REVISI HADITS
MAKANAN HALAL
Termasuk di antara keluasan dan kemudahan
dalam syari’at Islam, Allah -Subhanahu
wa Ta’ala- menghalalkan semua makanan [1] yang mengandung maslahat
dan manfaat, baik yang kembalinya kepada ruh maupun jasad, baik kepada individu
maupun masyarakat. Demikian pula sebaliknya Allah mengharamkan semua makanan
yang memudhorotkan atau yang mudhorotnya lebih besar daripada manfaatnya. Hal
ini tidak lain untuk menjaga kesucian dan kebaikan hati, akal, ruh, dan jasad,
yang mana baik atau buruknya keempat perkara ini sangat ditentukan -setelah
hidayah dari Allah- dengan makanan yang masuk ke dalam tubuh manusia yang
kemudian akan berubah menjadi darah dan
daging sebagai unsur penyusun hati dan jasadnya
Satu hal yang sangat penting untuk diyakini oleh setiap
muslim adalah bahwa apa-apa yang Allah telah halalkan berupa makanan, maka
disitu ada kecukupan bagi mereka (manusia) untuk tidak mengkonsumsi makanan
yang haram. [Muqaddimah Al-Luqothot fima Yubahu wa Yuhramu minal Ath'imah wal
Masyrubat dan muqaddimah Al-Ath'imah karya Al-Fauzan].
1.
Pendahuluan Pertama:
Asal dari semua makanan adalah boleh dan halal sampai ada
dalil yang menyatakan haramnya. Allah -Ta’ala- berfirman:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي
الْأَرْضِ جَمِيعًا
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi
untuk kamu”. (QS. Al-Baqarah: 29)
Ayat ini menunjukkan bahwa segala sesuatu -termasuk makanan-
yang ada di bumi adalah nikmat dari Allah, maka ini menunjukkan bahwa hukum
asalnya adalah halal dan boleh, karena Allah tidaklah memberikan nikmat kecuali
yang halal dan baik.
2.
Pendahuluan Kedua:
Manhaj Islam dalam penghalalan dan pengharaman makanan
adalah “Islam menghalalkan semua makanan yang halal, suci, baik, dan tidak
mengandung mudhorot, demikian pula sebaliknya Islam mengharamkan semua makanan
yang haram, najis atau ternajisi, khobits (jelek), dan yang mengandung mudhorot”.
Manhaj ini ditunjukkan dalam beberapa ayat, di antaranya:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا
فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا
“Hai
sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi”.
(QS. Al-Baqarah: 168)
Dan Allah mensifatkan Nabi Muhammad dalam firman-Nya:
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ
وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
“Dan
menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala
yang buruk”. (QS. Al-A’raf: 157).
3.
Faedahnya
Ada banyak sekali faedah yang
terkandung di dalam makanan halal, untuk itu saya cuma menyebutkan satu, yaitu
:
1.
Adapun ukuran kapan suatu makanan dianggap thoyyib (baik) atau khobits (jelek), maka hal ini dikembalikan kepada
syari’at. Maka apa-apa yang dihalalkan oleh syari’at maka dia adalah thoyyib
dan apa-apa yang diharamkan oleh syari’at maka dia adalah khabits, ini adalah
madzhab Malikiyah dan yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
sebagaimana yang akan nampak dalam ucapan beliau.
Adapun jumhur ulama, mereka mengatakan bahwa yang menjadi
ukuran dalam penentuannya adalah orang-orang Arab, karena kepada merekalah
asalnya diturunkan Al-Qur`an sehingga mereka yang secara langsung diajak bicara
oleh syari’at. Lihat Hasyiyah Ibni ‘Abidin (5/194), Al-Majmu’ (9/25-26), dan
Asy-Syarhul Kabir (11/64).
Hanya saja ini (pendapat jumhur) adalah pendapat yang kurang
kuat, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam menjelaskan makna firman Allah
-Ta’ala-:
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ
قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ
“Mereka
menanyakan kepadamu: “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah:
“Dihalalkan bagimu yang baik-baik.”. (QS. Al-Maidah: 4)
4.
Pendahuluan Ketiga:
Makanan manusia secara umum ada dua jenis:
1.
Selain hewan,
terdiri dari tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, benda-benda (roti, kue dan sejenisnya),
dan yang berupa cairan (air dengan semua bentuknya).
Ibnu
Hubairah -rahimahullah- dalam Al-Ifshoh (2/453) menukil kesepakatan ulama akan
halalnya jenis ini kecuali yang mengandung mudhorot.
2.
Hewan, yang
terdiri dari hewan darat dan hewan air.
Hewan darat juga terbagi menjadi dua;
1.
Jinak, yaitu
semua hewan yang hidup di sekitar manusia dan diberi makan oleh manusia,
seperti: hewan ternak
2.
Liar, yaitu semua hewan yang tinggal
jauh dari manusia dan tidak diberi makan oleh manusia, baik dia buas maupun
tidak. Seperti: singa, kelinci, ayam hutan, dan sejenisnya.
Hukum hewan darat dengan kedua bentuknya adalah halal
kecuali yang diharamkan oleh syari’at[2],
yang rinciannya insya Allah akan datang satu persatu.
Hewan air juga terbagi menjadi 2:
1.
Hewan yang hidup di air yang jika dia keluar darinya akan segera mati, contohnya adalah ikan dan yang
sejenisnya.
2.
Hewan yang hidup di dua alam, seperti buaya dan kepiting [3].
Hukum hewan air bentuk yang pertama, -menurut pendapat yang
paling kuat- adalah halal untuk dimakan secara mutlak. Ini adalah pendapat
Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah, mereka berdalilkan dengan keumuman dalil dalam
masalah ini, di antaranya adalah firman Allah -Ta’ala-:
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ
وَطَعَامُهُ
“Dihalalkan
bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai
makanan yang lezat bagimu” (QS. Al-Ma`idah: 96)
Adapun bangkainya maka ada rincian dalam hukumnya:
1.
Jika dia mati dengan sebab yang jelas, misalnya: terkena lemparan batu, disetrum, dipukul, atau
karena air surut, maka hukumnya adalah halal berdasarkan kesepakatan para
ulama. Lihat Al-Mughny ma’a Asy-Syarhul Kabir (11/195)
2.
Jika dia mati tanpa sebab yang jelas, hanya tiba-tiba diketemukan mengapung di atas air, maka
dalam hukumnya ada perselisihan. Yang kuat adalah pendapat jumhur dari kalangan
Imam Empat kecuali Imam Malik, mereka menyatakan bahwa hukumnya tetap halal.
Mereka berdalilkan dengan keumuman sabda Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi
wasallam-:
هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ, اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ
“Dia
(laut) adalah pensuci airnya dan halal bangkainya”. (HR. Abu Daud,
At-Tirmidzy, An-Nasa`iy, dan Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Imam Al-Bukhary).
Lihat At-Talkhish (1/9)
[Al-Bidayah
(1/345), Asy-Syarhul Kabir (2/115), Mughniyul Muhtaj (4/291), dan Al-Majmu'
(9/32,33), Al-Mughny ma'a Asy-Syarhul Kabir (11/84,195]
Adapun bentuk yang kedua dari hewan air, yaitu hewan yang hidup di dua alam, maka pendapat
yang paling kuat adalah pendapat Asy-Syafi’iyah yang menyatakan bahwa seluruh
hewan yang hidup di dua alam -baik yang masih hidup maupun yang sudah jadi
bangkai- seluruhnya adalah halal kecuali kodok.
Dikecualikan darinya kodok karena ada hadits yang
mengharamkannya [11]. Lihat Al-Majmu’ (9/32-33)
Setelah memahami ketiga pendahuluan di atas, maka berikut
penyebutan satu persatu makanan yang dibahas oleh para ulama beserta hukumnya
masing-masing :
1.
Bangkai
Ada tiga bangkai yang halal untuk dimakan, adalah :
1.
Ikan, karena
dia termasuk hewan air dan telah berlalu penjelasan bahwa semua hewan air
adalah halal bangkainya kecuali kodok.
2.
Belalang.
Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar secara marfu’:
أُحِلَّ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ،
فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ: فَالسَّمَكُ وَالْجَرَادُ, وَأَمَّا الدَّمَانِ: فَالْكَبِدُ
وَالطِّحَالُ
“Dihalalkan
untuk kita dua bangkai dan dua darah. Adapun kedua bangkai itu adalah ikan dan
belalang. Dan adapun kedua darah itu adalah hati dan limfa”. (HR. Ahmad dan
Ibnu Majah)
3.
Janin yang berada dalam perut hewan yang disembelih. Hal ini berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan kecuali An-Nasa`iy, bahwa Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
ذَكَاةُ الْجَنِيْنِ ذَكَاةُ أُمِّهِ
“Penyembelihan
untuk janin adalah penyembelihan induknya”.
Maksudnya
jika hewan yang disembelih sedang hamil, maka janin yang ada dalam perutnya
halal untuk dimakan tanpa harus disembelih ulang.
[Al-Luqothot
fima Yubahu wa Yuhramu minal Ath'imah wal Masyrubat point pertama]
2.
Kuda
Telah berlalu dalam hadits Jabir bahwasanya mereka memakan
kuda saat perang Khaibar. Semakna dengannya ucapan Asma` bintu Abi Bakr
-radhiallahu ‘anhuma-:
نَحَرْنَا فَرَسًا عَلَى عَهْدِ رسول
الله صلى الله عليه وسلم فَأَكَلْنَاه
“Kami
menyembelih kuda di zaman Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- lalu
kamipun memakannya”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
Maka ini adalah sunnah taqririyyah (persetujuan) dari Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wasallam-.
Ini adalah pendapat jumhur ulama dari kalangan
Asy-Syafi’iyyah, Al-Hanabilah, salah satu pendapat dalam madzhab Malikiyah,
serta merupakan pendapat Muhammad ibnul Hasan dan Abu Yusuf dari kalangan
Hanafiyah. Dan ini yang dikuatkan oleh Imam Ath-Thohawy sebagaimana dalam
Fathul Bary (9/650) dan Imam Ibnu Rusyd dalam Al-Bidayah (1/3440).
[Mughniyul
Muhtaj (4/291-291), Al-Muqni' beserta hasyiyahnya (3/528), Al-Bada`i' (5/18),
dan Asy-Syarhus Shoghir (2/185)]
3.
Musang (arab: tsa’lab)
Halal, karena walaupun bertaring hanya saja dia tidak
mempertakuti dan memangsa manusia atau hewan lainnya dengan taringnya dan dia
juga termasuk dari hewan yang baik (arab: thoyyib). Ini merupakan madzhab
Malikiyah, Asy-Syafi’iyah, dan salah satu dari dua riwayat dari Imam Ahmad.
[Mughniyul Muhtaj (4/299), Al-Muqni' (3/528), dan Asy-Syarhul Kabir (11/67)]
4.
Hyena/kucing padang pasir
(arab: Dhib’un)
Pendapat yang paling kuat di kalangan ulama -dan ini
merupakan pendapat Imam Asy-Syafi’iy dan Imam Ahmad- adalah halal dan bolehnya
memakan daging hyena. Hal ini berdasarkan hadits ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah bin
Abi ‘Ammar, beliau berkata, “Saya bertanya kepada Jabir, “apakah hyena
termasuk hewan buruan?”, beliau menjawab, “iya”. Saya bertanya lagi, “apakah
boleh memakannya?”, beliau menjawab, “boleh”. Saya kembali bertanya, “apakah
pembolehan ini telah diucapkan oleh Rasulullah?”, beliau menjawab, “iya”“.
Diriwayatkan oleh Imam Lima [4][3]dan
dishohihkan oleh Al-Bukhary, At-Tirmidzy dan selainnya. Lihat Talkhishul Khabir
(4/152).
Pendapat ini yang dikuatkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam
Al-Fath (9/568) dan Imam Asy-Syaukany.
Adapun jika ada yang menyatakan bahwa hyena adalah termasuk
hewan buas yang bertaring, maka kita jawab bahwa hadits Jabir di atas lebih
khusus daripada hadits yang mengharamkan hewan buas yang bertaring sehingga
hadits yang bersifat khusus lebih didahulukan. Atau dengan kata lain hyena
diperkecualikan dari pengharaman hewan buas yang bertaring. Lihat Nailul Author
(8/127) dan I’lamul Muwaqqi’in (2/117).
[Mughniyul
Muhtaj (4/299) dan Al-Muqni' (3/52)]
5.
Belalang
Telah berlalu dalam hadits Ibnu ‘Umar bahwa bangkai belalang
termasuk yang diperkecualikan dari bangkai yang diharamkan. Hal ini juga
ditunjukkan oleh perkataan Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu-:
غَزَوْنََا مَعَ رسول الله صلى الله
عليه وسلم سَبْعَ غَزَوَاتٍ نَأْكُلُ الْجَرَادَ
“Kami
berperang bersama Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- sebanyak 7
peperangan sedang kami hanya memakan belalang”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim).
[Al-Luqothot point ke-17]
6.
Kadal padang pasir
(arab: dhobbun [5[4]])
Pendapat yang paling kuat yang merupakan madzhab
Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah bahwa dhabb adalah halal dimakan, hal ini
berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tentang biawak:
كُلُوْا وَأَطْعِمُوْا فَإِنَّهُ
حَلاَلٌ
“Makanlah
dan berikanlah makan dengannya (dhabb) karena sesungguhnya dia adalah halal”.
(HR. Al-Bukhary dan Muslim dari hadits Ibnu ‘Umar)
7.
Landak.
Syaikh Al-Fauzan menguatkan pendapat Asy-Syafi’iyyah akan
boleh dan halalnya karena tidak ada satupun dalil yang menyatakan haram dan
khobitsnya. Lihat Al-Majmu’ (9/10).
8.
Yarbu’
Halal. Ini merupakan madzhab Asy-Syafi’iyah dan
Al-Hanabilah, dan merupakan pendapat ‘Urwah, ‘Atho` Al-Khurosany, Abu Tsaur,
dan Ibnul Mundzir, karena asal dari segala sesuatu adalah halal, dan tidak ada
satupun dalil yang menyatakan haramnya yarbu’ ini. Inilah yang dikuatkan oleh
Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny (11/71). [Hasyiyatul Muqni' (3/528) dan
Mughniyul Muhtaj (4/299)]
9.
Kura-kura (arab: salhafat), anjing laut, dan kepiting (arab: sarthon)
Telah berlalu penjelasannya pada pendahuluan yang ketiga
bahwa ketiga hewan ini adalah halal dimakan. [Al-Luqothot point ke-28 s/d 30]
Inilah secara ringkas penyebutan beberapa kaidah dalam
masalah penghalalan makanan beserta contoh-contohnya semoga bisa bermanfaat.
Penyebutan makanan yang halal sampai
point ke-9 di atas bukanlah dimaksudkan untuk membatasi bahwa makanan yang halal
jumlahnya hanya sekitar itu, akan tetapi yang kami inginkan dengannya hanyalah menjelaskan kaidah umum dalam masalah ini yang bisa dijadikan sebagai tolak ukur
dalam menghukumi hewan-hewan lain yang tidak sempat kami sebutkan.
Adapun makanan yang halal seperti hewan, maka hukumnya telah kami
terangkan secara global dalam pendahuluan-pendahuluan di awal pembahasan,
yang mana pendahuluan-pendahuluan ini adalah semacam kaidah untuk menghukumi
semuanya,
Waallahu ‘alamu bisshawab
[1] Arab:tho’am, kata yang mencakup di dalamnya makanan dan
minuman. Lihat Tahdzibul Asma’ (2/186)
3 Lihat
pembagian ini dalam Tafsir Al-Qurthuby 6/318 dan Al-Majmu’ 9/31-32
Tidak ada komentar:
Posting Komentar