BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Mempelajari Filsafat
Pendidikan Islam berarti memasuki arena
pemikiran yang mendasar, sistematis, logis, dan menyeluruh (universal) tentang
pendidikan, yang tidak hanya dilatarbelakangi oleh ilmu pengetahuan agama Islam, melainkan menuntut
kita untuk mempelajari ilmu-ilmu lain yang relevan. Melakukan pemikiran
filosofis pada hakikatnya adalah usaha menggerakkan semua potensi
psikologis manusia seperti pikiran, kecerdasan, kemauan, perasaan, ingatan
serta pengamatan panca indera tentang gejala kehidupan,terutama manusia dan
alam sekitarnya sebagai ciptaan Tuhan. Keseluruhan proses pemikiran tersebut
didasari oleh teori-teori dari berbagai disiplin ilmu dan dengan
pengalaman-pengalaman yang mendalam serta luas tentang masalah
kehidupan,kenyataan dalam alam raya,dan dalam dirinya sendiri .
Sebagai hasil pikiran khas bercorak Islam, Filsafat Pendidikan
Islam pada hakekatnya adalah konsep berpikir tentang kependidikan yang
bersumber atau berlandaskan ajaran agama Islam, tentang hakikat kemampuan
manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia
muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam, serta mengapa manusia
harus dibina menjadi hamba Allah yang berkepribadian demikian. Sarana dan upaya
apa saja yang dapat mengantarkan pencapaian cita-cita demikian dan sebagainya.
Bila dilihat dari fungsinya, maka Filsafat Pendidikan Islam
merupakan pemikiran mendasar yang melandasi dan mengarahkan proses pelaksanaan
pendidikan Islam. Oleh karena itu, filsafat ini juga memberikan gambaran
tentang sampai dimana proses tersebut dapat direncanakan dan dalam ruang
lingkup serta dimensi bagaimana proses tersebut dapat dilaksanakan. Masih dalam
aspek fungsionalnya, Filsafat Pendidikan Islam juga bertugas melakukan
kritik-kritik tentang metode-metode yang digunakan dalam proses pendidikan
islam itu serta sekaligus memberikan pengarahan mendasar tentang bagaimana
metode tersebut harus didayagunakan atau diciptakan agar efektif untuk mencapai
tujuan.
Dengan demikian, Filsafat Pendidikan Islam seharusnya bertugas
dalam 3 dimensi, yaitu :
1.
Memberikan
landasan dan sekaligus mengarahkan pada proses pelaksanaan pendidikan yang berdasarkan ajaran islam.
2.
Melakukan
kritik dan koreksi terhadap proses pelaksanaan tersebut.
3.
Melakukan
evaluasi terhadap metode dari proses pendidikan tersebut.
Ketiga dimensi tugas tersebut berjalan diatas landasan berpikir
yang bersifat sistematis, logis, menyeluruh, radikal dan universal, serta
terpadu.
Dalam masyarakat yang sedang mengalami perubahan seperti abad ke-20
ini, kegunaan fungsional dari Filsafat Pendidikan Islam semakin penting, karena
filsafat ini menjadi landasan strategi dan kompas jalannya pendidikan islam.
Kemungkinan-kemungkinan yang menyimpang dari tujuan pendidikan islam akan dapat
diperkecil. Sebaliknya kemampuan dan kedayagunaan pendidikan islam dapat lebih
dimantapkan dan diperbesar. Karena,
gangguan, hambatan serta rintangan yang bersifat mental/spiritual serta teknis
operasional akan dapat diatasi atau disingkirkan dengan lebih mudah.[1]
B.
Rumusan Masalah
1.
Definisi
Filsafat Pendidikan Islam
2.
Obyek
kajian Filsafat Pendidikan Islam
3.
Latar
belakang kelahiran Filsafat Pendidikan Islam
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Definisi Filsafat Pendidikan Islam
Berikut ini dikemukakan pengertian filsafat dalam kaitannya dengan
pendidikan pada umumnya dari beberapa ahli pikir sebagai berikut.
a.
John
dewey memandang pendidikan sebagai suatu proses pembentukan kemampuan dasar
yang fundamental, baik menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan
(emosional), menuju kearah tabiat manusia dan manusia biasa. Dari itu maka
filsafat pendidikan dapat juga diartikan sebagai teori umum pendidikan.[2]
John Dewey juga
memandang bahwa ada hubungan yang erat antara filsafat dengan pendidikan. Oleh
karena itu, tugas filsafat dan pendidikan adalah seiring, yaitu sama-sama
memajukan hidup manusia. Ahli filsafat
lebih memperhatikan tugas yang berkaitan dengan strategi pembentukan
manusia, sedang ahli pendidikan bertugas untuk lebih memperhatikan taktik(cara)
agar strategi itu menjadi terwujud dalam kehidupan sehari-hari melalui proses
keependidikan.
b.
Menurut
Thomson, filsafat berarti “Melihat
seluruh masalah tanpa ada batas atau implikasinya. Ia melihat tujuan-tujuannya,
tidak hanya melihat metodenya atau alat-alatnya serta meneliti dengan seksama
hal-hal yang disebut kemudian dalam kaitan arti
dengan yang terdahulu. Hal itu mengandung arti bahwa perlu bersikap ragu
terhadap sesuatu yang diterima oleh kebanyakan orang sebagai hal yang tak perlu
dipermasalahkan dan perlu menangguhkan dalam pemberian penilaian sampai seluruh
persoalan telah dipikirkan masak-masak. Hal itu memerlukan usaha untuk berpikir
secara konsisten dalam pribadinya (Self consistency) serta tentang hal-hal yang
dipikirkannya itu tidak mengenal kompromi.[3]
Jadi, disini
filsafat dipandang sebagai suatu bentuk pemikiran yang konsekuen, tanpa kenal
kompromi tenteng hal-hal yang harus diungkap secara menyeluruh dan dan bulat.
Keseluruhan dan kebulatan masalah yang dipikirkan oleh filsafat itu tidak lain
adalah untuk menemukan hakikat dari masalah itu. Sedang suatu hakikat tidak
dapat ditetapkan melalui kompromi.
c.
Menurut
Van Cleve Morris “Secara ringkas kita mengatakan bahwa pendidikan adalah studi
filosofis, karena ia pada dasarnya bukan alat social semata untuk mengalihkan
cara hidup secara menyeluruh kepada setiap generasi, tetapi ia juga menjadi
agen (lembaga) yang melayani hati nurani masyarakat dalam perjuangan mencapai
hari depan yanglebih baik.”[4]
Jadi, dilihat dari tugas dan fungsinya, pendidikan harus dapat
menyerap, mengolah, dan menganalisis
serta menjabarkan aspirasi dan idealitas masyarakat. Pendidikan
harus mampu mengalihkan dan menanamkan aspirasi dan idealitas masyarakat itu ke
dalam jiwa generasi penerusnya. Untuk itu pendidik harus menggali dan
memahaminya melalui pemikiran filosofis secara menyeluruh, terutama tentang
problemnya.
d.
Menurut
Brubacher, ahli filsafat pendidikan Amerika, berpendapat bahwa, “Ada pendapat
yang menyatakan tidak ada filsafat pendidikan sama sekali. Menganggap filsafat
yang berpredikat pendidikan, sebenarnya seperti menaruh sebuah kereta didepan
seekor kuda. Filsafat dipandang sebagai bunga, bukan sebagai akar tunggang
pendidikan. Pendapat lainnya menyatakan bahwa filsafat pendidikan itu dapat
berdiri sendiri secara bebas. Ia memperoleh keuntungan karena punya kaitan
dengan filsafat umum, meskipun kaitan demikian tidak penting. Oleh karenanya
ada pendapat yang menyatakan bahwa telah terjadi perpaduan antara pandangan filosofis
dengan filsafat pendidikan. Oleh karenanya, filsafat diartikan sebagai teori pendidikan
dalam segala tahap.[5]
Dengan demikian, jelaslah filsafat pendidikan itu adalah filsafat
yang memikirkan tentang masalah kependidikan. Oleh karena ada kaitan dengan
pendidikan, filsafat diartikan sebagai teori pendidikan dengan segala tingkat.
Sebenarnya, masalah ada atau tidaknya filsafat penddidikan tidak dipersoalkan
lagi, karena masa sekarang ia telah berkembang menjadi suatu disiplin keilmuan
yang ada didalam kubu ilmu pendidikan. Bahkan, ilnu-ilmu pengetahuaan selain
pendidikan pun hampir semuanya memiliki filsafat sendiri. Karena dengan
memahami filsafatnya, orang akan dapat mengembangkan secara konsisten ilmu-ilmu
pengetahuan yang dipelajari. Filsafat mengkaji dan memikirkan tentang hakikat
segala sesuatu secara menyeluruh, sistematis, terpadu, universal, dan radikal,
yang hasilnya menjadi pedoman dan arah dari perkembangan ilmu-ilmu yang
bersangkutan.
Untuk menyelesaikan permasalahan kependidikan, ada 3 disiplin ilmu
yang membantu filsafat ilmu pendidikan yaitu :
1.
Etika
atau teori tentang nilai
2.
Teori
ilmu pengetahuan atau epistimologi
3.
Teori
tentang realitas atau kenyataan dan yang ada dibalik kenyataan, yang disebut
metafisika.
Permasalahan yang diidentifikasikan dalam ketiga disiplin ilmu ini
menjadi materi yang dibahas dalam
filsafat pendidikan islam.
Oleh Karena filsafat pendidikan mempunyai ruang lingkup pemikiran
yang mendasar tentang permesalahan fundamental manusia dihubungkan dengan
ketiga disiplin ilmu diatas, maka menurut W.H, kilpatrick, filsafat pendidikan
mempunyai tiga tugas pokok yaitu :
a.
Memberikan
kritik-kritik terhadap asumsi yang dipegang oleh para pendidik.
b.
Membantu
memperjelas tujuan-tujuan pendidikan.
c.
Melakukan
evaluasi secara kritis tentang berbagai metode pendidikan yang dipergunakan
untuk mencapai tujuan-tujuan kependidikan yang telah dipilih.
Dalam kaitannya dengan filsafat pendidikan islam, pemikiran para
ahli filsafat pendidikan pada umumnya, seperti telah disebutkan diatas, perlu
kita jadikan bahan acuan yang memberikan ruang lingkup pemikiran filsafat
pendidikan islam.
2.
Obyek Kajian Filsafat Pendidikan
Dalam rangka menggali, menyusun, dan mengembangkan pemikiran
kefilsafatan tentang pendidikan terutama pendidikan Islam, maka perlu diikuti
pola dan pemikiran kefilsafatan pada umumnya.
Adapun pola dan sistem pemikiran kefilsafatan sebagai suatu ilmu
adalah:
a) Pemikiran kefilsafatan harus bersifat sistematis, dalam arti cara berfikirnya bersifat logis dan rasional tentang hakikat permasalahan yang dihadapi. Hasil pemikirannya tersusun secara sistematis artinya satu bagian dengan bagian lainnya saling berhubungan.
a) Pemikiran kefilsafatan harus bersifat sistematis, dalam arti cara berfikirnya bersifat logis dan rasional tentang hakikat permasalahan yang dihadapi. Hasil pemikirannya tersusun secara sistematis artinya satu bagian dengan bagian lainnya saling berhubungan.
b) Tinjauan terhadap permasalahan yang dipikirkan bersifat radikal
artinya menyangkut persoalan yang mendasar sampai keakar-akarnya.
c) Ruang lingkup pemikirannya bersifat universal, artinya persoalan-persoalan yang dipikirkan mencakup hal-hal yang menyeluruh dan mengandung generalisasi bagi semua jenis dan tingkat kenyataan yang ada di alam ini, termasuk kehidupan umat manusia, baik pada masa sekarang maupun masa mendatang.
d) Meskipun pemikiran yang dilakukan lebih bersifat spekulatif, artinya pemikiran-pemikiran yang tidak didasari dengan pembuktian-pembuktian empiris atau eksperimental (seperti dalam ilmu alam), akan tetapi mengandung nilai-nilai obyektif. Dimaksud dengan nilai obyektif oleh permasalahannya adalah suatu realitas (kenyataan) yang ada pada obyek yang dipikirkannya.
c) Ruang lingkup pemikirannya bersifat universal, artinya persoalan-persoalan yang dipikirkan mencakup hal-hal yang menyeluruh dan mengandung generalisasi bagi semua jenis dan tingkat kenyataan yang ada di alam ini, termasuk kehidupan umat manusia, baik pada masa sekarang maupun masa mendatang.
d) Meskipun pemikiran yang dilakukan lebih bersifat spekulatif, artinya pemikiran-pemikiran yang tidak didasari dengan pembuktian-pembuktian empiris atau eksperimental (seperti dalam ilmu alam), akan tetapi mengandung nilai-nilai obyektif. Dimaksud dengan nilai obyektif oleh permasalahannya adalah suatu realitas (kenyataan) yang ada pada obyek yang dipikirkannya.
Pola dan sistem berpikir filosofis demikian dilaksanakan dalam
ruang lingkup yang menyangkut bidang-bidang sebagai berikut:
a) Cosmologi yaitu suatu pemikiran dalam permasalahan yang
berhubungan dengan alam semesta, ruang dan waktu, kenyataan hidup manusia
sebagai makhluk ciptaan tuhan, serta proses kejadian kejadian dan perkembangan
hidup manusia di alam nyata dan sebagainya.
b) Ontologi yaitu suatu pemikiran tentang asal-usul kejadian alam
semesta, dari mana dan kearah mana proses kejadiannya. Pemikiran ontologis
akhirnya akan menentukan suatu kekuatan yang menciptakan alam semesta ini,
apakah pencipta itu satu zat (monisme) ataukah dua zat (dualisme) atau banyak
zat (pluralisme). Dan apakah kekuatan penciptaan alam semesta ini bersifat
kebendaan, maka paham ini disebut materialisme.
Secara makro (umum) apa yang menjadi obyek pemikiran filsafat,
yaitu dalam ruang lingkup yang menjangkau permasalahan kehidupan manusia, alam
semesta dan sekitarnya adalah juga obyek pemikiran filsafat pendidikan. Tetapi
secara mikro (khusus) yang menjadi obyek filsafat pendidikan meliputi:
a. Merumuskan secara tegas sifat hakikat pendidikan (The Nature of
Education).
b. Merumuskan sifat hakikat manusia sebagai subyek dan obyek pendidikan (The Nature Of Man).
b. Merumuskan sifat hakikat manusia sebagai subyek dan obyek pendidikan (The Nature Of Man).
c. Merumuskan secara tegas hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan,
agama dan kebudayaan.
d. Merumuskan hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan dan
teori pendidikan.
e. Merumuskan hubungan antara filsafat negara (ideologi), filsafat pendidikan dan politik pendidikan (sistem pendidikan).
e. Merumuskan hubungan antara filsafat negara (ideologi), filsafat pendidikan dan politik pendidikan (sistem pendidikan).
f. Merumuskan sistem nilai norma atau isi moral pendidikan yang
merupakan tujuan pendidikan.
Dengan demikian dari uraian tersebut diproleh suatu kesimpulan
bahwa yang menjadi obyek filsafat pendidikan ialah semua aspek yang berhubungan
dengan upaya manusia untuk mengerti dan memahami hakikat pendidikan itu
sendiri, yang berhungan dengan bagaimana pelaksanaan pendidikan dan bagaimana
tujuan pendidikan itu dapat dicapai seperti yang dicita-citakan.[6]
Objek materia filsafat ialah Semua yang ada, yang pada garis besarnya dapat
dibagi atas tiga persoalan pokok:
a.Hakekat
Tuhan;
b.Hakekat Alam dan
c.Hakekat Manusia .
Objek forma filsafat ialah
usaha mencari keterangan secara radikal (sedalam-dalamnya sampai ke akarnya)
tentang objek materi filsafat .
3.
Latar belakang filsafat Pendidikan Islam
Dalam diri manusia terkandung potensi-potensi kejiwaan yang sangat
menentukan bagi diri dan eksistensi (keberadaan)manusia itu sendiri. Dengan
potensi-potensi kejiwaan yaitu pikiran, perasaan dan kemauan, manusia didalam
dirinya sendiri dan keberadaannya itu mengungguli makhluk lain.
Pikirannya memiliki kecenderungan terhadap nilai kebenaran,
perasaan berkecenderungan terhadap adanya nilai keindahan dan kemauannya selalu
tertuju kepada nilai kebaikan. Dengan kata lain tripotensi kejiwaan manusia itu
mendorong suatu tingkah laku yaitu ingin kebaikan. Nilai kebenaran memberikan
pedoman dalam hal ketetapan tingkah laku sehingga setiap perbuatan selalu
diawali dengan perhitungan perhitungan logis. Sedangkan nilai keindahan
memberikan suasana ketenangan dalam perbuatan, sehingga setiap perbuatan selalu
memiliki daya tarik tertentu.
Pada umumnya ketika orang mengahadapi sesuatu secara
otomatis muncul pertanyaan apakah ini atau itu dengan perasaan heran dan kagum.
Perasan ini selanjutnya mendorong keingin tahuannya untuk mengerti dengan benar
dan kebenaranya sesuatu itu. Kejelasan mengenai sesuatu itu kemudian
menimbulkan penilaian apakah sesuatu itu berguna atau tidak. Dari nilai inilah
penyelidikan dilakukan secara terus-menerus, tidak berhenti pada masalah ke apaan
sesuatu itu. Tetapi lebih dari itu yakni sampai kepada kemengapaan dan
kebagaimanaannya.
Oleh karena itu, bagi manusia pada umumnya filsafat adalah hal yang
biasa. Filsafat akan lahir dan berkembang pada diri setiap orang.pada saat
orang mulai memikirkan dirinya asal mula keberadaan dan tujuan hidup dan
kehidupannya, maka saat itu filsafat pada setiap orang jelas tidak sama. Hal
ini tergantung pada taraf kecenderungan
batin sejauh mana keingin tahuan itu berbatas dan sejauh mana taraf pemikiran
(kemampuan berpikir) seseorang itu dapat dikembangankan.[7]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Filsafat
pendidikan adalah filsafat yang memikirkan tentang masalah kependidikan. Oleh
karena ada kaitan dengan pendidikan, filsafat diartikan sebagai teori
pendidikan dengan segala tingkat. Sebenarnya, masalah ada atau tidaknya
filsafat penddidikan tidak dipersoalkan lagi, karena masa sekarang ia telah
berkembang menjadi suatu disiplin keilmuan yang ada didalam kubu ilmu
pendidikan. Bahkan, ilnu-ilmu pengetahuaan selain pendidikan pun hampir
semuanya memiliki filsafat sendiri. Karena dengan memahami filsafatnya, orang
akan dapat mengembangkan secara konsisten ilmu-ilmu pengetahuan yang
dipelajari.
2.
Objek materia filsafat
ialah Semua yang ada, yang pada garis besarnya dapat dibagi atas tiga persoalan
pokok:
a.Hakekat Tuhan;
b.Hakekat Alam dan
c.Hakekat Manusia .
3. Pada umumnya filsafat adalah hal
yang biasa menurut manusia. Filsafat akan lahir dan berkembang pada diri setiap
orang.pada saat orang mulai memikirkan dirinya asal mula keberadaan dan tujuan
hidup dan kehidupannya, maka saat itu filsafat pada setiap orang jelas tidak
sama. Hal ini tergantung pada taraf kecenderungan batin sejauh mana keingin
tahuan itu berbatas dan sejauh mana taraf pemikiran (kemampuan berpikir)
seseorang itu dapat dikembangankan.
B. Saran
Demikianlah
yang dapat kami sampaikan dalam membahas makalah ini. Semoga dapat menjadi
bahan kajian dan dapat menambah wawasan pemikiran kita. Oleh karena itu, saran
dan kritik yang membangun sangat kami
harapkan dari pembaca yang budiman.
DAFTAR PUSTAKA
Prof.HM.
Arifin, Filsafat Pendidikan Islam Bumi Aksara, Jakarta, 2010
Jalaluddin
dan Idi, Abdullah, filsafat pendidikan, Gaya Media Pratama, Jakarta: 2002
A. Hanafi, Ikhtisar sejarah filsafat barat Jakarta: Pustaka Husna,1981
Dr.Ah.Kahar
Usman,Filsafat Pendidikan, Nora Media Enterprese,2010
Sidi
Gazalba Sistematika Filsafat, Jakarta, Bulan Bintang, 1967
[1] Prof.HM.
Arifin, Filsafat Pendidikan Islam Bumi Aksara, Jakarta, 2010
[2]
John Dewey, Democracy and Education, p. 383
[3]
Sir Godfrey Thomson, A Modern Philosophy of education, p. 11
[4] Van
Cleve Morris, Becoming and Education, p. 57
[5]
John S. Brubacher, Modern Philosophies of education, p. 20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar