HADITS TENTANG BACAAN AL FATIHAH DALAM SHOLAT
Revisi
Disusun
Guna Memenuhi Tugas Akhir Semester
Mata
Kuliah : Hadits II (Ahkam)
Dosen
Pengampu : Moh. Dzofir, M. Ag
Oleh :
Siti Masrukhah
NIM : 111648
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
KUDUS
JURUSAN TARBIYAH/ PAI
2014
HADITS TENTANG BACAAN AL FATIHAH DALAM SHOLAT
1.
Teks Hadits
حدثنا علي بن عبد الله قال: حدثنا سفيان قال: حدثنا الزهري، عن محمود بن
الربيع، عن عبادة بن الصامت: أن الرسول الله صلى الله عليه وسلم قال:
(لا صلاة لمن لم يقرأ
بفاتحة الكتاب). رواه البخاري[1]
2.
Terjemah Hadits
Telah diceritakan Ali bin Abdillah,
dai berkata telah diceritakan kepada kami, Sufyan berkata telah diceritakan
Zuhri kepada kami dari Mahmud bin Rabi’ dari Ubadah bin Shamit sesungguhnya
Rasulullah saw bersabda “Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca
fatihatil kitab” (HR. Bukhori)
3.
Takhrij Hadits
Dari jalur Imam Bukhori RA. yaitu
Bukhori – Ali bin Abdillah – Sufyan – Zuhri – Mahmud bin Rabi’ ‘Ubadah bin
Shamit – Rasulullah saw.[2]
4.
Fiqhul Hadits
a. Hukum
Membaca Al Fatihah
Jumhur ulama menyatakan
membaca Al Fatihah adalah termasuk rukun shalat. Tidak sah shalat tanpa membaca
Al Fatihah. Diantara dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
لا صلاةَ لمن لم يقرأْ
بفاتحةِ الكتابِ
“tidak ada shalat
bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab” (HR. Al Bukhari 756,
Muslim 394)
didukung juga sabda Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam:
كلُّ صلاةٍ لا يُقرَأُ
فيها بأمِّ الكتابِ ، فَهيَ خِداجٌ ، فَهيَ خِداجٌ
“setiap shalat yang di dalamnya tidak dibaca
Faatihatul Kitaab, maka ia cacat, maka ia cacat” (HR. Ibnu Majah 693,
dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).
Jadi, membaca Al Fatihah adalah rukun shalat
Adapun Abu Hanifah, beliau berpendapat bahwa
membaca Al Fatihah itu bukan rukun shalat, tidak wajib membacanya. Beliau
berdalil dengan ayat:
فَاقْرَءُوا مَا
تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ
“maka bacalah ayat-ayat yang mudah dari Al
Qur’an” (QS. Al Muzammil: 20)
Jawabannya, kata فَاقْرَءُو (bacalah) di sini adalah
lafadz muthlaq, sedangkan terdapat qayd-nya dalam hadits-hadits
Nabi yang sudah disebutkan bahwa di sana dinyatakan bacaan Al Qur’an yang wajib
di baca dalam shalat adalah Al Fatihah. Sesuai kaidah ushul fiqh, yajibu
taqyidul muthlaq bil muqayyad, wajib membawa makna lafadz yang muthlaq
kepada yang muqayyad.
Al Fatihah wajib di baca pada setiap raka’at.
Berdasarkan penjelasan Abu Hurairah radhiallahu’anhu berikut:
في كلِّ صلاةٍ قراءةٌ ، فما أَسْمَعَنَا النبيُّ صلى الله عليه وسلم
أَسْمَعْناكم ، وما أخفى منا أَخْفَيْناه منكم ، ومَن قرَأَ بأمِّ الكتابِ فقد
أَجْزَأَتْ عنه ، ومَن زادَ فهو أفضلُ
“dalam setiap raka’at ada bacaan (Al
Fatihah). Bacaan yang diperdengarkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
kepada kami, telah kami perdengarkan kepada kalian. Bacaan yang Rasulullah
lirihkan telah kami contohkan kepada kalian untuk dilirihkan. Barangsiapa yang
membaca Ummul Kitab (Al Fatihah) maka itu mencukupinya. Barangsiapa yang
menambah bacaan lain, itu lebih afdhal” (HR. Muslim)[3]
Syaikh Shalih Al Fauzan mengatakan: “membaca Al
Fatihah adalah rukun di setiap rakaat, dan telah shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam bahwa beliau membacanya di setiap raka’at”.[4]
b. Hukum
Membaca Al Fatihah Bagi Makmum
Apakah status rukun dan hukum wajib membaca Al
Fatihah itu berlaku untuk semua orang yang shalat? Para ulama sepakat wajibnya
membaca Al Fatihah bagi imam dan orang yang shalat sendirian (munfarid).
Namun bagi makmum, hukumnya di perselisihkan oleh para ulama. Syaikh Muhammad
bin Shalih Al Utsaimin dalam Majmu’ Fatawa war Rasail mengatakan: “para ulama berbeda pendapat
mengenai hukum membaca Al Fatihah menjadi beberapa pendapat[5]:
- Pendapat pertama: Al Fatihah tidak wajib baik bagi imam, maupun makmum, ataupun munfarid. Baik shalat sirriyyah1 maupun jahriyyah2. Yang wajib adalah membaca Al Qur’an yang mudah dibaca. Yang berpendapat demikian berdalil dengan ayat (yang artinya) “maka bacalah ayat-ayat yang mudah dari Al Qur’an” (QS. Al Muzammil: 20) dan juga dengan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam kepada seseorang: ‘bacalah apa yang mudah bagimu dari Al Qur’an‘” (HR. Al Bukhari 757, Muslim 397).
- Pendapat kedua: membaca Al Fatihah adalah rukun bagi imam, makmum, maupun munfarid. Baik shalat sirriyah maupun jahriyyah. Juga bagi orang yang ikut shalat jama’ah sejak awal.
- Pendapat ketiga: membaca Al Fatihah itu rukun bagi imam dan munfarid, namun tidak wajib bagi makmum secara mutlak, baik dalam shalat sirriyyah maupun jahriyyah.
- Pendapat keempat: membaca Al Fatihah adalah rukun bagi imam dan munfarid dalam shalat sirriyyah dan jahriyyah. Namun rukun bagi makmum dalam shalat sirriyyah saja, jahriyyah tidak.”
Tarjih Pendapat
Syaikh Al Albani
memaparkan masalah ini dengan penjelasan yang bagus.[6]
Beliau mengatakan, “awalnya, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
membolehkan makmum untuk membaca Al Fatihah di belakang imam dalam shalat jahriyyah.
Suatu ketika saat mereka shalat subuh, para sahabat membaca ayat Al Qur’an
dalam shalat hingga mereka merasa kesulitan. Ketika selesai shalat subuh Nabi
bersabda:
لعلَّكم تقرؤُون خلفَ إمامِكم ، قلنا: نعم يا رسولَ اللهِ ، قال :
فلا تفعلوا إلَّا بفاتحةِ الكتابِ فإنَّه لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بها
“Mungkin diantara kalian ada yang membaca Al
Qu’ran dibelakangku? Ubadah bin Shamit menjawab: iya, saya wahai Rasulullah.
Nabi bersabda: jangan kau lakukan hal itu, kecuali Al Fatihah. Karena tidak ada
shalat bagi orang yang tidak membacanya“ (HR. Al Bukhari dalam Juz-nya,
Abu Daud, Ahmad, dihasankan oleh At Tirmidzi dan Ad Daruquthni)
Namun kemudian Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam melarang mereka membaca semua ayat Al Qur’an dalam shalat jahriyyah.
Hal ini sebagaimana suatu ketika mereka selesai mengerjakan shalat jahriyyah
(dalam suatu riwayat disebutkan itu adalah shalat shubuh), Nabi bersabda:
هل قرأَ معي منكم أحد آنفًا ؟ فقالَ رجلٌ : نعم أَنَا يا رسولَ
اللَّه . قالَ : إنِّي أقولُ : ما لي أنازعُ ؟ قالَ أبو هريرة : فانتهى النَّاسُ عنِ
القراءةِ مَعَ رسولِ اللهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ فيما جهرَ فيهِ رسولُ
اللَّهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ بالقراءةِ حينَ سمعوا ذلكَ مِن رسولِ اللَّهِ
صلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ ، وقرَؤوا فِي أنفسِهمْ سرًّا فيما لم يجهَرْ فيهِ
الإمامُ
“Apakah diantara kalian ada yang membaca Al
Qur’an bersamaku dalam shalat barusan? Seorang sahabat berkata: iya, saya wahai
Rasulullah. Nabi bersabda: saya bertanya kepadamu, mengapa bacaanku diselingi?”
Lalu Abu Hurairah
mengatakan: “semenjak itu orang-orang berhenti membaca Al Qur’an bersama Nabi Shallallahu’alahi
Wasallam dalam shalat yang beliau Shallallahu’alaihi Wasallam mengeraskan
bacaannya, yaitu ketika para makmum mendengarkan bacaan dari Nabi tersebut. Dan
mereka juga membaca secara sirr (samar) pada shalat yang imam tidak
mengeraskan bacaannya”” (HR Malik, Al Humaidi, Al Bukhari dalam Juz-nya,
Abu Daud, Ahmad, dan Al Mahamili, dihasankan oleh At Tirmidzi dan dishahihkan
oleh Abu Hatim Ar Razi dan Ibnu Hibban dan Ibnul Qayyim)
Beliau Shallallahu’alahi
Wasallam menjadikan sikap diam mendengarkan bacaan imam sebagai bentuk i’timam
yang sempurna terhadap imam. Beliau Shallallahu’alahi Wasallam bersabda:
إنما جُعل الإمامُ
ليؤتمَّ به ، فلا تَختلفوا عليه ، فإذا كبَّر فكبِّروا ، وإذا قرَأ فأنصِتوا
“Sesungguhnya dijadikan seorang imam dalam
shalat adalah untuk diikuti, maka jangan menyelisihinya. Jika ia bertakbir,
maka bertakbirlah, jika ia membaca ayat, maka diamlah” (HR. Ibnu Abi
Syaibah, Abu Daud, Muslim, Abu ‘Awanah, Ar Ruyani dalam Musnad-nya)
Sebagaimana Nabi Shallallahu’alahi
Wasallam juga menganggap istima‘ (mendengarkan bacaan imam) itu
sudah mencukupi tanpa perlu membaca. Sebagaimana sabdanya:
مَن كان له إمامٌ فقراءةُ
الإمامِ له قراءةٌ
“Barangsiapa yang memiliki imam, maka bacaan
imam itu adalah bacaan baginya” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Ad Daruquthni, Ibnu
Majah, Ath Thahawi, Ahmad, dari jalan yang banyak secara musnad maupun mursal.
Ibnu Taimiyah menganggap hadits ini kuat dalam kitab Al Furu‘ karya Ibnu
‘Abdil Hadi, dan hadits ini dishahihkan sebagian jalannya oleh Al Bushiri)”
Maka, pendapat ke empat adalah yang nampaknya
lebih kuat. Membaca Al Fatihah adalah rukun bagi imam dan munfarid dalam
shalat sirriyyah dan jahriyyah, namun rukun bagi makmum dalam
shalat sirriyyah saja, jahriyyah tidak. Dalam shalat jahriyyah,
makmum cukup diam mendengarkan bacaan imam.
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah mengatakan: “dalam masalah apakah makmum membaca
bacaan shalat (ketika imam sedang membaca secara jahr), pendapat yang
paling pertengahan adalah: jika makmum mendengar imam sedang membaca (secara jahr),
maka ia wajib mendengarkan dan diam. Makmum tidak membaca Al Fatihah ataupun
bacaan lain. Jika makmum tidak mendengarkan imam membaca (karena dibaca secara sirr),
maka ia wajib membaca Al Fatihah dan bacaan tambahan lainnya. Inilah pendapat
jumhur salaf dan khalaf. Ini juga merupakan pendapat Imam Malik dan
murid-muridnya, Imam Ahmad bin Hambal dan mayoritas muridnya, juga salah satu
pendapat dari Imam Asy Syafi’i yang dikuatkan oleh sebagian muhaqqiq
dari kalangan murid-murid beliau, juga pendapat Muhammad bin Al Hasan serta
murid-murid Imam Abu Hanifah yang lainnya”.[7]
Namun perlu kami
tekankan bahwa ini adalah masalah khilafiyah ijtihadiyyah yang
seharusnya kita mengormati pendapat yang menyatakan bahwa makmum tetap wajib
membaca Al Fatihah dalam semua shalat. Adapun pendapat yang menyatakan bahwa
membaca Al Fatihah hukumnya tidak wajib sama sekali secara mutlak atau bahkan
makruh bagi makmum, maka ini pendapat yang bertentangan dengan banyak dalil
yang ada, sehingga tidak bisa kita toleransi.
DAFTAR PUSTAKA
Shalih
bin Fauzan al-Fauzan, al-Mulakhash al-Fiqh, cetakan kedua, tahun 1426
H, Jam’iyah Ihya` at-Turats al-Islami.
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Majmu’ Fatawa War Rasail, , Asy
Syamilah
Al-Asqolany.
Ibn Hajar. TT. Bulughul Marom, Surabaya: Dar Al-Ilmi
Al-Bukhari,
Abi Abdillah Muhammad bin Isma’il. TT. Matan Bukhari Bihasiyati Sanady. Indonesia:
Haramain
Al-Qusyairi.
Abi Husain Muslim Bin Hajjaj Ibn Muslim. TT. Jami’us Shahih Juz 2. Beirut:
Dar Al-Fikr
Fauzi.
Nor Hasanuddin H.M. 2010. Terjemah Ibanatul Ahkam. Kuala Lumpur:
Al-Hidayah Publication
Tidak ada komentar:
Posting Komentar