PEMBAGIAN
LAFADZ
DARI
SEGI PEMAKAIAN ARTI
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Kelompok
Mata
Kuliah : Ushul Fiqh II
Dosen Pengampu : M. Agus Yusrun Nafi’, M.Si.
Disusun Oleh:
Ifa
Anasari (111633)
Mahfudz fauzi
(111634)
Fauziyatul wafiroh
(111653)
PROGAM STUDI S1 PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TAHUN 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Di dalam ilmu ushul fiqh ada beberapa bab yang dapat di ambil
pengertiannya seperti lafadz, jika dalam nash syara’ terdapat lafadz yang ‘amm.
Dan tidak ada dalil yang mengkhususkannya, maka ia harus di pahami menurut
keumumannya dan hukumnya di ditetapkan untuk semua kesatuannya.
Jika ada dalil yang mengkhususkannya maka wajib di pahami
menurut apa yang tersisa menurut kesatuannya setelah di khususkan dan hukumnya
di tetapkan untuk ke -satuannya secara dugaan, bukan pasti.
Di dalam makalah ini akan di jelaskan pembagian lafadz dari
segi pemaknaannya, selain itu pengertian hakikat, sharih serta kinayahnya akan
di jabarkan.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Ada berapa
pembagian lafadz
dari segi pemakaian arti itu?
2.
Apakah
pengertian dan penjelasan lafadz?
C. TUJUAN
Dari
berbagai uraian tersebut juga dapat memiliki tujuan yaitu agar dapat mengetahui
macam
– macam lafadz dan penjelasannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Lafadz
Lafadz
menurut bahasa artinya merata, atau yang umum. Sedangkan menurut
istilah ialah lafadz yang meliputi pengertian umum, terhadap semua yang
termasuk dalam pengertian lafadz itu.
Dengan pengertian lain, lafadz adalah kata yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas.
Dengan pengertian lain, lafadz adalah kata yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas.
Lafadz terbagi menjadi dua, yaitu
lafadz umum dan lafadz khusus.
1. Lafadz umum
Lafadz
umum sebagaimana di sebutkan dalam buku ushul fiqh yang di karang oleh Syaiful
Hadi yaitu lafadz yang mengikuti pengertian umum lebih dari satu tampa terbatas
dan disebut dengan sekaligus, seperti lafadz al insan yang berarti manusia.
Dan perkataan ini menjadi contoh yang sangat jelas yang meliputi pengertian
umum, jadi semua jenis manusia masuk dalam lafadz ini.[1]
Lafadz juga dapat didefinisikan
sebagai pernyataan verbal tentang suatu gagasan. Lafadz adalah bunyi yang
diartikulasikan dan befungsi sebagai simbol atau tanda gagasan. Lafadz biasanya
bersifat konvensional dan dapat dipahami sebagai sebuah gagasan atau segugus
gagasan yang dinyatakan dalam wujud kata-kata. Kita membentuk gagasan atas
dasar pemahaman kita terhadap benda-benmda yang kita ketahui melalui daya
tangkap panca indera. Gagasan ini selanjutnya direalisasikan dalam wujud
kata-kata atau lafadz[2].
v Sedangkan lafadz umum
di bagi menjadi empat yaitu Jama’, Lafadz Mufrod, Isim mufham, dan Isim Nakiroh.
a) Jama’
adalah lafadz yang menunjukan makna lebih dari dua, Kata jama’ (Plural) yang
disertai alif dan lam di awalnya. Seperti:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ
أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ
Artinya: “Para ibu (hendaklah) menyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuannya”. (Al-Baqarah:233)
Kata al-walidat dalam ayat tersebut bersifat umum yang mencakup setiap yang bernama atau disebut ibu.
Artinya: “Para ibu (hendaklah) menyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuannya”. (Al-Baqarah:233)
Kata al-walidat dalam ayat tersebut bersifat umum yang mencakup setiap yang bernama atau disebut ibu.
b) Lafadz mufrod ialah Kata benda
tunggal yang di ma’rifatkan dengan alif-lam.
Contoh:
Contoh:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ
وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: “Padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Al_baqarah: 27)
Lafadz al-bai’
(jual beli) dan al-riba adalah kata benda yang di ma’rifatkan dengan alif lam.
Oleh karena itu, keduanya adalah lafadz umum yang mencakup semua satuan-satuan
yang dapat dimasukkan kedalamnya.
c) Isim mufham ialah isim yang
menunjukan arti yang masih samar, isim ini terbagi menjadi lima diantaranya
1.
Maa
2.
Man
3.
Ayya
4.
Aina
5.
Mataa
d) Isim nakiroh dalam susunan kalimat
naif seperti contoh kata لَا جُنَاحَ dalam ayat berikut:
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ
تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آَتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
“Dan tidak ada dosa atas kamu
mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya”.
(Al-Mumtahanah:10).
2. Lafadz khusus
Khas ialah
lafadz yang menunjukkan arti yang tertentu, tidak meliputi arti umum, dengan
kata lain, khas itu kebalikan dari `âm ( umum ). Menurut istilah, definisi khas
adalah:
“Al-khas adalah lafadh yang
diciptakan untuk menunjukkan pada perseorangan tertentu, seperti Muhammad. Atau
menunjukkan satu jenis, seperti lelaki. Atau menunjukkan beberapa satuan
terbatas, seperti tiga belas, seratus, sebuah kaum, sebuah masyarakat,
sekumpulan, sekelompok, dan lafadh-lafadh lain yang menunjukkan bilangan
beberapa satuan, tetapi tidak mencakup semua satuan-satuan itu”.
Lafadz yang terdapat pada nash
syara’ menunjukkan suatu makna tertentu dengan pasti selama tidak ada dalil
yang mengubah maknanya itu. Menurut Hanafiyah, “sesungguhnya lafaz khas
sepanjang telah memiliki arti secara tersendiri, berarti ia sudah jelas dan
tegas dengan ketentuan lafazh-lafazh itu sendiri”.
Dalalah
khas menunjuk kepada dalalah qath’iyyah terhadap makna khusus yang dimaksud dan
hukum yang ditunjukkannya adalah qath’iy, bukan dzanniy, selama tidak ada dalil
yang memalingkannya kepada makna yang lain. Misalnya, firman Allah:
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ
ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ
Tetapi jika ia tidak menemukan
binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa
haji..(Al-Baqaarah :196)
B.
Macam-Macam Lafadz Dari Segi
Pemakaian Arti
a.
Hakikat
Hakikat
ialah lafadz yang di gunakan pada asal peletakannya, Seperti : Singa (أسد) untuk
suatu hewan yang buas. Maka keluar dari perkataan kami : (المستعمل) “yang
digunakan” : yang tidak digunakan, maka tidak dinamakan hakikat dan majaz. Dan
keluar dari perkataan kami : (فيما وضع له) “ pada asal peletakannya” :
Majaz dan hakikat
terbagi menjadi tiga macam yaitu:
1. Hakikat lughowiyyah adalah :
اللفظ المستعمل فيما وضع له في اللغة
“Lafadz yang digunakan pada asal
peletakannya secara bahasa.”
Maka keluar dari perkataan kami : (في اللغة) “secara bahasa” : hakikat syar’iyyah dan hakikat ‘urfiyyah.
Maka keluar dari perkataan kami : (في اللغة) “secara bahasa” : hakikat syar’iyyah dan hakikat ‘urfiyyah.
Contohnya : sholat, maka sesungguhnya
hakikatnya secara bahasa adalah doa, maka dibawa pada makna tersebut menurut
perkataan ahli bahasa.
2. Hakikat syar’iyyah adalah :
اللفظ المستعمل فيما وضع له في الشرع
“Lafadz yang digunakan pada asal
peletakannya secara syar’i.”
Maka keluar dari perkataan kami : (في الشرع) “secara syar’i” : hakikat lughowiyyah dan hakikat ‘urfiyyah.
Maka keluar dari perkataan kami : (في الشرع) “secara syar’i” : hakikat lughowiyyah dan hakikat ‘urfiyyah.
Contohnya : sholat, maka
sesungguhnya hakikatnya secara syar’i adalah perkataan dan perbuatan yang sudah
diketahui yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, maka dibawa
pada makna tersebut menurut perkataan ahli syar’i.
3. Hakikat urfiyyah adalah :
اللفظ المستعمل فيما وضع له في العرف
“Lafadz yang digunakan pada asal
peletakannya secara ‘urf (adat/kebiasaan).”
Maka keluar dari perkataan kami : (في العرف) “secara ‘urf” : hakikat lughowiyyah dan hakikat syar’iyyah.
Maka keluar dari perkataan kami : (في العرف) “secara ‘urf” : hakikat lughowiyyah dan hakikat syar’iyyah.
Contohnya : Ad-Dabbah (الدابة),
maka sesungguhnya hakikatnya secara ‘urf adalah hewan yang mempunyai empat
kaki, maka dibawa pada makna tersebut menurut perkataan ahli ‘urf.
Dan manfaat dari mengetahui
pembagian hakikat menjadi tiga macam adalah : Agar kita membawa setiap lafadz
pada makna hakikat dalam tempat yang semestinya sesuai dengan penggunaannya.
Maka dalam penggunaan ahli bahasa lafadz dibawa kepada hakikat lughowiyyah dan
dalam penggunaan syar’i dibawa kepada hakikat syar’iyyah dan dalam penggunaan
ahli ‘urf dibawa kepada hakikat ‘urfiyyah.
b.
Majas
اللفظ
المستعمل في غير ما وضع له
“Lafadz yang digunakan bukan pada
asal peletakannya.”Seperti : singa untuk laki-laki yang pemberani.
Maka keluar dari perkataan kami (المستعمل)
“yang digunakan” yang tidak digunakan, Maka tidak dinamakan hakikat dan majaz.
Dan keluar dari perkataan kami (في غير ما وضع له) “bukan pada asal peletakannya”
Hakikat.Dan tidak boleh membawa lafadz pada makna majaznya kecuali dengan dalil
yang shohih yang menghalangi lafadz tersebut dari maksud yang hakiki, dan ini
yang dinamakan dalam ilmu bayan sebagai qorinah (penguat).
Dan disyaratkan benarnya penggunaan
lafadz pada majaznya : Adanya kesatuan antara makna secara hakiki dengan makna
secara majazi agar benarnya pengungkapannya, dan ini yang dinamakan dalam ilmu
bayan sebagai ‘Alaqoh (hubungan/ penyesuaian), dan ‘Alaqoh bisa berupa
penyerupaan atau yang selainnya.
Maka jika majaz tersebut dengan
penyerupaan, dinamakan majaz Isti’arah (استعارة), seperti majaz pada lafadz singa untuk
seorang laki-laki yang pemberani.
Dan jika bukan dengan penyerupaan,
dinamakan majaz Mursal (مجاز مرسل) jika majaznya dalam kata, dan dinamakan majaz ‘Aqli (مجاز عقلي)
jika majaznya dalam penyandarannya.
Contohnya dari majaz mursal : kamu
mengatakan : (رعينا المطر) “Kami memelihara hujan”, maka kata (المطر) “hujan” merupakan majaz dari rumput (العشب).
Maka majaz ini adalah pada kata.
Dan contohnya dari majaz ‘Aqli
: Kamu mengatakan : (أنبت المطر العشب) “Hujan itu menumbuhkan rumput”, maka
kata-kata tersebut seluruhnya menunjukkan hakikat maknanya, tetapi penyandaran
menumbuhkan pada hujan adalah majaz, karena yang menumbuhkan secara hakikat adalah
Allah ta’ala, maka majaz ini adalah dalam penyandarannya.
Dan diantara majaz mursal adalah :
Majaz dalam hal penambahan dan majaz dalam hal penghapusan.
Mereka memberi permisalan majaz
dalam hal penambahan dengan firman Allah ta’ala :
ليس كمثله شئ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa
dengan-Nya” (QS. Asy-Syuro : 11)
Maka mereka mengatakan :
Sesungguhnya (الكاف) “huruf kaaf” adalah tambahan untuk penguatan peniadaan
permisalan dari Allah ta’ala.
Contoh dari majaz dengan penghapusan
adalah firman Allah ta’ala :
وسئل القرية
“Bertanyalah kepada desa” (QS. Yusuf
: 82)
Maksudnya : (واسأل أهل القرية)
“bertanyalah pada penduduk desa”, maka penghapusan kata (أهل) “penduduk” adalah
suatu majaz, dan bagi majaz ada macam yang sangat banyak yang disebutkan dalam
ilmu bayan.
Dan hanya saja disebutkan sedikit
tentang hakikat dan majaz dalam ushul fiqh karena penunjukan lafadz bisa jadi
berupa hakikat dan bisa jadi berupa majaz maka dibutuhkan untuk mengetahui
keduanya dan hukumnya. Wallahu A’lam[3].
c.
Sharih
Sharih adalah lafadz yang tidak
memerlukan penjelasan. menurut abdul azhim bin badawi al-khalafi, bahwa yang
dimaksud dengan sharih adalah suatu kalimat yang langsung dapat dipahami
tatkala diucapkan dan tidak mengandung makna lain[4].
Jadi bahwa lafal sharih adalah talak
yang diucapkan dengan tegas yang perkataan tersebut bermaksud dan bertujuan
menjatuhkan talak seperti kata talak atau cerai.
Adapun Contoh lafaz yang Sharih
diantaranya:
a) Aku ceraikan kau dengan talak satu.
b) Aku telah melepaskan (menjatuhkan)
talak untuk engkau.
c) Hari ini aku ceraikan kau
Jika suami melafazkan talak dengan
mengunakan kalimah yang “Sharih” seumpama di atas ini, maka talak dikira jatuh
walaupun tanpa niat. Hal ini, senada dengan pendapat imam Syafi’i dan Abu
Hanifah, beliau berkata bahwa talak sharih tidak membutuhkan niat.
d.
Kinayah
Kinayah adalah lafadz yang
memerlukan penjelasan. menurut Jumhur Ulama kinayah adalah suatu ucapan
talak yang diucapkan dengan kata-kata yang tidak jelas atau melalui sindiran.
Kata-kata tersebut dapat dikatakan lain, seperti ucapan suami “pulanglah kamu”.
Sementara Kinayah pula membawa maksud kalimah yang secara tidak langsung yang
mempunyai dua atau lebih pengertiannya. Umpamanya jika suami melafadzkan kepada
isterinya perkataan[5],
Sebagai contah kinayah sebagai
berikut:
a. Kau boleh pulang ke rumah orang tua
mu.
b. Pergilah engkau dari sini, ke mana
engkau suka.
c. Kita berdua sudah tidak ada hubungan
lagi.
Mengenai
talak kinayah ini, para ulama tidak terjadi perbedaan pendapat mengenai akibat
hukumnya, diantaranya pendapat-pendapat yang diungkapkan para ulama seperti
halnya Mazhab Hanbali mereka berpendapat bahwa talak dengan ucapan kinayah
sekiranya suami melafazkan kepada isterinya dengan niat menceraikannya maka
jatuh talak. Selain itu Jumhur Ulama berpendapat bahwa ucapan talak kinayah
akan jatuh talaknya apabila dengan adanya niat.
Talak
dengan cara kinayah tidak jatuh kecuali dengan niat seperti yang diterangkan di
atas, kecuali apabila seorang suami dengan tegas mentalak tetapi ia berkata:
saya tidak berniat dan tidak bermaksud mentalak, maka talaknya tetap jatuh.
Apabila seorang menjatuhkan talak secara kinayah tanpa maksud mentalak maka
tidak jatuh talaknya, karena kinayah memiliki arti ganda (makna talak dan
selain talak), dan yang dapat membedakanya hanya niat dan tujuan.
Ibnu
Taimiyah R.A berpendapat bahwa talak tidak berlaku kecuali dia menghendakinya.
Beliau berargumen bahwa amal perbuatan dalam Islam tidak dinilai kecuali dengan
adanya niat misalkan seseorang mengerjakan aktivitas shalat dari takbir sampai
salam tetapi tidak meniatkan untuk shalat, maka shalatnya tidak sah. Contoh
yang lain, seseorang melakukan sahur dan makan ketika maghrib, tetapi dia tidak
niat untuk syiam (puasa), maka amal dia ini tidak dianggap sebagai amalan
syiam. Orang duduk di masjid tanpa niat i’tikaf maka dia tidak bisa disebut
melakukan ibadah i’tikaf.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Jadi Lafadz bisa di simpulkan menurut bahasa artinya merata,
atau yang umum. Sedangkan menurut istilah ialah lafadz yang meliputi pengertian
umum, terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafadh
itu.
Ø Hakikat ialah lafadz yang di gunakan
pada asal peletakannya, Seperti : Singa (أسد) untuk suatu hewan yang buas. Maka keluar
dari perkataan kami : (المستعمل) “yang digunakan” : yang tidak digunakan, maka tidak dinamakan
hakikat dan majaz. Dan keluar dari perkataan kami : (فيما
وضع له) “ pada asal
peletakannya”
Ø Majas ialah “Lafadz yang digunakan
bukan pada asal peletakannya.”Seperti : singa untuk laki-laki yang pemberani.
Maka keluar dari perkataan kami : (المستعمل)
“yang digunakan” : yang tidak digunakan, maka tidak dinamakan hakikat dan
majaz. Dan keluar dari perkataan kami : (في غير ما وضع
له) “bukan pada asal
peletakannya”
Ø Sharih adalah lafadz yang tidak
memerlukan penjelasan. menurut abdul azhim bin badawi al-khalafi, bahwa yang
dimaksud dengan sharih adalah suatu kalimat yang langsung dapat dipahami
tatkala diucapkan dan tidak mengandung makna lain.
Ø
Kinayah adalah lafadz yang memerlukan penjelasan. Sedangkan menurut
Jumhur Ulama kinayah adalah suatu ucapan talak yang diucapkan dengan
kata-kata yang tidak jelas atau melalui sindiran. Kata-kata tersebut dapat
dikatakan lain, seperti ucapan suami “pulanglah kamu”. Sementara Kinayah pula
membawa maksud kalimah yang secara tidak langsung yang mempunyai dua atau lebih
pengertiannya.
B. SARAN
Kita
sebagai manusia
yang beragama islam tentunya harus mengetahui tentang pengertian hokum-hukum
yang ada di ushul fiqih dan bisa mengamalkannya.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Syaiful Hadi, Ushul
Fiqh, hal.43
2.
Azarasidi, Al-
Kulliyat dan Al- Khamsi, hal. 7
3.
Tholib, Hakikat dan Majas, hal. 8
4. Bakry, Nazar, Fiqih dan Ushul Fiqih, (Cet. IV,
Jakarta: PT. RajaGravindo Persada, 2003, hal. 153).
5. Syarifudin, Amir, Ushul
Fiqh, jilid 2, (Cet. V,Jakarta : Kencana, 2008, hal.321).
TAMBAHAN DI BAWAH
Bahasa arab itu
ternyata sangat unik dalam arti luar biasa tidak seperti bahasa – bahasa lain
misalnya Bahasa Inggris, Prancis, apalagi Bahasa Indonesia.
Dengan ini Bahasa Arab telah diakui oleh
PBB sebagai bahasa internasional oleh karena itu Bahasa Arab dapat digunakan
dalam berbagai urusan yang resmi misalnya politik, perdagangan ekonomi dalam
pergaulan antar bangsa
Marilah kita teliti keunikan Bahasa Arab
itu!!!!!!!!
1.
Bahasa arab
mengenal bentuk Mufrod (tunggal), Tasmiah (ganda) dan Jamak (banyak)
2.
Ada bentuk madhi
(telah lewat), Mudhori’ (masa kini) dan Amar (bentuk perintah)
3.
Ada bentuk Mudzakar
(laki-laki) dan Muannas (perempuan)
4.
Ada bentuk Isim (kata
benda) dan bentuk Fi’il ( kata kerja )
5.
Ada bentuk Khusus
(tertentu) dan bentuk Umum
6.
Ada bentuk Hakiki
dan Majazi
7.
DLL………
Dari
kenyataan di atas jelaslah bahwa bahasa arab itu lengkap,sempurna dan luar
biasa. Bahasa arab adalah bahasa Al-Qur’an yang dipelajari oleh umat Islam di seluruh
dunia yang jumlahnya ± 1/5 penduduk dunia.
Sebagai
pemeluk agama Islam kita harus bangga dengan bahasa arab sebagai alat
komunikasi antar Bangsa dan Negara.
NB:
MA’AF
PAK CATETAN YANG AKTIF BERTANYA SUDAH DI LAMPIRKAN SUDAH GAK PUNYA DATANE.
Yang kami ingat
hanya pertanya’an dari :
1.
Nur Rovieq :
111641
Pertanyaan:
Ø Apa
perbedaan antara kinayah dengan tauliyah?
Jawaban:
Ø Tidak
ada jawaban soalnya tidak ada hubungan dengan isi makalah kami
[4]
Bakry, Nazar, Fiqih dan Ushul Fiqih, (Cet. IV, Jakarta: PT. RajaGravindo
Persada, 2003, hal. 153).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar