAN NIFAS


a.      Hal-hal yang diharamkan sebab haidl dan nifas

Ketika darah yang keluar bisa dikategorikan haidl atau nifas (darah keluar pada waktu yang dimungkinkan keluarnya darah haidl atau nifas), maka ada beberapa hal yang diharamkan,yaitu:
        1.       Sholat (wajib maupun sunah).
Sholat yang ditinggalkan selama masa haidl/nifas tidak wajib diqodlo’. Sebab tidak ada perintah qodlo’ dari syara’, disamping hal itu dianggap akan menimbulkan masyaqoh (kesulitan), mengingat kewajiban sholat sehari semalam lima kali.
Bagi kaum wanita tidak usah khawatir akan hilangnya pahala dengan larangan sholat baginya. Sebab jika dalam meninggalkan sholat dikarenakan haidl, diniati tunduk dan mengikuti perintah Allah, ia akan tetap mendapat pahala.[8]
        2.       Sujud syukur dan tilawah.
        3.       Puasa (wajib maupun sunah).
        4.       Thowaf (wajib maupun sunah).
        5.       Membaca Al-Qur’an
Keharaman ini, bila dalam melafadzkan al-Qur’an diniati membaca al-Qur’an, namun bila diniati dzikir/do’a, dimutlaqkan atau dibaca dalam hati maka hukumnya diperbolehkan.[9]
Misalnya:
- Ketika akan Makan membaca:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
- Ketika terkena musibah membaca :
إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ
        6.       Menyentuh dan membawa mushhaf (Al-Qur’an)     
        7.       Lewat ataupun berdiam diri di dalam masjid.    
        8.       Dicerai.
        9.       Bersetubuh atau bersentuhan kulit pada anggota tubuh antara lutut dan pusar.

b.      Sholat yang harus diqodlo sebab datang dan berhentinya haidl dan nifas

Bagi wanita yang mengalami haidl atau nifas, ada hal yang harus diperhatikannya. Yaitu masalah qodlo sholat. Dalam istilah fiqih, haidl dan nifas ini termasuk mawani’ussholah (sesuatu yang mencegah dilakukannya sholat). Dan sholat yang ditinggalkan selama masa haidl atau nifas, hukumnya haram untuk diqodlo. Namun demikian bukan berarti ia bebas total dari beban qodlo sholat.
Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa, datangnya mani’ussholah akan mengakibatkan hutang sholat yang saat mani’nya hilang harus diqodlo, ketentuannya adalah bilamana datangnya mani’ itu berada di dalam ruang waktu sholat dan telah melewati jarak waktu yang sekiranya cukup digunakan untuk melakukan sholat tersebut, sementara ia belum melaksanakannya. Dan yang harus diqodloi adalah, sholat yang belum sempat dikerjakan saat datangnya mani’ saja, tidak dengan sholat sebelum atau sesudahnya, meskipun kedua sholat tersebut bisa dijama’. [10]
Kemudian masalah hilangnya mani’, maka ia wajib menqodloi sholat jika hilangnya mani’ ini masih berada dalam waktu sholat yang minimal masih muat digunakan takbirotul ihrom (mengucapkan lafadz Allahu Akbar) namun sholat tersebut tidak mungkin dilaksanakan di dalam waktunya.
Khusus masalah hilangnya mani’, sholat yang harus diqodlo tidak hanya sholat di saat mani’ itu hilang, namun juga sholat sebelumnya ketika masih dalam keadaan haidl, bila kedua sholat tersebut bisa dijama’.
Sedangkan sholat yang bisa dijama’ adalah Dzuhur dengan Ashar, Maghrib dengan isya’. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa sholat sebelum hilangnya mani’ ikut diqodloi bersama sholat saat hilangnya mani’, apabila mani’ tersebut hilang diwaktu Ashar dan Isya’ saja.

5.      KESIMPULAN

Nifas adalah darah yang keluar melalui alat kelamin wanita yang sudah mencapai usia minimal 9 tahun kurang dari 16 hari kurang (usia 8 tahun 11 bulan 14 hari), dan keluar secara alami bukan disebabkan melahirkan atau suatu penyakit pada rahim dengan ketentuan :
        1.        Keluar dari wanita yang usianya minimal 9 tahun kurang 16 hari .
        2.       Darah yang keluar minimal satu hari satu malam jika keluar secara terus menerus, atau sejumlah dua puluh empat jam jika keluar secara terputus-putus  asal tidak melampaui 15 hari.
        3.       Tidak lebih 15 hari 15 malam jika keluar terus menerus.
        4.       Keluar setelah masa minimal suci, yakni 15 hari 15 malam dari haidl sebelumnya.
Minimal masa hamil adalah enam bulan lebih sedikit terhitung mulai waktu yang mungkin digunakan suami istri bersetubuh setelah aqad nikah.
Nifas adalah darah yang keluar melalui alat vital perempuan setelah melahirkan
Ada beberapa hal yang diharamkan ketika haidl dan nifas,yaitu:
1.      Sholat 
2.      Sujud syukur dan tilawah.
3.      Puasa (wajib maupun sunah).
4.      Thowaf (wajib maupun sunah).
5.      Membaca Al-Qur’an
6.      Menyentuh dan membawa mushhaf (Al-Qur’an)     
7.      Lewat ataupun berdiam diri di dalam masjid.    
8.      Dicerai.
9.      Bersetubuh atau bersentuhan kulit pada anggota tubuh antara lutut dan pusar.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah bin Husain bin Thohir Ba’Alawi, Sulam Al-Taufiq, alhidayah.
Abu Bakar bin Muhammad Syatho, I’anah al-Tholibin, Daru Ihya al-Kutub al-‘Arobiyah.
Abu Ishaq Ibrohim bin Aly al-Syirozi, Al-Muhadzab, Maktabah wa Mathba’ah Toha Putra Semarang.
Ahmad bin Ahmad bin Salamah al-Qulyubi, Hasyiyah al-Mahalli, Daru Ihya al-Kutub al-‘Arobiyah.
Ibrohim al-Bajuri, al-Bajuri Hasyiyah Fathu al-Qorib, Daru Ihya al-Kutub al-‘Arobiyah
Muhamad bin Isma’il al-Kahlani, Subulussalam, Thoha Putra
Muhammad al-Khotib al-Syirbini, Mughni al-Muhtaj, Daru al-Fikr Beirut.1978
Muhammad bin Umar al-Nawawi al-Jawi, Nihayah al-Zain, Thoha Putra Semarang.
Muhyiddin Yahya bin Syarof al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarkhul Muhadzab, Maktabah al-Salafiyah Madinah
Sulaiman al-Bujairimi, Hasyiyah al-Bujairimi ala al-Khotib, Daru al-Fikr Beirut. 1995.
Wahbah al-Zuhaili DR., Al-Fiqhu al-Islami, Daru al-Fikr Beirut.1989
Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malaybari, Fathu al-Mu’in Hamisy ‘Ianah al-Tholibin, Daru Ihaya’ al-kutub Al-Arobiyyah
Zakariya bin Muhammad al-Anshori, Fathu al-Wahab, Daru Ihya al-Kutub al-‘Arobiyah.


[1]   Muhamad bin Isma’il al-Kahlani, Subulussalam, Thoha Putra, Hal 104
1 Muhyiddin Yahya bin Syarof al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarkhul Muhadzab, Maktabah al-Salafiyah Madinah, Juz 2 hal.373
1 Ibrohim al-Bajuri, al-Bajuri Hasyiyah Fathu al-Qorib, Daru Ihya al-Kutub al-‘Arobiyah, Juz 1 Hal 113
1 Wahbah al-Zuhaili DR., Al-Fiqhu al-Islami, Daru al-Fikr Beirut.1989, juz 1, hal. 405
1 Zakariya bin Muhammad al-Anshori, Fathu al-Wahab, Daru Ihya al-Kutub al-‘Arobiyah. juz 1, hal. 26

[2] Ibrohim al-Bajuri, al-Bajuri Hasyiyah Fathu al-Qorib, Daru Ihya al-Kutub al-‘Arobiyah Indonesia, Juz 1 Hal 112
2 Abu Ishaq Ibrohim bin Aly al-Syirozi, Al-Muhadzab, Maktabah wa Mathba’ah Toha Putra Semarang. Juz 1, hal 39
1 Wahbah al-Zuhaili DR., Al-Fiqhu al-Islami, Daru al-Fikr Beirut.1989, juz 1, hal. 405
2 Muhammad al-Khotib al-Syirbini, Mughni al-Muhtaj, Daru al-Fikr Beirut.1978, Juz 1. Hal.113
[3] Muhammad bin Umar al-Nawawi al-Jawi, Nihayah al-Zain, Thoha Putra Semarang. Hal 31
[4] Abu Ishaq Ibrohim bin Aly al-Syirozi, Al-Muhadzab, Maktabah wa Mathba’ah Toha Putra Semarang. Juz 1, hal 38
[5]  Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malaybari, Fathu al-Mu’in Hamisy ‘Ianah al-Tholibin, Daru Ihaya’ al-kutub Al-Arobiyyah, hal.79
[6] Ibrohim al-Bajuri, al-Bajuri Hasyiyah Fathu al-Qorib, Daru Ihya al-Kutub al-‘Arobiyah Indonesia, Juz 1 Hal 113
[7] Abu Bakar bin Muhammad Syatho, I’anah al-Tholibin, Daru Ihya al-Kutub al-‘Arobiyah. Juz.4 hal 49
2 Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malaybari, Fathu al-Mu’in Hamisy ‘Ianah al-Tholibin, Daru Ihaya’ al-kutub Al-Arobiyyah, Hal. 335 -339
1 Ibrohim al-Bajuri, al-Bajuri Hasyiyah Fathu al-Qorib, Daru Ihya al-Kutub al-‘Arobiyah Indonesia, Juz 1 Hal 109
2 ibid. Hal . 110
[8]   Ahmad bin Ahmad bin Salamah al-Qulyubi, Hasyiyah al-Mahalli, Daru Ihya al-Kutub al-‘Arobiyah. Hal. 100
[9]   Sulaiman al-Bujairimi, Hasyiyah al-Bujairimi ala al-Khotib, Daru al-Fikr Beirut. 1995. Juz.1 Hal 356

[10] Abdullah bin Husain bin Thohir Ba’Alawi, Sulam Al-Taufiq, alhidayah. Hal. 72

Tidak ada komentar:

Posting Komentar